
Artikel ini mengulas terkait banyak hal dari dunia persilatan di Pulau Tomia. Mulai dari perguruan mansa, jurus-jurus para pendekar, hingga adab bertarung di gelanggang.
Silat atau Pencak Silat adalah seni bela diri asli Nusantara. Keberadannya menyebar hampir di seluruh pulau di Indonesia. Tak terkecuali Kepulauan Wakatobi.
Di Kabupaten Wakatobi, silat telah ada sejak dahulu dan telah menjadi tradisi. Eksistensinya masih bisa kita saksikan pada hajatan atau pagelaran budaya masyarakat Wakatobi.
Meski begitu, seperti halnya nasib tradisi yang lain, silat di semenanjung Kepulauan Tukang Besi tak lepas dari ancaman kepunahan yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Sejarah Awal Silat di Pulau Tomia
Saya mencoba menelusuri silat di salah satu pulau di Kabupaten Wakatobi, yakni Pulau Tomia. Dalam penelusuran ini, saya bertemu beberapa pendekar silat asal Tomia.
Silat dalam bahasa Tomia dikenal dengan sebutan mansa atau sila, keduanya bermakna sama. Penggunaan kata mansa umum digunakan di daerah Waha, sementara kata sila umum digunakan di wilayah Tongano dan Timu. Meski begitu, menurut salah satu pesilat asal Tomia, H.M Djunaidi (52), mansa adalah kosakata bahasa Tomia yang lebih tua dibanding sebutan sila.
H. M Djunaidi mengatakan bahwa silat di Pulau Tomia, telah ada sejak dahulu, tetapi belum baku seperti silat pada umumnya.
“Sejak jaman kedatangan manusia pertama Timbarado dan Sipanyong telah ada konflik, perang antar masyarakat Tomia melawan Sanggila, atau perang saudara antar masyarakat Tongano dan masyarakat Timu. Jadi, sebenarnya karena situasi jaman itu masih banyak musuh maka mau tidak mau harus ada pengetahuan atau ilmu bela diri,” jelas H. M Djunaidi.
Selain itu, menurutnya, jejak pengetahuan bela diri ini ditandai oleh keberadaan benteng-benteng tua di Pulau Tomia.
“Benteng yang dibangun masyarakat untuk menghalau musuh juga mencerminkan bahwa masyarakat Tomia zaman dulu telah mengenal pengetahuan dalam membela diri,” ujarnya.
Usai masa itu, silat kemudian marak dan terkenal sebagai ilmu yang dipelajari. H. M Djunaidi menyebutkan kalau masa kejayaan silat di Pulau Tomia terjadi pada jaman Uwa Senge, seorang guru silat yang namanya masyur hingga kerajaan Johor.
“Saya dengar dari kakek saya, seni beladiri yang baku mulai diajarkan setelah zaman Uwa Senge, beliau seorang guru silat Tomia yang pada zamannya terkenal hingga ke luar negeri Singapura dan Malaysia, karena beliau pernah mengajar silat di sana.” ujar H.M Djunaidi
H.M Djunaidi belajar silat sejak usia muda pada kakeknya yang bernama La Bula (Haji Abdullah) yang lahir tahun 1906. Pada masa-masa pembelajaran itu, seperti kita semua, H.M Djunaidi muda juga kerap melontarkan pertanyaan-pertanyaan.
“Te haira na sila atu (Apa itu silat)?” tanya H.M Djunaidi kepada kakeknya
“Assa te sila atu ako te jumaga te orungu, kene ako te keppe nu sajo (Pertama silat itu adalah bela diri dan sebagai pasangan tari sajo),” jawab La Bula
“Jaga nu orungu atu fana umpa? te keppe nu sajo atu fana umpa? (Bela diri itu bagaimana? Pasangan sajo itu bagaiaman?),” tanya H.M Djunaidi lagi.
