suku bajo dalam film masih bias kota
uku Bajo kerap dijaikan konten film oleh sineas maupun rumah produksi televisi. Namun banyak dari film itu ternyata masih bias kota

Suku Bajo kerap dijadikan konten film oleh sineas maupun rumah produksi televisi. Namun banyak dari film itu ternyata masih bias kota

Saya bukan pengamat atau kritikus film. Saya adalah orang biasa, pemuda kampung pengangguran yang gemar menonton film seperti kamu. Bedanya, di lingkungan pertemanan, predikat penonton film garis keras adalah milik saya.

Sebagai seorang pemuda kampung, tentu saja informasi dan pengetahuan adalah salah satu kebutuhan saya, paling tidak, untuk menunjang aktifitas literasi dan riset kecil-kecilan yang telah saya lakukan dengan warga di kampung.  

Bagi saya, hidup di kampung tentu mesti menjadi orang kampung. Olehnya, kegiatan mencari tahu, mempelajari budaya dan melacak asal usul kampung sendiri, adalah salah satu tanggung jawab sosial yang harus saya laksanakan, paling tidak buat diri saya sendiri.

Saya percaya, untuk terus belajar kita butuh banyak informasi baru. Tentu selain buku, mode pembelajaran yang lain juga penting untuk kita akses, misalnya film dokumenter.

Ekspekstasi dan Fakta

Film yang saya butuhkan, jelas adalah Suku Bajo. sSebab suku ini telah beratus tahun megambil peran yang sama dengan leluhur di kampung yang saya tinggali. Selain itu memasukkan suku bajo sebagai bahan informasi, memiliki banyak kemungkinan yang akan beririsan dengan apa yang hendak saya telusuri.

Dari sekian kali berselancar di internet, akhirnya saya menemukan cukup banyak film-film yang menggunakan suku, atau orang Bajo sebagai latar atau bahkan pemerannya. Saya mencatat setidaknya tiga kategori film untuk menggambarkan temuan saya.

Temuan pertama saya adalah film dokumenter yang sarat etnografis, atau film yang berusaha menyajikan realitas genuine masyarakat Bajo, tentu dengan meminjam seperangkat analisis dari beberapa ilmu pengetahuan, misalnya antropologi, sosiologi, sejarah dan beberapa disiplin ilmu sosial lainnya.

a. Jago: A Life Underwater. produksi National Geographic
b. The Bajau. produksi Watchdoc Documentary
c. Orang Laut –  produksi Aditya Wardhana

Temuan selanjutnya adalah film dokumenter observasional, atau film yang menekan pentingnya interaksi langsung dengan subyek film. Untuk konteks Bajo, jenis film ini, umumnya hanya menyingkap realitas apa yang nampak oleh mata, bersifat reportase, atau footege-footage. Beberapa, menurut saya, bagus dan selebihnya sekedar mengkompilasi footage-footage-an dan dijadikan film sekenanya. 

a. Hidup bersama Suku Laut Duano produksi Trans TV
b. Rumah di atas perahu Suku Bajo produksi Netmediatama
c. Dari Eropa menuju Suku Bajo Bangkurung Banggai laut produksi Orang Bubung

Yang ketiga adalah  film yang bernuansa pada “umumnya” atau film yang umumnya menekankan aspek angle sinematik, framing sensasional dan memberi kesan drama, tentu sebagai fokus utama.

a. Film anak Bajo (Lautku Rumahku) Produksi Teramedia
b. Mirror Never Lies produksi WWF Indonesia
c. Pemenuhan Kebutuhan Anak suku Bajo produksi Tikum Media Visual

Sineas yang bias kota

Sebagai sebuah karya jurnalistik, Film dokumenter adalah sarapan penuh nutrisi. Kenapa? Karena film dokumenter memiliki tantangan tersendiri dalam produksinya. Semangatnya adalah mengambil jalan meluas dan mendalam dari film pada umumnya. Itu kenapa kedalaman riset dan waktu yang diporsikannya terkadang berbanding terbalik dengan porsi eksekusi filmnya.

