Dalam penelusuran sejarah, pemerintahan Pulau Tomia sudah mengalami berbagai macam perubahan
Berbicara tentang sejarah pulau Tomia tentu akan mengundang banyak pertanyaan sederhana, “Sejak kapan Pulau Tomia dihuni manusia?” atau “siapa orang Tomia pertama?” Pertanyaan-pertanyaan mengenai sejarah Tomia seperti ini tentu banyak terlintas dibenak anak muda, apalagi yang sangat ingin mengenal cikal bakal leluhur atau identitas mereka itu dari mana.
Untuk menjawab banyak pertanyaan itu, di Tomia, sumber lisanlah yang paling mendominasi. Dahulu sebelum adanya gawai, ketika menjelang tidur atau dalam waktu luang banyak di isi dengan mendengar tulatula (kisah) dari orang tua. Dari tulatula inilah kisah-kisah nenek moyang itu bisa diperoleh.
Tulatula berperan dalam merawat ingatan sejarah dan memberi wawasan generasi muda mengenai daerahnya seperti yang akan kita ulas di artikel ini, tentang bagaimana sejarah pemerintahan yang pernah berlaku di pulau Tomia.
Perjalanan sejarah pemerintahan pulau Tomia dibagi ke dalam beberapa periode pemerintahan. Dimulai dari perode sebelum terintegrasi ke dalam wilayah kesultanan Buton, kemudian periode kesultanan Buton, periode Swapraja dan periode Kemerdekaan.
1. Periode pemerintahan Sebelum Kesultanan Buton.
Susanto Zuhdi menjelaskan dalam bukunya (Labu Rope Labu Wana: Sejarah Buton yang terabaikan) Wakatobi sebelum menjadi bagian dari wilayah Buton pernah dipengaruhi oleh beberapa kerajaan besar Gowa dan Ternate. Sehingga pada periode ini sistem pemerintahan Tomia banyak dipengaruhi oleh Gowa dan Ternate.
Didukung penjelasan dalam buku (Sejarah Wakatobi dari Praintegrasi Hingga Kabupaten) Ali Hadara Dkk, bahwa bukti pengaruh Gowa bisa dilihat pada tari Sajo Moane dan Sajo Wowine terutama pada syairnya berbahasa Makassar. Kalau Ternate, di Tomia dikenal gelas Sangaji dan Pati pada pemimpinnya di masa lampau.
Ali Hadara menjelaskan, bahwa jauh sebelum Buton, Wakatobi khususnya Tomia telah memilki sistem pemerintahannya sendiri. Kemudian perkembangan selanjutnya di daerah Wakatobi berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Datu (Raja) yang dianggap memilki kesaktian dan dibantu oleh seorang bergelar kanine.
Seorang datu dipilih dan diangkat oleh anggota masyarakat dengan syarat ia seorang yang berwibawa serta memiliki kesaktian, gagah berani, cekatan, ahli berkelahi dan ahli berperang yang disebut mosega. Ada kerajaan yang pernah muncul di pulau Tomia bersamaan dengan terbentukanya kerajaan Kaledupa pada pertengahan abad 12. Bermula dengan kedatangan serombongan orang dari suku Katabato dari Mindanao Selatan (Filipina) yang dipimpin oleh seseorang yang bernama La Tingku anak dari Raja Sulu. Mereka mendirikan kerajaan kecil yakni Kedatuan Waha.
Versi lain kisah kerajaan awal Tomia, (masih dalam buku Sejarah Wakatobi dari Praintegrasi Hingga Kabupaten), Hasan Jandi sebagai narasumber menuturkan bahwa mula-mula di Tomia terdapat dua kerajaan kecil, yaitu kerajaan di sebelah timur (timu) berpusat di Suiya dipimpin oleh sesorang yang bergelar sangaji dan kerajaan di sebelah barat (waha) berpusat di Komba-komba yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar pati. Si Payong menjadi sangaji suiya pertama dan La Timbarado menjadi pati Komba-komba pertama.
Batas kedua kerajaan ini adalah Liabale di pulau Lentea, sebelah barat Liabale menjadi wilayah Komba-komba dan sebelah timur menjadi wilayah Suiya. Kelak pemimpin kedua kerajaan ini masing-masing bergelar meantuu. Seorang Pati Komba-komba yang sangat terkenal bernama Pati Pela (Pati Pelohi atau Pati Pelong pengikut raja Tulukabessi, bergelar Sangia Komba-komba). Pada suatu ketika Pati Komba-komba dan Sangaji Suiya menobatkan seseorang bernama La Waturumbu untuk menjadi penguasa di Patua, yang kelak kemudian bergelar Bonto.