“Ara te sila jaga nu orungu te bungano te bunga balabba. Ara te keppe nu sajo te bungano te bunga Uuri. (Kalau silat bela diri jurusnya jurus balabba. Kalau pasangan tari sajo jurusnya jurus Uuri),” jawab Haji Abdullah lagi.
Dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan kakeknya, H.M Djunaidi merumuskan bahwa silat di Pulau Tomia ternyata secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu silat sebagai bela diri (sila jaga nu orungu) dan silat sebagai seni yang dikenal dengan mansa adati.
Pertama, silat bela diri diistilahkan dalam bahasa Tomia sebagai poala buku’a (teknik yang keras). Di jaman dahulu bahkan silat ini dilengkapi dengan kemampuan menguasai senjata seperti pisau, tongkat, atau tombak.
Kedua, mansa adati atau silat sebagai pelengkap tari sajo. Tari sajo di sini adalah Tari Sajo Wowine yang biasa dibawakan oleh perempuan dengan melantunkan Bhanti (Syair).
H.M Djunaidi menceritakan kalau silat seni atau mansa adati tersebut pada jaman Haji Abdullah dahulu dijadikan penutup pertunjukan setelah Tari Sajo.
“Zaman kakek saya dulu belum ada acara joget, dulu masih Sajo. Misalnya pada zaman itu ditampilkan pada acara Bungkalea ketika sudah ada yang di Sombo (Pingitan). Dahulu Sombo berlangsung 8 hari 8 malam. Bungkalea adalah ketika si gadis (yang memasuki kedewasaan) sudah turun dari rumah dan menuju Hanta (Lapangan), malam itulah masyarakat berkumpul,” ujarnya.
Lebih lanjut, H.M Djunaidi menceritakan bahwa perkumpulan malam itu dimulai selesai Salat Isya. Saat gendang mulai ditabuh, tari sajo dimainkan. Ada kurang lebih 20 jenis tari sajo yang dimainkan di antaranya Maraha, Marahuluhakku, Rampelo, Sanggolonggolo, Turuki, Anaana moilu, Bositti, Bhujanggano, Mangumangu, Anyja dan lain sebagainya.
“Tarian itu ditampilkan hingga subuh. Acara malam itu dibuka dengan Honari, menjelang fajar penampilan Sara Banda, lalu istirahat untuk salat subuh dan ditutup oleh silat sampai matahari terbit,” jelasnya.
Era Kejayaan Silat Tomia
Hingga tahun 90-an silat sangat eksis di Tomia, bahkan pesilat Tomia berperan pada perkembangan silat di Buton. La Bakri (63), pamansa (pesilat) yang mewarisi silat dari bapaknya yang bernama La Mannisi. La Bakri mengungkapkan ayahnya seorang pamansa yang terkenal pada zamannya.
“Murid ayah saya banyak di kepulauan Riau, rata-rata orang Buton yang merantau. Saya waktu merantau ke Riau 1992-1993, banyak bertemu dengan murid bapak saya, muridnya ada juga yang dari Jawa, Cina dan dari daerah lainnya,” kata La Bakri
Saat di perantauan, tepatnya di Pulau Nombeng, Kepulauan Riau, La Bakri menceritakan kenapa banyak orang belajar kepada bapaknya. Dia bertemu dengan murid bapaknya yang bersuku Cina.
“Orang Cina itu bilang kalau dahulu sebelum belajar silat pada bapak saya, dia sering diganggu oleh komplotan perampok. Kemudian dia lihat pulau yang dihuni oleh bapak saya tidak pernah diganggu, karena ternyata di sana banyak laki-laki belajar silat. Setelah dia belajar silat itu sampai sekarang dia tidak pernah diganggu lagi,” cerita La Bakri.
Cerita Orang Cina itu memang menjadi alasan utama para pelaut aau para perantau macam La Mannisi. La Mannisi asli Kollo Patua, tepatnya dari Gunnu Wasamania yang merupakan kampung kecil yang hanya terdiri dari 6 samapi 7 buah rumah kala itu. Ia kemudian hijrah ke daerah Waha (Onemai).
