Pelayar di Wakatobi, Pulau Tomia, tidak bertumpu pada laki-laki semata, tetapi perempuan juga ikut berperan yang terwujud dalam tindak tanduk mereka. Berikut ini ulasan ritual-ritual istri pelayar.
Usuku, kisaran tahun 2000an, saya menyaksikan beberapa aktivitas Mama saya, sebagai istri pelayar-pedagang, ia senantiasa melakukan ritual-ritual leluhur para perempuan pelayar Wakatobi, terutama Pulau Tomia. Di waktu kecil saya kadang diajak untuk menemaninya.
Seiring saya dewasa, perubahan pada Tomia terus terjadi. Perahu-perahu tergerus oleh teknologi yang semakin menghegemoni peradaban budaya maritim masyarakat Tomia. Beberapa kultur pelayaaran termasuk ritus perempuan pelayar mulai sirna.
Oleh karena itu untuk mengingatnya kembali sebagai salah satu bagian dari budaya yang membentuk masyarakat Tomia, Wakatobi secara umum, saya melakukan wawancara sembari mengingat apa yang telah saya alami di masa kecil.
Di bawah ini adalah hasil pengamatan dan wawancara dengan mama saya, seorang istri nahkoda perahu Tujuan Hidup milik saudagar bernama H. Ali Nafi.
Joa Salama
Joa Salama adalah ritual sehari sebelum perahu berangkat. Jadi setelah keluar dari galangan tempat dok, kemudian perahu di labuh di pelabuhan atau di pasi siap untuk berlayar, seluruh awak akan berkumpul dan berdoa bersama tetua-tetua adat di rumah pemilik atau juragan perahu. Tujuan Hidup tahun 2000an itu dimiliki oleh Haji Ali Nafi, orang Bahari. Selain berdoa bersama, para awak dan tetua juga akan membicarakan tentang perjanjian dan modal perahu.
Setelah berdoa, mama saya dan istri-istri awak perahu Tujuan hidup menghidangkan beberapa makanan. Ayam kampung yang disembelih adalah syarat utama ritual Joa Salama.
“Harus ada ayam,” kata mama saya ketika saya tanya-tanya.
Selain ayam, ada Karasi, Cucuru dan loka (pisang). Usai makan, para pelayar kemudian membicarakan perihal perahu, terutama modal.
Joa Salama juga bermakna sebagai rasa syukur akan rezeki yang diperoleh.
Siriwale
Di hari Tujuan Hidup lepas sauh dan berlalu di horizon, istri-istri pelayar belum pulang ke rumah mereka, melainkan ke rumah Haji Ali Nafi dahulu. Mereka akan melakukan Siriwale.
Siriwale diadakan dengan menyuguhkan sepiring beras dan sebutir telur di atasnya, serta uang seratus rupiah hingga lima ribu rupiah hasil potau-tau para istri. Siriwale dipimpin salah seorang tetua adat atau imam masjid untuk membacakan doa.
Baca
Tiga atau empat hari perahu berlayar, mama saya ke rumah Haji Ali Nafi lagi. Ia dan para istri lain membuat kue Waji atau pisang goreng. Kali itu mereka akan mengadakan ritual Baca.
Baca menghadirkan empat orang tetua membaca Kitab Barzanji. Orangtua itu saling bergilir membaca, kemudian menutup bacaan mereka dengan doa.
Sajakaa
Hari Jumat, Mama saya dan para istri berkumpul, mereka hendak melakukan Sajakaa.
Sajaka adalah ritual para istri awak perahu setiap hari Jumat untuk mendoakan suami-suami mereka yang tengah berlayar. Sajakaa biasanya dilakukan di rumah seorang tetua. Di Usuku, mama saya dan kawan-kawannya menuju rumah seorang tetua bernama Haji Salamu.
Para istri itu membawa serta soilo (daun sirih), eppu (kapur), wengka (pinang), rokok tembakau dan se-amplop uang lima ribuan yang mereka taruh di dalam piring berbungkus sapu tangan. Bahan-bahan itu adalah syarat ritual yang nanti diisi di Tobha Haji Salamu. Setelah molifo ( mengemas), mereka membawa bahan-bahan itu, beramai-ramai jalan kaki menuju rumah Haji Salamu. Sesampai di sana, mereka langsung duduk menghadap sang orang tua. Mama saya maju mendekat ke orang tua yang sudah mulai berkurang pendengarannya.
“Hajioo te anakoda nu Tujuan Hidup” kata mama saya dengan nada sedikit kencang.
“Ooo La Jamaludi?”
“Ooo“
Haji Salamu lalu mulai membaca doa. Orang tua itu memeriksa bahan-bahan terlebih dahulu, lalu kemudian mulai merapalkan doa-doa. Mama saya dan perempuan lain ikut menengadahkan tangan. Rapalan harapan terbang ke langit.
“Leka kai te sura?” tawar Haji Salamu ke para istri pelayar usai berdoa.
“Ooo Haji,” jawab Mama saya.
Haji Salamu lantas meraba kitab Al Quran yang ada di depannya. Satu hembusan nafas, orang tua berambut putih itu melirihkan “Bismillah” sembari tangannya membuka Al Quran. Lembar yang terbuka itu kemudian ia baca surat yang tertera dan setelah itu ia mulai memaknai lantas memastikan lokasi perahu dan kabar Tujuan Hidup.
Ritual-ritual itu terus dilakukan hingga perahu kembali lagi ke kampung. Tahun 2000an itu karena mungkin memang masih kecil, saya belum begitu paham apa makna setiap aktivitas itu. Baru setelah tumbuh dewasa, sekarang, saya merefleksikan setiap kepingan kenangan itu dan saya pikir kegiatan doa-doa macam itu adalah bentuk-bentuk ketekunan adat dalam merawat kerinduan dan cinta para istri pelayar yang ditinggal hingga berbulan-bulan lamanya.
Inilah kemudian jawaban atas apa yang diresahkan oleh muda mudi saat ini, bahwa ketika mereka ditinggal suaminya merantau dan mereka merasa tersiksa -meskipun teknologi sudah begitu erat- mungkin karena mereka kehilangan spirit kerinduan yang sesungguhnya yang hanya ditemukan dalam ritual-ritual. Entahlah.
Setelah banyak perahu didok dan perlahan aktivitas berlayar menghilang di Usuku, saya kemudian menyadari tentang pentingnya membuat jejak catatan sebagai pengingat masa lalu.