Penulisan dan penuturan sejarah ritus haji dalam tradisi idul kurban dan budaya maritim Wakatobi sering bias gender. Keberadaan perempuan acap terlupakan. Kalaupun ditulis, nama-nama perempuan itu dihadirkan dengan meromantisasi posisi mereka yang tersubordinasi atau terpinggirkan sebagai objek pelengkap cerita.
Sosok Siti Hajar Dalam Sejarah Idul Kurban
Cerita yang banyak hilir mudik di balik peringatan idul qurban, hanya membingkai dua sosok: Nabi Ibrahim as dan Ismail as. Di mana banyak dikisahkan kepada kita tentang pengorbanan keduanya kepada Allah SWT. Keteguhan dan kesabaran seorang ayah (nabi Ibrahim as) yang mengikhlaskan anaknya (nabi Ismail as) untuk disembelih.
Tak banyak yang tahu bahwa ada sosok Siti Hajar, salah satu subjek utama, yakni seorang budak perempuan kulit berwarna, yang sangat berperan dalam peristiwa kurban yang kita peringati sebagai hari raya kurban hari ini. Yang semangat dan pengorbanannya diabadikan pula dalam Alquran.
Dikisahkan bahwa Siti Hajar merupakan budak yang dihadiahkan oleh Raja Fir’aun kepada Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim as. Beliau kemudian menikah dengan nabi Ibrahim as atas permintaan Siti Sarah karena alasan tertentu. Pernikahan Siti Hajar dan Nabi Ibrahim ini dikaruniai seorang anak yang diberi nama Ismail. Namun, meskipun pada mulanya Siti Sarah yang meminta kepada nabi Ismail untuk menikahi Siti Hajar, lambat laun terbit juga rasa cemburu di hati Siti Sarah.
Oleh karena itu, demi menghindari pergolakan, maka turunlah perintah Allah SWT untuk memindahkan Siti Hajar dan Ismail ke Mekkah. Lantas berangkatlah Nabi Ibrahim memenuhi perintah tersebut.
Pada saat itu Siti Hajar menunjukkan sisi rasionalitasnya dengan memenuhi ajakan Nabi Ibrahim untuk pindah ke Mekkah, demi keutuhan rumah tangga mereka dan menjaga perasaan Siti Sarah yang dia hormati sebagai sesama perempuan.
Siti Hajar dan Ismail pun ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim di Mekkah lalu kembali ke Syam tempat istri pertamanya. Ketika itu Mekkah masih berbentuk padang pasir nan tandus, tanpa manusia lain dan kehidupan lain di sana. Menyadari hal itu Siti Hajar sempat mempertanyakan kenapa dia dan anaknya mesti ditinggalkan berdua saja di sana
“Ke mana engkau akan pergi dan meninggalkan kami di padang pasir yang tidak ada manusia dan bahkan kehidupan ini? Apakah Allah SWT memerintahkan kamu wahai suamiku?”
“Benar,” jawab Ibrahim.
“Kalau begitu, Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan kami” ucap Siti Hajar yang mengisyaratkan sisi spiritualitasnya, betapa dia juga yakin pada rencana dan ketetapan Allah SWT. Maka dimulailah babak baru kehidupan Siti Hajar sebagai ibu tunggal yang membesarkan dan mendidik anaknya selama masa LDR-an dengan suaminya.
Suatu ketika saat persediaan bekal makanan dan air sudah habis, air susu Siti Hajar ikut mengering. Siti Hajar menunjukkan kegigihannya menyintas hidup dan tanggung jawabnya pada anaknya. Dengan penuh keyakinan bahwa Allah tak akan menyia-nyiakan mereka, dia berlari bolak balik bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali demi mencari sesuatu yang bisa dimakan atau diminum. Yang kini, upaya beliau menyintas hidup itu menjadi salah satu rukun dalam ibadah haji, yakni Sa’i.
Siti Hajar tak kunjung menemukan makanan maupun minuman meski sudah bolak balik mencarinya. Ia berkali-kali memandang ke sekelilingnya dari atas bukit Shafa dan Marwah tapi nihil. Tiba-tiba muncullah mata air dari arah kaki bayinya yang saat itu menangis keras sambil menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Siti Hajar lantas bersegera membasuh bibir bayinya dan wajahnya, kemudian meminum air itu. Ketika itu pula terpikirkan untuk mengeruk pasir yang menutupi mata air sambil berucap “zamzam” berkumpullaah!
