Sandali Tolapasi: Membantah Citra Perempuan dan Laki-laki yang Lazim di Masyarakat Wakatobi : Lagu sandali Tolapasi ini, merupakan lagu berbahasa daerah Tomia, Wakatobi. Pertama kali saya dengar 4 tahun silam. Kala itu nyaris setiap speaker bluetooth para remaja, bahkan anak-anak, hingga muda mudi, maupun tua, membunyikan lagu ini. Booming? Tentu saja.
Afana sandali tumolapasi
(Seperti sendal yang putus tali)
U torai aku di asapale nu intenga
(Kau tinggalkan aku di separuh perjalanan)
Mina di mollengo ku tangamo
(Dari dulu sudah kukatakan)
Kua kaassi ta mosaindeu torusu
(Kita akan saling menjaga selamanya)
Sandali Tolapasi: Membantah Citra Perempuan dan Laki-laki yang Lazim di Masyarakat Wakatobi
“Sandali tolapasi” jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah sendal yang putus talinya. Lirik lagu ini mengambil analogi sendal yang ditinggalkan di separuh perjalanan karena putus talinya sebagai gambaran pada hubungan sepasang suami-istri yang karam.
Sendal merupakan benda yang bisa melindungi sepasang kaki dari benda-benda yang berbahaya. Sendal bagaikan sebuah mesiah yang memberi kenyamanan sepanjang perjalanan pada sepasang kaki tuannya.
Namun, tidak hanya sampai di situ. Entah bentuk sendal, warnanya, atau apalah, selalu ada hal yang membuat tuan sendal mempertahankan sendalnya. Bahkan ketika talinya sudah putus. Yeah, saya sering menyaksikan nenek saya pulang dari kebun dengan muka letih sambil menenteng sendalnya yang putus sebelah, yang lalu ia jahit sendiri pada sore harinya. Dan, ia pakai kembali ke kebun keesokkan.
Anne’e wa u tandaie?
(Apakah kau ingat?)
Na posinta-sinta to di molengo
(Dahulu kita berkasih-kasih)
U tanga wa kua ta mosaindeu torusu
(Kau katakan kita akan saling menjaga selamanya)
Pada mulanya Mereka (kedua tokoh dalam lagu) berjanji untuk saling setia. Hingga ketika sang suami harus pergi merantau. Soal merantau, itu ialah sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan pria Wakatobi dahulu kala. Berlayar menggunakan perahu bersama kelompoknya, menyeberangi bentang lautan. Menuju satu pulau ke pulau lain. Demi menjajakan barang dagangan yang dibelinya dari pulau Jawa.
Biasanya, pada saat suaminya sedang merantau. Sang istri di kampung akan menunggunya.Tak perduli seberapa lama. Tak perduli bagaimana kelakuan suaminya di seberang sana. Setia atau tidak. Lagipula, dahulu kala teknologi tak secanggih sekarang. Maka kabar suka kabur dari rabaan Indra. Hingga perempuan Wakatobi kemudian termasyhur dengan gelar setia dan tabah juga penurut.
Mina di olo ku ammala
(Dari lautan aku berdoa)
Doi Toka buntu kurato
(Semoga tiba secepatnya)
Inta sa ratosu kuekka ka sapo
(Tapi ketika aku tiba di rumah)
Demo wa te ananto
(Tinggal anak kita di sana)
Sendal yang putus dan ditinggalkan di separuh perjalanan dalam lagu ini, digambarkan sebagai sebuah komunikasi yang gagal dilakukan dalam sebuah hubungan. Hingga enggan memperbaiki apa yang rusak. Dan, sendal putus nenekku yang dia bawa pulang (yang tadi saya ceritakan di atas) adalah gambaran mencari jalan keluar masalah yang terjadi. Dan tentu, tidak dengan merugikan salah satu pihak.