2. Periode pemerintahan Kesultanan Buton.
Periode ini dimulai pada abad 17 ketika dikukuhkannya wilayah Wakatobi menjadi satu dari empat barata (barata patapalena) kesultanan Buton dengan nama Barata Kahedupa yang berpusat di Bente (Ollo) Pulau Kaledupa.
Barata dalam konteks Kesultanan Buton adalah nama sistem pertahanan laut yang berada di bawah koordinasi langsung Kapitalao (Panglima laut). Empat barata kesultanan Buton yaitu Barata Kahedupa dan Kulisusu di bagian timur dan Barata Wuna dan Tiworo di bagian barat.
Barata Kahedupa dan Barata Kulisusu di bawah koordinasi Kapitalao Matanaeo (Panglima laut bagian timur), serta Barata Wuna dan Barata Tiworo berada di bawah koordinasi Kapitalao Sukanaeo (Panglima laut bagian barat).
Kadie tidak berada dalam koordinasi Barata, tetapi berada dalam koordinasi langsung kesultanan. Karena fungsi barata adalah menjalankan sistem pertahanan laut, sedangkan fungsi kadie adalah melaksanakan sistem pemerintahan di masing-masing wilayahnya.
Mengenai tahun pasti kapan wilayah Wakatobi menerapkan sistem barata, bisa dilihat dari penjelsan sejarawan Kaledupa Ahmad Daulani dalam tulisan Kahedupa dalam Lintasan Sejarah menjelaskan, La Ode Asifadi (Kasawari) menjadi kepala pemerintahan pertama Barata Kahedupa dikenal dengan sebutan Lakina (Raja) pada tahun 1635.
Dalam sumber lisan Tomia dikisahkan periode kesultanan Buton di Tomia ditandai dengan datangnya dua orang bangsawan dari tanah Wolio bernama La Ode Guntu dan La Ode Maeta. Lalu setelahnya La Ode Guntu menjadi Bonto Waha dan La Ode Maeta menjadi Meantuu Tongano.
Pemerintahan Barata Kahedupa benar-benar berakhir pada tahun 1913 dengan berubahnya sistem barata menjadi sistem Swapraja. Di Pulau Tomia babak baru pemerintahan Swapraja bersamaan dengan diangkatnya La Ode Tani menjadi kepala distrik pertama pulau Tomia yang berpusat di Usuku (Tongano).
Struktur pemerintahan Barata kahedupa terdiri dari 18 kadie, dengan sembilan di dalam pulau Kaledupa (Kiwolu, Tombuluruha, Topaa, Ollo, Watole, Langge, Tampara, Laolua, dan Lewuto) dan sembilan di luar pusat pemerintahan. Di pulau Wangi-wangi terdapat empat kadie (Wanci, Mandati, Lia, Kapota) dan dua di Pulau Binongko (Palahidu, Popalia). Pulau Tomia terdiri dari tiga kadie yaitu Waha dengan gelar pemimpin Bonto yang beasal dari golongan Walaka, Tongano dan Timu pemimpinya bergelar meantuu (Lakina) yang berasal dari golongan Kaomu (Ali Hadara 2005:5).
3. Periode pemerintahan Swapraja
Swapraja adalah bentuk pemerintahan baru yang mengadopsi sistem pemerintahan Belanda berdasarkan persetujuan Kesultanan Buton. Swapraja berlaku dengan ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 8 April 1906 antara Sultan Buton ke 33 Muhammad Asyikin dengan Residen Belanda bernama Brugman.
Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Sulawesi Tenggara sejak awal abad ke 20 Belanda secara langsung mengatur pemerintahan di Sulawesi Tenggara. Wilayah kerajaan yang tradisional diubah menjadi Distrik dan Onderdistrik. Kemudian terbentuklah Afdeling Buton en Laiwui yang meliputi kesultanan Buton (termasuk Muna) dan kerajaan Laiwui (pengganti Konawe).
Onderafdeling Kolaka (bekas Mekongga) ternasuk dalam Afdeling Luwu yang meliputi Kerajaan Luwu (Sulawesi. Selatan). Pembagian wilayah tetap pada jaman Jepang, kecuali perubahan nama kesatuan wilayah. Pada zaman NIT Onderafdeling Kolaka digabungkan ke dalam Afdeling Buton dan Laiwui tetapi Kolaka Utara masuk wilayah Onderafdeling Malfil (Afdeling Luwu).
