Ulasan singkat ini merupakan upaya menceritakan sejarah kawasan bernama Tayi, sebuah area yang disebut sebagai galangan perahu tangguh.
Tahun 1950-an, rumah di Tayi (sekarang Kelurahan Bahari) belum ada. Penampakan seluruhnya nyaris hanya rimba pohon kelapa dan pisang.
Oleh warga, daerah Tayi atau pesisir itu didesain untuk tempat pembuatan perahu. Waktu itu orang lebih memilih mendirikan rumah di undakan atas (Ra’a) sedangkan Tayi dikhususkan untuk kepentingan warga merangkai perahu maupun aktivitas melaut.
Antara Ra’a dan Tayi dibuatkan jalan yang dinamai Kabumbu. Tak kurang dari 5 sampai 6 kabumbu waktu itu yang ada di Usuku. Khusus untuk kabumbu yang dari dermaga pelabuhan ke Ra’a dinamai Tangga.
Selain itu, di Tayi juga digali sumur untuk kepentingan umum. Awalnya ada 3 pasang sumur yakni di Longa, Tonga dan Liku’umbua. Masing-masing berfungsi untuk mandi dan cuci pakaian, satunya lagi dikhususkan untuk air minum.
Tiap pagi dan sore, dua sumur itu ramai dengan orang yang mandi, mencuci pakaian atau mengambil air minum. Sumur tersebut menjadi pertemuan warga. Terutama pemuda pemudi, sumur tersebut dijadikan arena ajang rendezvous (pertemuan).
Daerah Pembuatan Perahu
Wilayah Tayi yang berbatasan dengan laut tak pernah padam dengan riuh aktivitas warga, terutama para lelaki. Tayi bagai galangan (Dok) perahu. Sepanjang pantai Usuku (nama administrasi kawasan pesisir tengah Pulau Tomia) berjejer tidak kurang dari 10 perahu yang sedang dikerjakan.
Hal tersebut kian ramai kalau sudah musim angin barat di mana semua pelayar sepakat untuk pulang ke kampung, kawasan pinggir laut ini ramai dengan segala aktivitas.
Ada yang memakal (Kumba), ada yang mengganti papan yang sudah dimakan rayap laut (Tembelu, Ingg: Barnacle), ada yang Nabhu-nabhu atau aktivitas mengganti papan perahu dengan cara menjatuhkannya ke permukaan laut.
Alat-alat para pelayar masih sederhana, semua lebih banyak dikerjakan dengan tenaga manusia, tanpa bantuan mesin listrik. Beberapa alat yang digunakan misalnya bor, ketam/skap atau gergaji.
Tukang pembuat perahu (Pande nu wangka, Bugis: Panrita Lopi) yang terkenal di Usuku waktu itu hanya beberapa orang saja. Paling banyak 6 orang. Saya hanya mengingat 3 orang, yakni Yama La Sipuda, Ya Wa Ammiri dan La Baeda. Dalam aktivitasnya para pende ini kewalahan mengerjakan pesanan.
Ketika itu permintaan masyarakat semakin banyak seiring dengan keuntungan yang diperoleh yang semakin besar sedangkan sumberdaya manusia terampil terbatas. Akibatnya banyak warga sebenarnya lebih memilih membuat perahu di luar Tomia misalnya di Wuta Wolio (daratan Pulau Buton), Pulau Bonerate (Kepulauan Selayar) atau ke Kepulauan Ke(a)i (Maluku Tenggara). Tempat-tempat itu dipilih karena dekat dengan sumber bahan baku perahu.
Produk Galangan Tayi adalah Perahu Tangguh yang Berlayar ke Negeri Jauh
Perahu-perahu Usuku Tomia yang dibuat di Tayi memiliki tipe yang khas. Misalnya anjungan depannya (Umbui rope) tidak semiring perahu Pinisi (orang Tomia mengenalnya dengan sebutan Sambo). Kapasitasnya yang paling besar bertonase 30 hingga 40 ton. Namun, waktu itu perahu yang dimiliki warga paling banyak bertonase antara 15 hingga 20 ton.
Ada keunggulan yang dimiliki perahu jenis tersebut dibanding pinisi, yakni memiliki kemampuan berlayar yang luwes. Perahu ini mampu berlayar zig zag (Opala atau Karakaji) dengan sudut kemiringan (Belo) yang besar. Kondisi ini sangat membantu laju perahu di permukaan laut mengingat waktu itu belum memakai mesin.
Tipe perahu seperti inilah yang malang-melintang menjelajahi laut nusantara pada jamannya. Dari mulai Sangkapura (Singapore), Mangindano (Mindanao, Filipina), Tawao (Sabah, Malaysia) dhingga Deli, (Dilly, Timor Leste) telah dijelajahi dan tempat-tempat itu seolah menjadi ‘halaman depan rumah’ mereka.