Karena munculnya mata air zamzam ini, maka bermukimlah Siti Hajar dan bayinya di sekitar itu. Mata air ini juga mengundang kehidupan lainnya, tumbuhan mulai bermunculan, banyak hewan berdatangan, dan orang-orang juga banyak yang singgah mengambil air, bahkan ikut bermukim di sana.
Selama masa LDR-an dengan suaminya, Sitti Hajar banyak mentransfer ilmu kebajikan kepada Nabi Ismail yang tercermin dalam sikap beliau saat ayahnya, Nabi Ibrahim, menerima perintah Allah untuk menyembelihnya.
Ismail menunjukkan sisi spiritualitasnya, tak gentar dia pun mengiyakan permintaan ayahnya. Hal yang sama terjadi pula pada ibunya Siti Hajar. Meski keyakinannya lagi-lagi harus diuji, dan kini dengan perintah menyembelih putra semata wayangnya, yang mula-mula ia besarkan susah payah seorang diri.
Perempuan Wakatobi
Waktu bergerak ke masa depan. Berabad-abad lamanya, pada tahun 1901 nun jauh dari semenanjung Arab, empat orang laki-laki pelayar di Pulau Binongko, melepas sauh perahu lambo mereka.
Empat orang nan gagah berani itu bertekad mengukir sejarah, mereka hendak melakukan perjalanan ibadah haji lewat laut. Dan, impian itu tercapai, tentu saja. Sebab mereka adalah pelayar-pelayar tangguh yang lahir dari angin dan ombak.
Diceritakan bahwa empat orang yang kemudian dikenal sebagai Haji Hohaa itu berlabuh di Pakistan, dan dari sana mereka melakukan pernjalanan darat ke Mekkah. Empat orang itu adalah La Samuraa (H. Shiddiq), La Muru (H. Thayeb), La Sirau (H. Abdul Halim), dan La Ali (H. Muhammad Ali).
Dalam rantangan narasi sejarah Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi) kemudian empat orang itu menempati posisi penting. Kisah mereka menandaskan sebuah identitas mentereng orang-orang Wakatobi sebagai pelayar yang heroik dan pemberani. Kalian bisa bayangkan luasnya lautan yang mereka arungi menggunakan perahu kecil yang hanya bermodal layar yang digerakkan angin. Menakjubkan!
Namun, tahukah kalian siapa yang memasak bekal mereka? Benar, ibu, istri dan sanak saudara perempuan mereka. Ketika waktu berlayar akan tiba, para pelayar sibuk mempersiapkan perahu dan perlengkapan selama masa berlayar, para perempuan lah yang menyiapkan bekalnya.
Sayang sekali seperti yang kalian tahu, mereka tak tergubris dalam kisah heroik itu. Sementara, boleh dikata, tak akan ada pelayaran tanpa makanan. Peran perempuan dalam kisah tersebut tak dihadirkan.
Padahal ada banyak kisah yang tak kalah penting mengitari para perempuan itu. Kerja-kerja mereka bertahan hidup di pulau dan cerita di mana mereka berupaya menjaga marwah keluarga: mendidik dan menjaga anak-anak agar tumbuh dengan baik seperti yang dilakukan Siti Hajar.
Tidak ada kisah yang menjabarkan istri-istri Haji Hohaa itu ketika mereka harus bersusah payah berkebun dan menyuluh demi kebutuhan keluarga selama ditinggal suaminya berlayar. Belum lagi cerita akan derita mereka terhadap fitnah maupun hinaan yang mereka alami di kampung sebagai perempuan yang miskin dan buruk rupa.
Belum juga kita membahas pengalaman ketubuhan utama mereka tatkala sakit atau datang bulan dan melahirkan tanpa didampingi suami. Dan kesepian bercampur kekhawatiran, juga rindu yang mereka mesti tanggung dan siasati setiap harinya.
Tidak ada kisah-kisah itu. Dan, pada akhirnya kita menyadari tidak ada kisah perempuan di sejarah peradaban maritim dan kejayaan islam di Wakatobi. Kisah perempuan kerap disingkirkan dan itu memang dengan sengaja dilakukan. Setidaknya itu sudah dibuktikan oleh banyak gagasan perihal narasi sejarah peradaban dunia.