La Mannisi berlayar dari kecil, berdasarkan kisah lisan yang didengar La Bakri, ayahnya sempat bersekolah di SR (sekolah setingkat SD) hingga kelas 2. Ia tidak menyelesaikan sekolahnya karena berlayar merantau.
“Mansa ini adalah bekal dari kampung menuju daerah rantau. Ini semacam tarian tapi menggunakan kekuatan dan ilmu beladiri, dulu orang yang merantau minimal ada pelapis badan yang dikuasai,” imbuh La Bakri.
Setelah merantau ke daerah Riau, Tanjungpinang, dan Singapura. Hingga sekitar tahun 1961 baru La Mannisi kembali ke Tomia.
“Ayah saya membangun rumah dan memperbesar ruang tamunya untuk ruang belajar silatnya. Kelas 2 SMA saya belajar di ruang itu. Saya belajar silat selama satu tahu yaitu 1982 hingga 1983. Saya tidak sempat menanyakan dari mana beliau belajar silat, entah diperantauan atau di Tomia. Tapi, saya mendengar dari ayah saya, bahwa silatnya beraliran Kuntau. Kalau ayah saya main silat, lawannya harus orang tertentu, karena beliau betul-betul ahli, strateginya tepat, tidak salah langkah dan salah gerak,” cerita La Bakri
Menurut La Bakri selain ayahnya banyak pamansa Tomia menjadi guru dan dikenal. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa salah satu yang masyur namanya di dunia persilatan Pulau Tomia adalah Uwa Senge.
Uwa Senge adalah salah satu guru silat legenda asal Usuku yang paling terkenal pada zamannya. Muridnya tersebar di seluruh penjuru Buton. Di beberapa wilayah Buton, silat yang beliau ajarkan disebut Silat Sangkapura, konon karena di Singapura beliau banyak mengajar para perantu Buton. Dalam penelitiannya, Amrin Ude dkk menyebutkan (2016) bahwa Uwa Senge berperan dalam persebaran silat di Buton, khususnya di Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton Tengah.
Banyak cerita lisan yang tersebar di Buton yang menggambarkan kehebatan silat Uwa Senge. Begitu terkenalnya mansa Uwa Senge, konon pada acara mansa’a (pertunjukan silat) banyak yang tidak berani masuk kalau lawannya beraliran mansa Uwa Senge.
“Alimo bara i maso te Mansa nu Uwa Senge na atu (Jangan masuk, itu silatnya Uwa Senge),” tukas Haji Ahmad Yamin.
Haji Ahmad Yamin (70 ), salah satu warga Waha, mengakui Uwa Senge adalah pesilat terkenal. Dahulu ketika masih kanak-kanak, ia sering mendengar kisah-kisah Uwa Senge dari para pelaut Singapura.
“Te Uwa Senge atu ara no mansamoa no moturu mou te kadadhi. I Sangkapura iso, ara no ekkamo na Uwa Senge i fafo falafala no ta’aluku na pamansa Bogisi. (Uwa Senge kalau bermain silat, hewanpun di tundukkan. Di Singapura ketika Uwa Senge naik ke atas pentas, pesilat Bugispun takluk),” jelas Haji Ahmad Yamin
H.M Djunaidi adalah salah satu pamansa dengan aliran silat Uwa Senge. Dengan kemampuannya itu, ia berhasil menjuarai pertandingan silat kelas F Kabupaten Buton, pada masa pemerintahan Bupati Buton Abdul Hakim Lubis.
“Kelas F itu merupakan Kelas Berat 70 kg ke atas, waktu itu pada tahun 1989 saya masih berusia 19 tahun. Kakek saya mengajarkan kepada saya silat aliran Uwa Senge, tetapi beliau bukan murid langsung, beliau generasi kesekian dari Uwa Senge,” katanya
H.M Djunaidi melanjutkan dulu banyak orang belajar silat, setiap kampung di Pulau Tomia ada perguruan sialt. Selain belajar mengaji, banyak laki-laki menekuni dan belajar ilmu bela diri ini.
