wa singku

Wa Singku : Sepekan sudah La Padamolala terganggu tidurnya. Malam ini, nyaris tiga jam ia membolak-balikkan tubuhnya di atas dipan tempat tidur, persis seperti malam-malam sebelumnya, mengais-ngais kantuk namun tak lelap. Kalaupun bisa tertidur, itu hanya 30 menit saja, maka akan terjagalah ia hingga pagi.

Di luar sana, desir angin masih menghembuskan aroma menakutkan.

Kucing liar mengeong tiada henti. Bunyi benda jatuh di atas genteng rumah, setidaknya sudah tak terdengar lagi. Di pikiran orang-orang sekampung, mungkin karena telah didapatkan apa yang dicarinya hingga roh jahat itu hilang tak berjejak.

Sejak malam menanjak gulita, hingga mulai bersahutan kokok ayam, suara tangis itu tak juga reda. Kian malam, kian keras suaranya, menjerit, sesekali berubah menjadi pilu seperti lolongan. Sudah sepekan bayi yang masih merah itu mencari-cari puting ibunya, namun yang menyentuh bibir mungilnya hanya celupan air gula merah.

La Padamolala bangkit dari tempatnya tidur, menghempaskan pantatnya di tepi dipan. menyalakan sebatang rokok lalu menyulutnya. Sambil menghembuskan napas yang diikuti asap, pikirannya menerawang  pada masa yang entah. Sementara istrinya, Wa Mokossa, sibuk menenangkan bayi dalam gendongan.

****

Saat itu musim nikah. Menurut tradisi masyarakat Wakatobi, perempuan seusia Wa Singku harusnya sudah menikah. Jika tidak, maka kesialan akan membayanginya.  Sebagai perempuan yang mendapat pinangan dari pria, tentu Wa Singku adalah orang yang paling beruntung. Ditambah lagi pria itu datang dari keluarga besar yang berada, maka tak ada alasan yang membenarkan penolakan.

La Padamolala dan Wa Mokossa tak ingin membuang keuntungan. Anak mereka, Wa Singku, dinikahkan dengan segera. Penuh suka cita kerabat dan handai taulan. Upacara pernikahan besar-besaran segera digelar.

Bulan berikutnya, Wa Singku hamil. Beruntung benar dia, demikian benak orang-orang sekitar. Menikah tepat waktu, bulan berikutnya sudah ‘berisi’. Apalagi yang kurang dari perempuan berwajah purnama dengan sepasang mata yang indah itu. Betapapun banyak pemuda kampung ingin meminangnya kala itu, tapi yang beruntung adalah La Bula.

Delapan bulan berikutnya, mampirlah hal yang tak disangka. Di bulan Desember, ketika angin muson barat sedang ganasnya menghantam perairan Wakatobi. Wa Singku tertidur lelap dan tak pernah bangun lagi.

Darah mengalir deras dari selangkangannya menyusul keluarnya seorang bayi mungil nan menggemaskan. Dukun beranak yang membantu persalinannya, kewalahan menyumbat aliran darah yang menganak sungai. Sementara rumah sakit sangat jauh dari jangkauan. Butuh berlayar menyebrang laut berkilo-kilo untuk ke sana.

 Menurut penuturan orang-orang di sekitar rumahnya, Ada hal-hal aneh yang terjadi di malam ketika Wa Singku melahirkan bayi laki-lakinya yang berambut ikal itu. Ada sesuatu yang jatuh di atas genteng rumah, kemudian diikuti oleh raungan 2 ekor kucing hitam yang berkejaran di bawah rumah panggung milik orang tua Wa singku.

***

Suaminya, Saudagar kaya dari kampung seberang itu tak perduli selain hanya pada buah dada Wa Singku yang baru belajar tumbuh. Ia tergila-gila pada Wa Singku. Uang mengabulkan keinginannya. Kemiskinan membuat keluarga Wa Singku pasrah. Wa Singku meronta, namun selembar surat nikah menjadi ijin atas robekan di selangkangannya. Tak seorangpun berhak menggugat.

Hujan deras mengantar Wa Singku dalam lelapnya yang panjang. Di malam setelah Wa Singku dikebumikan, jalanan mendadak menjadi lengang dan suram. Hanya satu dua orang saja yang Nampak berlalu di jalanan, itupun dengan langkah tergesa.

Baru pukul 7 malam. Biasanya jalan-jalan masih ramai oleh anak kecil yang  berlarian bersama, para penjaja makanan di pinggir jalanpun tampak menutup lapak. Para Pemuda desa yang sering membawa sepeda motor berknalpot rombeng dengan kecepatan tinggi itu juga tak nampak. Semua pintu dan jendela tertutup rapat.

Wa Singku yang nyaris sepanjang hidupnya dihabiskan di dapur itu, di malam-malam setelah pemakamannya, gentayangan. Lewat mulut orang-orang sekampung. Meski tak seorangpun pernah menyaksikannya. Namun kabar beredar cepat mendahului jatuhnya hujan di genteng-genteng rumah.

“Ada Suanggi, ada suanggi di kampung ini! Suanggi membawa lari Wa Singku!”

“Kasihan sekali anaknya yang baru lahir itu!”

“Terkutuklah suanggi itu!”

Desas-desus Wa Singku meninggal secara tak wajar sambung-menyambung tiap hari, menyebrangi pulau di seberang sana, tempat suaminya berasal. Seluruh kerabat menyambut kabar kematiannya dengan penuh duka. Mengutuk-ngutuk ulah soanggi.    

Suara tangis bayi dalam dekapan Wa Mokossa pelan memelan, bayi merah itu terdengar sesenggukan. La Padamolala bangkit dari duduknya, mengambil bayi dalam gendongan istrinya, menimangnya, layaknya menimang wa Singku 15 tahun silam.

Glosarium:

Suanggi, menurut kepercayaan di Wakatobi ialah mahluk semacam manusia yang berkekuatan gaib atau jahat. Mereka bisa merasuki siapa saja, tanpa pandang buluh. Korban yang dijangkiti akan meninggal dengan cara-cara yang kadang kala tidak masuk akal. Ada yang sakit tanpa penyakit yang jelas. Ada pula yang mengalami gangguan jiwa, depresi, hingga akhirnya meninggal dalam situasi yang tak wajar.

Wa Singku

Editor: Ebi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here