Novel ini bercerita tentang isu besar yang jarang dibicarakan masyarakat Wakatobi: Kekerasan seksual pada anak
Novel ini bercerita tentang isu besar yang jarang dibicarakan masyarakat Wakatobi: Kekerasan seksual pada anak

Novel ini bercerita tentang isu besar yang jarang dibicarakan masyarakat Wakatobi: Kekerasan seksual pada anak

Novel berjudul “Savannah” setebal 250 halaman ini ditulis oleh seorang penulis perempuan berdarah asli Wakatobi, Ima Lawaru.

Ima Lawaru adalah penulis yang puisi-puisinya kerap hadir memikat di media-media lokal dengan diksi yang kuat dan jujur. Dan, diksi macam itulah juga yang akan kita jumpai dalam novel pertamanya ini.

Savannah diceritakan dengan apik dan renyah. Ima Lawaru selalu berhasil mengurai gagasannya dengan baik.

Ide besar dalam buku ini adalah tentang isu tabu yang jarang diperbincangkan masyarakat Wakatobi, yakni kekerasan seksual pada anak.

Meski kemudian aktivitas menulisnya terbenam oleh peran domestik yang menyita ruang menulisnya hingga membuatnya kepayahan melahirkan karya berikut,  saya angkat topi atas keberaniannya di sini memilih gagasan tersebut.

Ima Lawaru dalam hal ini berani melawan arus yang lebih dominan. Ia berusaha melakukan perlawanan atas hegemoni romantisasi dan perayaan atas kisah cinta nan sukses dalam dunia kesusastraan kita, sekali lagi, khususnya di Wakatobi. Ia dan Savannah menyuguhkan hal-hal gelap yang jarang tersorot.

Keputusan untuk mengangkat Kekerasan seksual terhadap anak  sebagai konflik utama dalam sebuah buku fiksi, dengan menggunakan perspektif orang pertama tunggal yang konon berangkat dari kisah nyata,   merupakan strategi tersendiri bagi beberapa penulis seperti Ima Lawaru.

Penggunaan sudut pandang orang pertama ini untuk mendobrak imaji populer yang cenderung memandang kekerasan seksual sebagai aib yang mesti ditutup rapat, dengan memberikan ruang sebebas-bebasnya kepada korban untuk berbicara sebagai tokoh fiksi.

Membuka bab dengan “hujan” lament tokoh utama, layaknya entakan yang  memantik empati pembacanya. Sang tokoh yang diberi nama seperti judul bukunya, Savannah, ini mesti bergulat dengan dirinya sendiri: merasa telah mati sejak hari ia diperkosa, marah dan terus-menerus dihantui keinginan bunuh diri serta rasa bersalah atas peristiwa yang menimpanya.

Beranjak pada bab berikutnya, karakter Savannah yang menjadi korban kekerasan seksual digambarkan secara eksplisit dengan menyuguhkan cerita masa kanak-kanaknya yang riang dan gemilang.

Satu bab khusus juga disediakan untuk mengurai karakter tokoh ibu sebagai sosok yang disiplin, tegas, dan sangat perhatian terhadap perkembangan pendidikan dan agama  anak-anaknya.

Dengan memberi ruang khusus untuk mengenali kedua tokoh perempuan ini, ibu dan anak, penulis secara tak langsung ingin membantah stigma yang sering dilekatkan kepada korban kekerasan seksual. Bahwa korban kekerasan seksual bukan orang yang selalu dipikirkan banyak orang bahwa ia memiliki moralitas yang buruk sehingga patut dilecehkan. Begitu pula dengan ibu yang diberi beban ibuisme sebagai penjaga moral yang di sini berhasil dengan tegas dibantah Ima Lawaru bahwa ibu Savannah senantiasa menjaga moral dan pendidikan anak-anaknya.

Karenanya, kekerasan seksual bukan tentang moralitas korban. Kekerasan seksual yang menimpa Savannah pada malam itu, terjadi karena relasi kuasa yang timpang.

Savannah kecil bertubuh mungil ternyata sudah diintai serta diperhitungkan kekuatannya. Ia mesti berhadapan dengan sosok lelaki dewasa bertubuh besar dan kekar dalam malam gelap di tepi tebing yang jauh dari kampungnya.

Savannah kecil tak berdaya di hadapan kekuatan besar yang dengan buas melahapnya itu. Yang belakangan pelakunya diketahui sebagai teman karib ayahnya.

