Tuhu bukan hanya sekedar berjumpa tetangga. Menelaah maknanya lebih dalam akan membawa kita pada sisi lain Tuhu
Tuhu (dibaca dengan menekan huruf T) merupakan kata dalam bahasa Tomia (Usuku) yang secara harafiah berati turun atau terjun. Dalam konteks sosial budaya Tomia, umumnya, Tuhu merujuk pada aktivitas keluar rumah di waktu-waktu senggang untuk kemudian bercengkrama dengan tetangga.
Singkatnya, Tuhu bisa dimaknai sebagai perjumpaan dan interkasi kita dengan orang lain. Tapi bagi saya Tuhu bukan hanya soal interkasi itu, tapi juga soal mengobati psikis kita dengan berefleski pada banyak hal yang kita temui, bukan hanya manusia.
Saya ingin menunjukkan praktik yang cukup ‘sempurna’ menggambarkan aktivitas Tuhu ini, yang bisa jadi adalah dambaan kita semua. Hal itu termuat dalam produk budaya populer bernama Drama Korea (Drakor) Reply 1988.
Dalam film tersebut, dikisahkan ada 3 orang ibu rumah tangga yang selalu Tuhu dari rumah atau punya waktu senggang untuk duduk bercengkrama di gode-gode. Mereka membicarakan hal-hal remeh hingga genting, sambil menyelesaikan pekerjaan domestik: memilah dan memotong bahan baku masakan selama anak-anak mereka berangkat ke sekolah dan selama suami-suami mereka bekerja.
Dalam praktiknya Tuhu menciptakan hubungan erat antar sesama, menghadirkan keharmonisan hidup bertetangga. Kemesraan tiga ibu di drakor Reply 1988 tampak pada interaksi mereka ketika saling tukar makanan setiap hari dan tidak sungkan untuk saling meminta pertolongan jika sedang kesulitan, terutama perihal uang.
Bahkan di dalam drakor tersebut, keharmonisan tidak hanya dimiliki tiga ibu, tapi nyaris semua tokoh berperan seperti itu, menyenangkan dan, terutama, bikin iri. Kehidupan yang seru dan bertabur kebaikan. Tak ada tekanan dari julid tetangga apalagi hinaan.
Yang paling bikin iri di film ini adalah scene ketika tokoh Taek kalah dalam permainan Baduk. Para orang tua saling mengingatkan untuk tidak menyinggung hal tersebut di depannya agar tidak membuatnya semakin terluka dan merasa terpuruk. Maka, semua orang dewasa di gang tersebut berduyun-duyun memberikan semangat yang disamarkan dalam bentuk perhatian kecil seperti memberikan makanan kesukaan Taek tanpa cercaan tanya.
Sementara itu, teman sebaya Taek yang akrab karena tumbuh bersama, berusaha menyemangati dengan meyakinkan Taek bahwa kita tidak mesti terus-terusan harus tampil sebagai pemenang. Adakalanya juga kita mengalami kegagalan. Bahkan, mengajak Taek untuk melepaskan segala sesak di dada dengan melontarkan umpatan.
Lalu, satu lagi yang mungkin selalu luput dibicarakan adalah karakter tokoh Taek di dalam drama ini yang tampil sebagai pribadi yang suka menyendiri dan pendiam. Dengan kata lain, Taek adakalanya melakukan Tuhu di dalam kesunyian beranda rumah tingkatnya atau di jalan-jalan sepi di gang.
Ajaibnya, kepribadiannya yang beda dari kawan-kawannya tidak membuat Taek dijauhi. Keengganan Taek meninggalkan kamar tidurnya ini malah membuat kawan-kawannya menjadikan ruangan mungil itu sebagai markas berkumpul yang nyaman; nonton film, bermain, dan bercengkrama. Begitu menakjubkannya hidup, ketika kawan-kawan dan tetangga-tetangganya itu kemudian mengamini dan memaklumi karakter Taek yang serupa itu.
Dibayangan saya harusnya Tuhu seberarti itu. Sayangnya, di kehidupan nyata terutama di Tomia, ketika kita melakukan aktivitas Tuhu, yang kita jumpai adalah riak ombak di lautan. ‘Ribut’ sekali. Kita berjumpa tetangga-tetangga yang adakalanya begitu meresahkan dan sangat membuat risih.
Para tetangga ini memiliki hasrat ingin tahu yang begitu tinggi hingga tak sanggup menahan diri untuk tidak menodong pertanyaan yang terkadang sangat sensitif sekali: “bagaimana perasaanmu pas tenggelam di kapal itu?”, ” kapan kau akan menikah?”, ” sudah isi kah?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kerap membuat kita terhenyak.
Saya tak bisa membayangkan jika salah satu dari tetangga kita yang punya rasa ingin tahu yang tinggi itu terlibat dalam film Reply 1988: persis ketika scene tokoh Taek kalah dalam permainan baduk, maka ia dengan wajah melar lekas melontarkan tanya “kenapa bisa kalah?” Sambil memasang mimik iba. Padahal mimik iba itulah justru adakalanya yang membikin seseorang makin terbebani dan merasa bersalah telah gagal.
Juga adakalanya mereka kerap memaksa kata Tuhu sebagai aktivitas yang harus ada pada setiap orang Tomia. “Kikki tuhu ka futa” atau “Tuhu, lako hoja-hoja, uahamo la a i sapo ana,” ialah kalimat-kalimat yang kerap saya dengar berseliweran di hadapan saya yang nyaman selama berminggu-minggu hanya berkeliaran di halaman rumah tanpa berniat menyebrang ke jalan atau rumah tetangga atau pergi menghadiri acara keluarga. Lama-lama kalimat itu sudah mirip paksaan saja.
Menulis ini saya tidak hendak ingin memberi kesan buruk pada budaya Tuhu atau menanamkan kebencian pada apapun dan siapapun, sebab saya juga tak akan menampik kenyataan bahwa di kehidupan nyata, tak selamanya semua berjalan sesuai dengan angan-angan isi kepala kita. Drakor Reply 1988 kiranya hanya memotret sebagian kecil kehidupan bertetangga yang menyenangkan, bagian-bagian yang membuat kita mendambakan tetangga serupa, terutama di kawasan di mana kita tinggal.
Lagipula seperti kata pepatah, kita mungkin bisa memilih rumah di daerah mana yang ingin kita beli dan huni. Namun kita tak bisa memilih tetangga seperti apa yang bakal kita jumpai nanti. Apakah sebaik tetangga yang ada di film Reply 1988, ataukah tetangga yang menyebalkan.
Tapi saya kira kita sudah harus mulai menyadari bahwa hidup ialah milik setiap orang dan itu berbeda-beda. Berhentilah sesekali meminta (memaksa) seseorang untuk Tuhu jika ia memang enggan. Lagipula, bukankah Tuhu juga bisa didefinisikan kembali sebagai tidak sekedar keluar rumah lantas bercengkrama dengan sesama? Namun juga keluar rumah lalu menikmati sinar Matahari dan pohon-pohon yang sudah pasti dan sudah jelas mampu meningkatkan hormon edorfin yang bertugas mengendalikan perasaan bahagia tanpa berlu berisik