”Saya menyaksikan, dulu yang belajar mansa pada tiap guru kira-kira kurang lebih bisa sampai 20 orang, mereka berbaris dalam latihan,” imbuhnya.
La Bakri mengatakan hal serupa. Dia menyebutkan guru-guru mansa angkatan La Mannisi di antaranya La Pone (Lamanggau), La Hayya (Kahianga), La Saane (Waha) La Ode Rajatani (Kulati), La Made (Usuku). Katanya, mereka aktif mengajar sekitar tahun 70 sampai 80-an. Kalau guru-guru silat generasi Haji Abdullah seperti disebutkan H.M Djunaidi di antaranya La Kitara (Kulati) dan Haji Abdul Rahmani (Dete).
Banyak digelutinya silat ini karena pada masa itu arena pertunjukkan silat masih ramai ditampilkan. Dulu pertunjukkan itu akan diadakan saat pesta kampung seperti, Lebaran, Bungkalea Somboa dan lain sebagainya.
Pertunjukan silat di Pulau Tomia biasa dikenal dengan istilah Mansa’a atau sila’a. Kedua istilah ini menandakan kalau sedang ada pertujunkan silat. Hingga tahun 2000-an mansa’a ini biasa disaksikan masyarakat di depan lapangan masjid selepas salat Idul Adha.
Selain Mansa’a masyarakat Tomia mengenal banyak Posafengka’a (pertandingan) adu ketangkasan yang menjadi jejak bela diri masalalu. Permainan adu ketangkasan yang menjadi hiburan rakyat Tomia diantaranya Pohabiti’a yaitu permainana adu betis, Pobantebante/pobalebbale yaitu permainan menyerupai gulat, dan juga ada hellarota’a atau tarik tambang.
Belajar Mansa
Orang yang mau berguru mansa tidaklah mudah. Keputusan orang tersebut layak menerima ilmu atau tidak ada pada guru di perguruan itu. Guru mansa tidak mudah menerima murid, ada banyak hal yang dipertimbangkan.
La Bakri mengatakan bahwa dulu untuk belajar silat sulit, untuk masuk menjadi murid tidak gampang, yang dipertimbangkan paling utama adalah karakter, apakah orang yang dijadikan murid akan membawa nama baik guru atau justru akan membuat malu.
Berdasarkan pengalaman H.M Djunaidi ketika belajar mansa, biasanya syarat menjadi murid dites dulu dan diselidiki apakah calon murid bersungguh-sungguh atau tidak. Kemudian selain melihat sifat, guru juga melihat fisik, apakah bisa dilepas atau tidak, apakah bisa menghadapi orang atau tidak.
“Diuji dan dilihat mental dan fisik, karena ini menyangkut nama baik guru. Ketika masuk mansa’a orang akan bertanya di mana dia belajar. Ketika jatuh atau kalah dalam mansa’a maka guru yang disebut orang-orang,” cerita H.M Djunaidi
Saat menjadi murid dan sampai nanti lulus, hubungan antara guru dan murid harus terjalin kuat. Telah menjadi kebiasaan orang Tomia di masa lalu ketika belajar suatu ilmu maka yang diberikan murid pada guru adalah pengabdian.
“Dulu kata kakek saya, yang didapatkan guru dari murid adalah pengabdian kita, misalnya mengambil kayu bakar, mengambil air untuk kebutuhan guru. Pengabdian masih berlaku walaupun sudah lulus. Hubungan antar murid dan guru tidak putus, begitulah kebiasaan dulu kalau kita mengambil sebuah ilmu pada guru, baik guru ngaji, guru tari, guru apapun itu statusnya sama. Ikatan guru dan murid memang dibentuk dari situ,” papar H.M Djunaidi
La Bakri menambahkan kalau dahulu saat belajar silat selain mengabdikan tenaga, pada saat pelulusan para murid harus mempersembahkan emas.