Sosok riang Savannah kemudian hilang berganti muram. Malam itu Savannah tidak  hanya mendapat serangan seksual secara fisik, namun juga psikis. Malangnya,  perubahan drastis itu tidak hanya terjadi secara intim di dalam diri Savannah, tapi  juga di luar dirinya, pada setiap orang yang mengenalnya. Semua orang di kampung sejak kejadian itu memandang “beda” pada Savannah.

Di mata dan ingatan teman-teman sebayanya, tetangganya,  bahkan bagi saudara dan orang tuanya. Savannah yang dulunya  periang itu kini tidak lebih dari seorang yang muram yang telah diperkosa. Dan setiap orang dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai patriarkal dan mengkultuskan keperawanan,  tahu betul, apa hukuman bagi perempuan yang telah diperkosa.

Savannah kecil dan keluarganya didiskriminasi. Di sekolah teman-teman dan anak sebayanya mengolok-oloknya. Orang-orang di kampung Savannah? Mereka bahkan merasa berhak mewakili tuhan untuk mengatakan bahwa apa yang menimpa Savannah adalah sebuah tulah yang harus ia telan sekeluarga.

“Te wofine iso no kone emo te ibilisi. Somba wa Opu somba tabea. Na lengo nu jamani i kampo ana la’amo di iya duka na rumaho te bala’a fana iso”

“Perempuan itu telah disentuh oleh iblis, jauhkan dari segala malapetaka, jauhkan ya Tuhanku. Sepanjang zaman di kampung ini, barulah dia yang ditimpa malapetaka itu.”

Begitu orang-orang tua di kampung kerap merapal doa yang sarat dengan victim blame, menyalahkan Savannah atas kejadian yang menimpanya.

Savannah kecil dan keluarganya tak kuasa menanggung malu menghadapi semua desas-desus dan stigma negatif sebagai korban pemerkosaan. Mereka kemudian memutuskan untuk pergi dari kampung. Lalu bertekad akan memulai kehidupan di tempat lain sembari berusaha melupakan kejadian kelam itu. Atau mungkin lebih tepatnya, berpura-pura melupakannya.

Sayangnya ingatan Savannah tak pernah bisa tidur sejak malam kelam itu. Dia terus dihantui kejadian traumatis tersebut. Ironisnya lagi,  di sela-sela berbagai upayanya untuk melupakan, ia sekali lagi mesti berhadapan dengan pelaku kekerasan seksual, yang kali ini pelakunya adalah keluarga, ayah tiri Savannah. 

Savannah diperkosa dengan dalih sebagai hukuman karena ia telah atau telanjur tak bernilai karena pernah diperkosa.

Tokoh Savannah mendapat serangan seksual bukan dari orang asing dan jauh, namun dari orang-orang di sekitarnya. Ia seorang korban kekerasan seksual yang mengalami kematian berkali-kali dalam buku ini. Ia  (merasa) telah mati sejak malam ia diperkosa.

Ia  dibunuh oleh berbagai stigma yang ditempelkan ke jidatnya saat mencoba berbaur lagi dengan lingkungannya. Ia tetap tak kunjung mendapatkan kehidupannya kembali meski telah pergi jauh dari kampungnya.  Ia dihukum tidak hanya oleh masyarakat tapi juga oleh keluarga (ayah tiri). Ia  benar-benar dianggap sebagai aib dan dosa, sesuatu yang tak bernilai yang bisa saja membawa bala kepada seisi kampung.

Sementara itu pelaku kekerasan seksual tak pernah diadili. Savannah tahu itu. Ia ingat betul bagaimana orang-orang di kampungnya dengan mudah melupakan sosok pelaku lalu mulai menyalahkan dirinya. Karenanya, ia pun mulai mengumpulkan keberanian untuk mencari keadilannya sendiri.

Pada malam terakhir saat tubuhnya lagi-lagi ditindih kekuatan besar, ia membulat-bulatkan tekad untuk meraih sebilah pisau yang telah disembunyikan di bawah bantal sejak dua hari lalu.

Malam itu, ia  tidak memilih menjadi Mariam Si Manis di Jembatan Ancol  yang  membunuh pemerkosanya setelah kematiannya. Ia memilih menjadi Marlina yang membunuh lalu menenteng kepala pemerkosanya ke kantor polisi.  Pisau  itu ia tancapkan ke tubuh ayah tirinya, tidak pula untuk dibawa ke kantor polisi, namun, untuk menghajar dan mengajari setiap dan orang apa itu keadilan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here