Pada jaman itu dibentuk pula Gabungan Pemerintah Hadat se-Sulawesi Selatan (termasuk Tenggara) dengan pimpinan Hadat Tinggi yang terdiri dari 5 orang dengan ketua Andi Pabenteng, Raja Bone pada waktu itu. Gabungan ini merupakan federasi Swapraja se Sulawesi Selatan (termasuk Tenggara) terdiri dari Swapraja asli dan Neo Swapraja.
Di Sulawesi Tenggara anggotanya dua Swapraja asli (Buton dan Laiwui) dan dua Neo Swapraja (Muna dan Mekongga) yang sebelumnya dianggap bagian dari Swapraja Buton dan Luwu.
Pemerintahan distrik pulau Tomia berlaku sejak tahun 1913 dan tetap berlangsung sampai masa kemerdekaan Indonesia. Pembagian wilayah distrik Kesultanan Buton (Wilayah Swapraja Buton dan Swapraja Muna) lengkapnya sebagai berikut:
a. Buton (1913)
1) Distrik Tiworo
2) Distrik Gu
3) Distrik Mawasangka
4) Distrik Kalingsusu
5) Distrik Kaledupa
6) Distrik Binongko
7) Distrik Kabaena
8) Distrik Tomia
9) Distrik Wanci
10) Distrik Poleang
11) Distrik Kapontori
12) Distrik Rumbia
13) Distrik Pasarwajo
14) Distrik lasalirnu
15) Distrik Bolio (Wolio)
16) Distrik Bungi
17) Distrik Wakarumba
18) Distrik Batauga
19) Distrik Sampolawa
b. Muna (1913)
1) Distrik Katobu
2) Distrik Lawa
3) Distrik Kabawo
4) Distrik Tongkuno
Pemerintahan distrik menjadi awal pemerintahan tunggal di pulau Tomia yang sebelumnya terbagi dalam 3 wilayah pemerintahan kadie (Waha, Tongano dan Timu). Distrik Tomia dipimpin oleh Kapala Distri (Kepala Distrik) dengan sistem pemerintahan yang masih dalam pengaruh sistem tradisional yang dalam perjalanannya telah dipimpin oleh 4 kepala distrik.
Sistem pemerintahan tradisional Distrik Tomia bisa dilihat pada perangkat adat pemerintahannya misalnya Talombo, Bafalimbo, Kontabitara, Lebe, Sulujaju dan lain sebagainya. Berikut daftar kepala distrik Tomia yang pernah menjabat:
1.) La Ode Tani gelar Kapala Sumalama (Tongano)
2.) La Mboge, gelar Kapala Mansuana (Waha)
3.) Haji Ismail atau La Masinae (Waha)
4.) Haji Muhammad Isa (Waha)
Berdasarkan data dari kecamatan Tomia berakhirnya kepemimpinan distrik Tomia ditandai dengan naiknya La Ode Rahiki (1970) sebagai camat pertama.
4. Periode Kemerdekaan
Sepanjang periode kemerdekaan Indonesia telah berlaku dua sistem pemerintahan di pulau Tomia, distrik dan dilanjutkan kecamatan. Hingga memasuki masa kemerdekaan sistem pemerintahan pulau Tomia masih berbentuk distrik hingga tahun 1970.
Setelah itu Wakatobi menjadi dua kecamatan, yaitu Wandupa (Wangi-wangi dan Kaledupa) dan Tombino (Tomia dan Binongko) menjadi bagian dari wilayah pemerintahan Kabupaten Buton.
Selanjutnya sejak tanggal 18 Desember 2003 Wakatobi resmi ditetapkan sebagai salah satu kabupaten pemekaran di Sulawesi Tenggara yang terbentuk berdasarkan Undang – Undang Nomor 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara.
Saat pertama kali terbentuk Wakatobi hanya terdiri dari lima kecamatan yaitu Kecamatan Wangi-Wangi, Kecamatan Wangi Selatan, Kecamatan Kaledupa, Kecamatan Tomia dan Kecamatan Binongko. Pada tahun 2005 melalui Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 19 Tahun 2005 dibentuk Kecamatan Kaledupa Selatan dan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 20 Tahun 2005 dibentuk Kecamatan Tomia Timur. Selanjutnya pada tahun 2007 melalui Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 41 Tahun 2007 dibentuk Kecamatan Togo Binongko sehingga jumlah kecamatan di Kabupaten Wakatobi menjadi 8 kecamatan yang terbagi menjadi 100 desa serta 25 kelurahan dan 75 desa.
Kalau sejara pertama kalinya islam datang ke TOMIA