“Saat pelulusan itu murid akan duduk di atas kain putih dan saat itu sebagai syarat lulus walaupun hanya sebesar biji pasir, emas harus ada. Dan saat pelepasan kontak batin antara guru dan murid sangat kuat,” ujar La Bakri.
Tahap Belajar
- Belajar adab dan aturan
Tahap awal belajar mansa berdasarkan pengalaman H.M Djuaidi adalaha mempelajari adab dan aturan dalam mansa.
H.M Djunaidi memberikan salah satu adab dan aturan yang dipelajarinya ketika hendak bertarung di pertunjukan mansa’a.
Ia menyebutkan ketika pesilat masuk atau keluar arena pertarungan ada Saradhiki (hormat silat). Di awal, pamansa akan melakukan saradhiki kepada gendang terlebih dahulu. Namun, jika di antara penonton ada tokoh masyarakat yang dituakan atau pemimpin, itu yang pertamakali dihormati sebelum gendang.
Gaya penghormatan tiap pesilat berbeda-beda tergantung dari perguruan mana atau dari mana gurunya. Dari cara hormat itulah biasanya pesilat akan tahu dari mana dia belajar silat.
Selain saradhiki, adab lain yang diuraikan oleh H.M Djunaidi adalah tentang aturan mengundang lawan.
“Dalam mansa’a setiap orang yang hendak masuk bertarung, aturannya masuk dua kali. Orang yang pertama masuk adalah penantang bermakna Ello ye’e na bhali (mengundang lawan dari penonton), setelah itu dia akan keluar sejenak. Kalau ada lawan yang masuk maka penantang ini akan masuk lagi,” jelas H.M Djunaidi.
H.M Djunaidi menambahkan dalam proses penantangan itu, pesilat pertama akan memmbaca gerak-gerik lawannya tatkala masuk ke gelanggang. Pada saat itu lawan akan mengeluarkan bunga. Di sana, kata H.M Djunaidi, ada bahasa kode atau isyarat yang pahami oleh setiap pesilat sebelum memulai pertarungan.
“Gerakan awal masuk lawan ke arena itu mengandung makna. Kita bisa lihat dari bunga yang diperagakan bahwa apa yang diinginkan lawan kita itu. Misalnya pada bunga ada gerakan memukul kaki, berarti maknanya dalam pertarungan tersebut lawan meminta menggunakan kaki. Lalu ada juga gerakan bunga memberi isyarat yang bermakna boleh menyerang kepala. Maka dari itu kita sebagai pamansa, harus pandai membaca maksud lawan,” jelasnya.
Dalam mansa’a terkena pukulan ketika berhadapan adalah hal biasa. Serangan menjadi salah dan dianggap melanggar adalah ketika terjadi ala fofine. Maksunya, menyerang ketika posisi masih saling membelakangi saat mengambil bunga.
Selain itu, menurut H.M Djunaidi, aturan yang perlu diingat adalah pesilat harus bisa membedakan mana silat adat dan mana silat bela diri. Jika menggunakan silat adat maka aturannya tidak menggunakan kaki dan yang boleh dipukul hanya dada dan perut, tidak boleh memukul area kepala dan bawah perut.
Dalam mansa’a untuk saling memahami maksud, setiap pamansa tidak menggunakan komunikasi secara lisan, hanya sebatas isyarat dan kode pada bunga yang dipahami oleh setiap pamansa.
Oleh karena itu, H.M Djunaidi menegaskan lagi, orang yang masuk mansa’a biasanya yang sudah berguru, karena harus tahu bunga.
