Nongkrong di puncak tomia
Nongkrong di puncak tomia

Pulau Tomia jauh dari peradaban kota-kota metropolitan, tapi gaya hidup kota seperti nongkrong hadir dengan ajaib di ruang sosial

Sekarang Puncak Tomia tengah menjadi kawasan tongkrongan paling digandrungi, bukan hanya anak muda tapi juga orang-orang tua. Faktor paling kuat yang menjadikan puncak sebagai kawasan nongki adalah keberadaan warung-warung kopi bergaya ala cafe. Warung-warung ini didesain sedemikian rupa dengan sederhana dan homy.

Elemen arsitekturnya hanya terdiri dari: bilik-bilik bambu, juga alang-alang, kursi-kursi kayu dan berlantai tanah batu-batu karang yang sudah mati ribuan tahun serta menghadap pemandangan bentangan horizon dan laut dan senja dan kamu, tanpa hiasan dan tanpa lukisan. Pokoknya yang alami-alami.

Gaya interior macam ini dikenal di kota sebagai gaya desain natural. Keberadaanya akan banyak kita temukan di cafe-cafe kota pinggir jalan yang kopinya serba mahal itu. Kenapa cafe-cafe itu memilih desain tersebut?

Sepintas yang saya amati di kota, ada dua alasan yang melatarbelakangi. Pertama, merebaknya budaya minimalis atau kesederhanaan. Orang-orang kota sedang merasa frustasi dengan segala kerumitan dan keriuhan metropolis. Mereka lelah dengan banyaknya polusi, bukan hanya udara, polusi bisa macam-macam, polusi visual, bising suara, hingga ideologi. Alasan kedua adalah karena orang kota, utamanya anak-anak muda -baik itu yg merantau dan memang “asli” kota- kerap rindu atau ingin merasakan suasana desa yang telah lama mereka tak miliki.

Dua alasan itu bisa kita kira dalam gurauan sastrawan kawakan Indonesia, Seno Gumira Adjidarma yg menulis: Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.

Maka cafe-cafe coba memediasi kelelahan dan keinginan itu.

Nah itu kalau di kota. Bagaimana dengan di Tomia? Kalau kita menaruh alasan yang sama pada pulau sekecil itu, rasa-rasanya tidak begitu tepat. Karena di Tomia, traffic light saja tidak ada apalagi videotron yang keduanya punya andil dalam polusi visual. Juga pembangunan di pulau sekecil itu yang semangatnya biasa-biasa saja. Lihat saja infranstruktur maupun sumber daya manusianya, semuanya tak ada kemajuan. Lalu apa yang memicu kelelahan dan kerinduan masyarakat sehingga mereka butuh sekali hiburan ke puncak itu? atau apa yang mendorong anak-anak muda menyediakan warung-warung dengan desain serupa itu?

Saya ingin kasih penjelasan terlebih dahulu, bahwa hiburan merupakan kebutuhan kelas menengah di kota. Siapa kelas menengah ini? Sederhananya kelas menengah adalah orang-orang yang punya kemapanan ekonomi biasa-biasa, mereka ini tidak miskin tapi tidak kaya juga, ya standar.Biasanya merupakan karyawan di kantor-kantor swasta maupaun aparatur negara. Di kota, mereka adalah entitas paling banyak. Maka ketika tiba hari libur, di kawasan wisata atau di cafe-cafe mereka inilah yang mendominasi. Karena mereka lelah bekerja selama berbulan-bulan, karena mereka sedang ingin menghilangkan stress atas kehidupan glamor kota.

Lama kelamaan, kebiasaan itu dipopulerkan oleh media dan ujungnya bertransformasi menjadi gaya hidup. Persis di sinilah intinya. Gaya hidup. Di dua kata inilah fenomena nongkrong orang Tomia di atas juga bisa kita urai.

Orang Tomia ialah spesies manusia yang penuh dengan gengsi. Meskipun asumsi ini sangat sinis sekali, tapi saya punya penjelasan yang cukup logis untuk bilang bahwa banyak orang Tomia sangat ekspresif dalam memperlihatkan (red: mamerkan) kegengsian itu. Kita bisa lihat secara langsung maupun tidak. Proses langsungnya bisa kita amati di kala kegiatan yang melibatkan Hamba, setiap orang saling berlomba untuk meninggikan harga hamba.

Kalau gengsi yang dihamburkan secara tidak langsung banyak: rumah-rumah dibikin megah, mobil-mobil dibeli, ruko-ruko dibangun dan semua harta itu kadang tidak dipakai dan difungsikan, ya untuk menunjukkan kekayaan saja.

Kegengsian itu kemudian dikawinkan dengan gaya hidup perkotaan di bawah kuasa penetrasi media sosial. Penggunaan media sosial yang sangat intens membuat kehidupan di Pulau Tomia yang sekecil itu menjadi sangat urban. Remaja-remaja dan anak-anak muda yang sebenarnya sudah tinggal lama di Tomia berpakaian hypebeast, berbelanja di onlineshop, dan memotret sana sini serupa turis mancanegara.

Dan menariknya, orang-orang tua, terutama mereka yang masuk dalam kelas menengah (para PNS dan pedagang) terlibat banyak dalam aktivitas macam itu pula. Mereka menginisiasi pembuatan grup WA, reunian dan berfoto bersama leting. Juga menginisiasi sumbangan untuk banyak hal dan berbelanja untuk kelompok (Kelas menengah mampu merubah mentalitas orang-orang menjadi konsumtif). Perilaku macam itu kemudian dibubuhi oleh mahasiswa-mahasiswa asyik-anak-nongki ketika pulkam, yang kita semua tahu mereka sudah banyak terpapar budaya-budaya pop kota.

Persis di sanalah juga warung-warung puncak itu terdorong. Mereka membuat desain warung-warung ala cafe dengan harapan memperoleh keuntungan. Dan mereka memang memperolehnya. Mereka tidak hanya sekedar mendapatkan keuntungan dari memfasilitasi kehausan akan minum kopi dan pop ice, tapi sekaligus menguras keuntungan dari kepuasan akan penyaluran hasrat gaya hidup dan nafsu-nafsu kegengsian orang-orang Tomia.

Sebenarnya tidak menjadi soal apa yang dilakukan itu, tapi kadang-kadang kita harus sadar bahwa semua yang kita nikmati di puncak yang kita sebut sebagai hiburan itu hanya imitasi atau kepalsuan yang diintervensi media sosial. Kita pergi ke puncak dengan berpakaian rapi yang kita beli dari online shop dengan harapan orang melihat atau kamera meng-capture kita nanti bisa mirip selebgram.

Kita ke puncak karena kita ingin foto, kita ingin bertemu teman lama dan bercerita sembari memandangi pemandangan dan kita merasa bahagia dan kita berrfoto bersama dan kemudian kita bahagia lagi, tapi sementara sekali. Fenomena macam ini kalau kata Baudrillard, seorang Sosiolog, ini adalah simulacrum, di mana media mencoba merayu pengguna untuk terus bergairah dalam realitas yang tidak nyata (hyperrealita). Gaya fashion, potret, story WA, joget-joget Tiktok, memberi like pada postingan, memandangi alam, merupakan simulasi media untuk mengajak kita seolah-olah merasakan dan melakukan sesuatu.

Aktivitas hiburan sejatinya adalah konstruksi simulasi. Maka orang Tomia yang hari ini sebenarnya tak punya masalah hidup berarti dan mereka liburan, mereka sedang menikmati hidup yang palsu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here