Konser Ceramah: Suara Lima Fofine adalah tentang gugatan terhadap budaya patriarki di Wakatobi sekaligus sebagai sebuh perlawanan terhadapnya
Konser Ceramah: Suara Lima Fofine adalah tentang gugatan terhadap budaya patriarki di Wakatobi sekaligus sebagai sebuh perlawanan terhadapnya

Konser Ceramah: Suara Lima Fofine adalah tentang gugatan sekaligus perlawan terhadap budaya patriarki di Wakatobi

Minggu kemarin saya diajak Eka Putri Puisi untuk mengikuti rangkaian acara Konser Ceramah: Suara Lima Fofine yang digagas oleh Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP). 

Saya antusias, sebab konser tersebut akan menyuguhkan pembedahan dan pembacaan secara kritis cerita rakyat dari Wakatobi, yakni Wa Khaka Kene Palahidu. Dan, yang membedah cerita itu, tidak main-main, adalah para perempuan yang menurut saya punya kompetensi untuk melakukan itu. 

Saya menonton konser itu melalui youtube, menyaksikan pembacaan kembali secara kritis karya, dalam hal ini cerita rakyat, ditambah secara online, adalah pengalaman pertama buat saya, dan itu sungguh memantik ketertarikan. 

Apalagi sebelumnya sudah dipancing-pancing Eka tentang muatan dalam konser ini yang akan berisi semacam gugatan terhadap cerita rakyat Wakatobi yang dipenuhi narasi patriarkal yang kalau kata Eka, Male Gaze.

Saya dibangku kuliah beberapa kali berpapasan dengan pembahasan-pembahasan yang mengetengahkan tentang topik-topik feminisme, dan saya termasuk orang yang tertarik untuk menguliknya lebih jauh.

Maka dengan hadirnya konser ini yang mengambil teks budaya dari Wakatobi yang mana itu adalah tempat lahir saya, kampung halaman saya, saya sungguh antusias. 

Konser dimulai dengan pembacaan sinopsis cerita rakyat Wa Khakak Kene Palahidu dan perkenalan deretan para panelis dibalik terciptanya pertunjukkan, yakni Gema Swaratyagita (musisi sekaligus pengajar musik), Kartika Solampung (penyanyi dan aktor), Septina Layan (Komponis dan Musikologi Budaya), Dewi Kharisma Michellia (penulis novel dan editor) dan Eka Putri Puisi (perempuan Wakatobi yang keren).

Setelah prosesi itu, layar berganti ke pokok dari konser yang disuguhkan dalam format video. Di sinilah cerita Wa Khaka Kene Palahidu dibedah atau direnarasi dengan judul Fofine Kene Palahidu.

Isi dari pertunjukkan terangkai dalam bentuk pembacaan kisah ulang yang mendorong perempuan atau Fofine sebagai tokoh utama. Pembacaan dilakukan secara bersama-sama oleh para panelis dan anggota SPP lainnya yang menegaskan betapa besar kekuatan yang menyokong pertunjukkan renarasi itu.

Lalu bubuhan musik, suara-suara, lantunan bernuansa etnis dan juga peragaan tubuh di tepi laut berhasil membangun roh dan warna cerita dengan padu.

Substansi konser ini sebenarnya berangkat dari persoalan teralienasinya perempuan atau Fofine dalam cerita rakyat Wa Khaka Kene Palahidu. Persoalan yang dialami sang Fofine di dalam cerita ditemukan berlapis-lapis. 

Kalau kita baca cerita aslinya, di sepanjang cerita kita akan menemukan sang Fofine tak diberi nama, ia dijadikan sebagai alat tukar oleh dua laki-laki (Nakhoda dan Wa Kahaka), ia direpresentasikan sebagai perempuan jahat yang tega membunuh anaknya sendiri. 

Menurut para panelis, terasingnya sang perempuan dalam cerita itu disebabkan karena metanarasi kebudayaan kita (Wakatobi) banyak dikuasai ide-ide patriarki. Bahwa bagaimana patriarki telah beroperasi secara diam-diam dan acap membuai. 

Dan, yang mengerikan lagi adalah hal itu hari ini kian mengakar lewat wacana-wacana normalitas yang memasung nalar kritis.

Maka apa yang dilakukan para panelis adalah sebuah gugatan sekaligus perlawanan terhadap gagasan parasit itu. Bahwa perempuan juga bisa berdaya, perempuan adalah subjek yang mesti diperhitungkan.

Karenanya, pertunjukkan ini merupakan langkah besar yang menurut saya akan memiliki efek kuat, terutama dalam ruang sosial budaya masyarakat Wakatobi. 

Isu terpinggirkannya perempuan dalam panggung kebudayaan yang dihadirkan konser itu kemudian membuka banyak perkara lain yang berkait dengan kerja-kerja kebudayaan di Wakatobi yang menurut saya mesti disambut. 

Pertama adalah persoalan intervensi bahasa yang dikemukakan oleh Eka dalam refleksinya. Bahwa apakah memang penggunaan huruf W di dalam literasi sosial budaya Wakatobi itu merupakan hasil intervensi atau dipengaruhi oleh bahasa indonesia? Bahwa orang Wakatobi tak mengenal W, mereka hanya mengenal F. Tapi bagaimana dengan V? Saya kira persoalan penggunaan huruf-huruf beserta tata aturan pengucapannya ini perlu diungkit lebih jauh. 

Kedua, adalah persoalan tentang nafas sastra lisan di Wakatobi yang makin tersengal-sengal, terutama kidung yang menjadi lantunan mama-mama tatkala menidurkan anaknya. 

Di generasi saya mungkin masih beruntung mendengar lantunan-lantunan itu, tetapi kini puisi lama macam itu sudah tak terdengar lagi. Kemungkinan para pemiliknya sudah banyak yang meninggal.

Tulisan ini saya akan tutup dengan ajakan terutama untuk kalian para pemuda Wakatobi meski saya yakin kalian pasti sudah terlalu sering disebut-sebut, tapi memang karena sedang waktunya, bahwa mari bikin sesuatu untuk menumbuhkan optimisme kebudayaan agar teks budaya atau artifak macam sastra lisan tetap terawat. Itu saja.

Untuk menonton konseer ceramah: Suara Lima Fofine secara utuh klik di sini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here