“Ada makna bunga silat yang kurangajar, misalnya pamansa yang masuk diawal sebagai penantang menunjukan silat adat dengan bunga yang sopan. Sementara lawan yang masuk gelagatnya ingin bertarung secara keras. Maka biasanya orang yang masuk diawal tidak masuk lagi. Sikap pamansa tersebut memberi makna bahwa ia tidak masuk lagi bukan karena takut atau lari dari pertarungan, tetapi sikapnya memberi isyarat yang bermakna tidak pantas kita bertarung atau lawanmu bukan saya, hadapi yang lain saja,” tutur H.M Djunaidi
Dalam mansa’a tidak ada batas jumlah pukulan yang dilayangkan, tetapi tidak dilakukan serampangan juga. Kata H.M Djunaidi, pukulan harus menghadirkan seni biasa indah kelihatannya. Selain itu ketika pamansa hendak mengakhiri pertarungan akan memberikan isyarat. Dalam pertarungan mansa’a seseorang dianggap kalah ketika terjatuh, atau menyerah. Namun, pada umumnya mansa’a berakhir damai dengan tidak ada yang kalah maupun menang.
- Latihan Gerak
Latihan gerakan akan diawali dengan berlatih mempelajari bunga. Latihan ini akan dilakukan dengan gaya lambat dalam rentang waktu kurang lebih satu minggu secara berulang-ulang. Setelah itu dilanjutkan ke tahap gerakan cepat.
“Di Tomia banyak aliran mansa, karena setiap perguruan punya ciri khas masing-masing. Mansa Uwa Senge yang saya pelajari terdapat beberapa bunga di antaranya bunga Balabba dan bunga Sa’a berfungsi sebagai bunga belad iri. Kemudian bunga seni di antaranya bunga Uuri dan bunga Ampalangka,” ujar H.M Djunaidi
Setelah menguasai bunga, tahap selanjutnya adalah latihan memukul, menendang, menangkis, membanting, mengunci dan lain sebagainya. Tahap ini biasanya disebut Mansa jaga nu orungu (silat bela diri).
Waktu latihan gerak ini tidak menentu, bisa pagi, saing atau malam, tergantung kesempatan dari guru. Begitu juga lokasinya latihannya. Kadang di dalam rumah, di kebun, di hutan dan lain sebagainya. Kalau Latihan ini dilakukan secara tekun murid bisa lulus menjadi pamansa kurang lebih hanya dua bulan lebih.
Untuk pakaian latihan mansa pada zaman dulu menurut H.M Djunaidi yaitu putih atau hitam.
- Patamma
”Zaman kakek saya proses patamma berlangsung tujuh hari tujuh malam di tengah hutan. Prosesnya adalah kami akan duduk bertafakkur bersama guru, berdoa dan berzikir kepada Allah,” tutur H.M Djunaidi.
Tujuan dari patamma ini, kata ia, agar seorang pamansa merasa Sarongga (menjiwai) ilmu yang diajarkan gurunya. Karenanya tak heran setiap tabuhan Rambi Mansa’a kaki para pamansa akan bergetar karena sarongga.
“Rasa sarongga itu hadir walaupun seorang pamansa lagi sibuk atau sudah tua. Jadi, ketika mendengar suara rambi mansa’a rasa-rasanya harus segera mendekat dan masuk ke dalam arena mansa’a,” jelas H.M Djunaidi
Dalam Patamma ada prosesi yang disebut Paho, yaitu proses meneteskan mata dengan ramuan dari hutan.
“Saya dengar langsung dari kakek saya, saya sendiri tidak di-paho. Paho itu menggunakan ramuan hutan yang pedis. Paho membuat mata kita akan sangat kepedisan dan merah dan selama tujuh hari tujuh malam mata kita kebanyakan merem. Konon tujuan dari paho adalah agar penglihatan kita terang dan agar mata kita tidak kabur serta tajam dalam melihat serangan lawan, dan juga membuat kita merasa selalu sarongga,” ujar H.M Djunaidi
Terkait ramuan paho ini, La Bakri menjelaskan bahan paho terdiri dari campuran 44 macam bahan yang pedis seperti cabe, lengkuas, hingga semut.
“Saya waktu belajar silat sudah tidak di-paho, karena ayah saya sudah menggunakan air yang didoakan yang kemudian dibasuh ke wajah, yaitu air segar yang diambil dari sumur pada waktu subuh sebelum ada orang yang datang mengambil, air diwaktu tersebut dipercaya berkhasiat,” katanya.