Namun, komunikasi saja tidak cukup tanpa diiringi oleh kesadaran dan tindak nyata dari kedua belah pihak. Sendal nenekku yang dia jahit ulang kemudian dipakai kembali, barangkali akan rusak juga suatu ketika, collapse dan tak terselamatkan. Persis seperti hubungan sepasang suami-istri dalam lagu ini.
Ku Ema te ananto
(Aku bertanya pada anak kita)
Kua i maumpamo
(Bahwa di mana)
Wa Unga ni wa Ina
(Ibumu nak?)
No tanga Kuana no kawimo
(Dia menjawab, kau telah menikah)
Biasanya, Perempuan seperti yang dikisahkan dalam lagu ini selalu dikonotasikan negatif; te wofine hira? (Perempuan macam apa?) Sebaliknya, jika dia laki-laki, maka masyarakat hanya akan merespon; te moane akonomo! (begitulah laki-laki!)
Jika menemukan kasus serupa. Mari kita telaah lebih jauh sebelum men-judge. Siapa yang bisa menyangka, ada berapa komunikasi dan pengalaman pahit dari pasangan, yang mesti disangkal demi mempertahankan hubungan yang toxic.
Tak perlu jauh-jauh, di tetangga kita, atau mungkin di dalam rumah kita sendiri. Tetangga, saudara perempuan mu, atau mungkin ibu kamu. Berapa oktaf suaranya yang nyaris melengking usai tamparan mendarat, harus ia redam demi menyelamatkan nama baik. Banyak juga yang tidak mengetahui bahwa kejadian seperti ini termasuk dalam kekerasan. Yang dalam tahap tertentu bisa dikenai sanksi pidana. Malah dianggap banyak orang sebagai aib yang mesti ditutup rapat.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) itu ada banyak rupa. Mulai dari atas ranjang sampai jalanan. Dari fisik hingga ekonomi. Ia bisa datang dari banyak celah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat per 2 Maret – 25 April 2020, terdapat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa, dengan total korban 277 orang.
Bayangkan, ini total angka kekerasan dalam sebulan. Budaya ini jelas menunjukkan dampak dari bentuk budaya patriarki yang diwariskan oleh nenek yang memposisikan perempuan sebagai yang tabu mengangkat suara sekaligus yang kerap menjadi objek.
Sungguh, lirik lagu ini membantah imaji populer tentang Perempuan. Tentang Citranya yang lazim di masyarakat, khususnya di Wakatobi. Bahwa kenyataannya perempuan Wakatobi adalah makhluk penurut yang tidak berani bahkan diposisikan sebagai yang tabu mengambil keputusan.
Tidak berhenti sampai di situ. Lagu ini juga turut membantah imaji populer tentang laki-laki. Bahwa laki-laki yang merantau itu mata keranjang dan sulit setia. Siapa bilang, buktinya jelas kok di himne paling populer se-Timur Raya: pelaut mata keranjang, Jangan percaya mulut rica-rica. Kalau ayam rica-rica saya jual, percayalah!haha
Sudah saatnya kita mendefinisikan ulang pandangan lazim tentang perempuan dan laki-laki dalam suatu hubungan di masyarakat kita. Dalam kenyataannya memang keduanya adalah subjek yang menjalin dan menjalani. Sudah seharusnya punya ruang dengan porsi seimbang. Dalam bersuara mengeluarkan pendapat ataupun mengambil keputusan.
Perempuan tidak akan kehilangan hak-haknya sebagai manusia termasuk hak memilih dan mengambil keputusan, hanya karena dia punya rahim, payudara dan vagina. Atau laki-laki tidak akan kehilangan hak untuk mengekspresikan rasa sedih dan terlihat aneh jika menangis karena kehilangan dan patah hati. Temannusia ako nomo!(begitulah manusia!)
Sandali Tolapasi: Membantah Citra Perempuan dan Laki-laki yang Lazim di Masyarakat Wakatobi
Editor: Ebi