Dari sekian kategori sederhana yang saya buat di atas, muncul persoalan lain yang sangat mengganggu saya, beberapa film sangat gagap, tanpa hati-hati, bahkan kasar. Kekacauan ini sangat nampak dalam cara mereka mengemas sudut pandang penonton, walhasil citra yang terkirim justru Bias perkotaan.

Secara sederhana bias perkotaan adalah sebuah konsekuensi yang lahir dari ketidakhati-hatian analisis seseorang terhadap karya atau sesuatu yang sedang ia produksi. Dalam konteks film dokumenter, bias perkotaan akan berakibat melahirkan stigma bahwa Orang Desa adalah bodoh, rendahan, pantas dibantu, perlu dikasihani dan hal-hal lain serupa. Film yang sangat bias Perkotaan justru mematangkan anggapan awam bahwa pusat dari segalanya adalah kota.

Baik, karena terlalu dominannya bias kota ini mewabah dalam film-film yang saya kategorikan di kategori dua dan tiga di atas, maka saya hanya akan mencantumkan satu science untuk merepresentasikan masalah bias Kota yang saya maksud.

Dalam Film Anak Bajo (Lautku Rumahku) produksi Teramedia, pada menit ke 11:19, nampak dua orang pria sedang bercakap-cakap dengan latar khas kampung bajo, salah satu di antara kedua orang tersebut terlihat lebih tua dari pria yang menjadi lawan bicaranya. Isi dialognya menyoal seputar keinginan anak muda tersebut ingin ke kota, menurutnya kota menjanjikan apa yang diinginnkannya, “saya ingin ke kota dan belajar navigasi di sekolah”, kata pemuda tersebut.

Film dan Perubahan Sosial

Sekarang mari kita lihat fungsi film dokumenter dalam kondisinya yang ideal. Pertama, saya menegaskan kembali bahwa film adalah kepingan-kepingan realitas yang dibalur oleh sineas untuk merepresentasikan gagasannya ke publik, tentu saja menggunakan kesan “drama” sebagai alat propagandanya. Tapi “drama” disini hanya sebagai elemen penguat emosi dalam porsi tertentu, jadi bukan sebaliknya.

Pernyataan ini sejalan dengan gagasan yang disampaikan oleh Theodre Adorno, seorang kritikus Seni berhaluan Marxisme. Menurutnya, film harus bisa digunakan dengan baik untuk menunjukkan realitas alternatif daripada sekadar mengedepankan realisme sosial yang tumpul, kering dan membosankan. Konteks yang dimaksud  oleh Adorno disini bermakna bahwa film selain memiliki peran perubahan sosial, ia juga tak boleh kering secara seni dan artistik.

Di Indonesia, contoh epik film dokumenter ini tentu saja karya-karya Watcdoch, semisal film Tenggelam dalam Diam, Di Belakang Hotel, dan tentu saja Act of killing.

Sekarang, tolong jawab pertanyaan saya wahai Sineas, sejak kapan Suku Bajo belajar navigasi di Sekolah? dan kenapa harus di Kota? Bukankah suku Bajo adalah salah satu suku di dunia yang dikenal memiliki keahlian astronomi terbaik?

Atau tidak cukupkah sekian tesis dan sederet jurnal ilmiah yang mengungkap kemampuan navigasi suku Baju melintasi Samudera atau bahkan Benua? Atau bukankah saya atau kalian yang di kota yang semestinya belajar kepada mereka?, Tapi sudahlah, toh ini faktanya, inilah wajah dunia film kita saat ini, sangat bias perkotaan!

Oh iya, saya secara sengaja tidak mencantumkan (science) berupa detil-detil adegan di film-film mana saja yang menurut saya bermasalah dan menjadi titik keberatan saya, silahkan menikmati dan menyimak secara teliti di tiga kategori film yang saya buat di atas. Jika keberatan, memang tulisan ini bermaksud untuk mengundang diskusi balik!

Tabik.

.

1 COMMENT

  1. Jika orang bilang kasian padamu berarti akan mengekaploitasimu.
    Jika orang bilang kamu hebat, pertanda akan mengabaikanmu.
    Jika mengajakmu bercerita, orang ingin apa adanya denganmu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here