La Bakri ketika belajar mansa pada ayahnya, juga belajar pengobatan, seperti membuat ramuan minyak.
“Ramuan minyak yang diajarkan ayah saya terbuat dari kelapa merah pada sebuah pohon kelapa yang hanya berbuah satu dan posisi buahnya disebelah timur. Walaupun susah dicari tetapi harus dapat karena tugas dari guru,” katanya.
Minyak hasil dari kelapa itu dimasukan ke dalam botol dan dicampur dengan sedikit irisan tembakau beserta sedikit remah dari uang logam kuningan yang diiris.
“Minyak itu berfungsi untuk mengobati cedera seperti memar atau bengkak ketika sehabis kelahi,” ujar La Bakri.
Kemunduran Silat Tomia
Menurut La Bakri hingga tahun 90-an, silat masih di ajarkan dan menjadi salah satu hiburan masyarakat Tomia. Sekitar tahun 1998 sudah silat mulai ditinggalkan dan silat mulai jarang ditampilkan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan silat mulai tak muncul di tengah kehidupan sosial masyarakat Tomia moderen. Salah satunya adalah belajar silat sudah dianggap tak berguna.
“Silat sudah menurun karena banyak yang beranggapan sudah tidak ada gunanya, menghabiskan waktu dan tenaga. Sekarang tidak ditampilkan lagi, dulu setiap acara, bahkan 17 Agustus atau setiap pejabat yang datang disambut dengan pertunjukan silat, dan saya masih ingat ada mansa’a saat kampanye Golkar,” ujar La Bakri.
Senada, H.M Djunaidi mengatakan pengaruh perubahan jaman membuat silat makin terpinggirkan. Menurutnya kegemaran orang sudah beralih ke hiburan lain, misalnya ke musik, joget, sehingga pewarisan ke generasi selanjutnya terputus.
Dahulu tujuan orang belajar silat untuk beladiri dan hiburan, lalu ada juga yang belajar supaya terkenal. Makanya banyak yang mecari ilmu silat, walaupun sekedar untuk dipuji sudah senang.
Selain itu, faktor lainnya menurut H.M Djunaidi adalah masuknya aturan bernegara. Dahulu mansa’a sering berakhir pada perkelahian disebabkan ulah sebagian orang, hingga ada yang menggunakan senjata tajam.
“Dulu kalau berkelahi tidak ada yang diproses polisi, semua permasalahan masyarakat masih diselesaikan di rumah kepala kampung. Setelah hadirnya polisi ada semacam pelarangan karena setiap mansa’a berujung kacau hingga saling dendam, apalagi ada yang silat sambil mabuk. Hanya silat adat yang masih bertahan, karena silat adat hanya untuk menghibur masyarakat. Silat adat terlihat sopan, kalau memukul hanya kelihatannya keras, tetapi sebetulnya hanya bunyi tangan yang ditepuk tetapi tidak mengenai lawan, kalaupun kena tidak keras, walaupun begitu enak dilihat sehingga masyarakat terhibur,” ceritanya.
Namun, mansa’a sekarang juga sudah jarang dipertunjukkan. Menurut H.M Djunaidi untuk seluruh pulau Tomia mansa’a yang masih bertahan hanya di desa Kulati. Pada fastival Potapaki desa kulati mansa’a menjadi salah satu agenda kegiatan.
Faktor kemunduran lainnya adalah sikap tertutup dari pesilat Tomia.
“Diantara empat pulau, pamansa Tomia sangat merahasiakan kemampuan silatnya. Di Tomia ini banyak pamansa tapi tidak memamerkan ke orang banyak, latihannya pun rahasia, oleh karena itu tidak diketahui oleh orang banyak,” ujar La Bakri.
Nilai dalam Silat Tomia
Mansa tidak semata belajar bela diri dan seni silat, tetapi juga mengajarkan pembentukan karakter. La Bakri mengatakan ketika belajar mansa banyak nasehat yang didapatkan dari guru.
“Pada acara patamma (pelulusan) para murid duduk diatas kain putih, pada saat itu kita dinasehati, karena belajar silat bukan untuk jadi jagoan tapi untuk memperteguh akhlak. Jadi, rasa kemanusiaan kita dibentuk di sana. Di antaranya nasehat tentang menghargai orang lain, kalau digertak lebih baik sabar atau menghindar. Guru mansa mengajarkan untuk lebih baik menghindari lawan, dihadapi kecuali situasi sudah terdesak,” tuturnya
Tidak berbeda dengan La Bakri, H.M Djunaidi mengatakan bahwa belajar mansa itu belajar untuk berperilaku baik.
“Dulu kalau kita belajar silat sebenarnya diajar untuk berperilaku baik. Bhara i podimbulasi te kene (Jangan mencari masalah pada orang). Itu menjadi bekal yang ditanamkan betul. Yang utama itu karakter harus baik di masyarakat, ada nasehat-nasehat semacam itu yang diajarkan oleh kakek saya,”paparnya.
H.M Djunaidi selama belajar silat dari kakeknya menyimpulkan ada empat aspek nilai dalam Mansa, yaitu:
- Nilai Seni. Dalam gerakan mansa terdapat banyak keindahan gerakan yang terdapat pada bunga, pada acara mansa’a jurus yang ditampilkan menjadi hiburan masyarakat.
- Nilai Karakter. Dalam proses belajar mansa, guru juga mendidik karakter murid untuk menjadi manusia yang baik, misalnya kesabaran seperti nasehat kai to kala podimbulasi te kene.
- Nilai Religi. Dalam silat kita diajar untuk mengingat Allah. Terdapat doa yang dipanjatkan kepada Allah, misalnya Joa tadhe yaitu doa agar kuda-kuda kokoh tidak mudah terbanting. Lalu ada juga Joa batumbu yaitu doa agar diberi tambahan tenaga pada pukulan.
- Nilai Bela diri. Dalam bahasa Tomia bela diri adalah jaga nu orungu, bermakna bahwa ilmu bela diri tentang pukulan, tendangan, tangkisan, mengunci, membanting dan lain sebagainya dipelajari hanya untuk melindungi diri bukan untuk berbuat onar.
Pelestarian
Agar silat Tomia tetap lestari, maka harus ada perhatian. Langkah pelestarian mansa bisa seperti cara yang telah dilakukan oleh banyak perguruan silat besar di Indonesia, yaitu dengan menghidupkan perguruan silat dengan mendirikan padepokan dan mengajarkannya pada generasi muda.
Selain itu pengajaran silat ini bisa dihidupkan lewat kegitan ekstrakurikuler sekolah. Silat Tomia bisa hidup dengan mengikuti sistem bela diri moderen seperti karate, tewkondo dan lain sebagainya yang menggunakan iuran bulanan dari tiap murid.
“Silat bisa diajarkan kecuali ada yang berminat, kenapa banyak silat diajarkan dipesantren karena silat adalah salah satu bagian dari penyebaran Islam. Dalam sejarah Sajo dan Mansa’a merekatkan persatuan masyarakat, misalnya dalam Sajo Anaana moilu menggunakan bhanti Bula Malino yang mengandung ajaran Islam karangan Sultan Buton Muhammad Idrus Kaimuddin. Kemudian Mansa diperkuat dengan pentas seni silat misalnya tradisi mansa’a pada setiap acara besar agar orang tertarik,” kata H. M Djunaidi
Kehidupan saat ini berbeda dan banyak tuntutan hidup, menjadikan salah satu alasan banyak pamansa sekarang tidak mengajarkan silat lagi.
“Saya tidak mempunyai murid karena, sekarang berbeda situasi, banyak kesibukan dan sudah berat tanggung jawab, dan sekarang kita fokus bekerja cari nafkah untuk kelurga. Dan anak-anak sekarang banyak yang tidak serius, karena latihan silat itu melelahkan, karna gerakan harus benar,” ujar La Bakri