Bagaimana penyebaran dan peneguhan islam di pulau-pulau Wakatobi?
Kepercayaan masyarakat yang menghuni pulau-pulau di Kabupaten Wakatobi dominan beragama Islam. Karenanya, sosio kultural yang terbentuk di tengah masyarakat kemudian banyak berlandaskan pada pilar-pilar agama islam.
Namun, bagaimana islam sampai ke pulau-pulau pelosok di ujung tenggara sulawesi ini? Bagaimana islam menjadi kepercayaan yang begitu kuat di masyarakat?
Pertanyaan ini telah lama menghantui para intelektual Wakatobi maupun para pemikir dari luar. Beberapa sudah mendedahkannya dalam jurnal dan buku berlandas penelitian seperti yang akan banyak diungkit dalam ulasan ini.
Penyebaran dan Peneguhan Islam
Penyebaran agama Islam di Wakatobi tentu tak lepas dari hegemoni kekuasaan ketika itu. Dalam hal ini kekuasaan yang diterapakan oleh kesultanan Buton.
Wakatobi merupakan wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Buton. Gugusan pulau-pulau Wakatobi yang dahulu disebut Liwuto Pasi ditetapkan menjadi Barata atau wilayah yang merepresentasikan pemerintahan keraton, terutama untuk mengawasi wilayah bagian timur Buton.
Dari sana bisa diraba kemudian bahwa para ulama yang datang atau menyebarkan islam ke pulau-pulau di Wakatobi tak lepas dari relasi kuasa kesultanan yang terejawantah dalam ruang sosial masyarakat di semenanjung Kepulauan Tukang Besi ini.
Dalam narasi besar sejarah Kesultanan Buton, Syekh Abdul Wahid yang dalam beberapa catatan ditulis dengan Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman menjadi tokoh yang memang disebut sebagai penyebar islam di Negeri Butuni ini. Ia juga yang kemudian mengislamkan Raja Buton kala itu La Lakin Pontio (Ponto) menjadi Sultan Murhum Kaimudin I pada tahun 1542 atau 948 Hijriyah.
Namun, diakui oleh sejarawan bahwa Syek Abdul Wahid telah datang ke wilayah pulau-pulau pinggiran Buton jauh sebelum sang sufi asal Johor itu diakui atau pergi ke keraton. Ada yang mengatakan penyebaran Islam sudah dimulai abad ke-7 oleh orang Arab yang langsung diutus Nabi Muhammad dari Mekkah.
Dalam penelitiannya di Pulau Binongko, Abdurahman Hamid mengatakan bahwa warga Binongko percaya Syekh Abdul Wahid menjadi ulama penyebar pertama ajaran Islam di Binongko.
Di sini Hamid menerangkan jika Binongko menjadi pulau yang lebih dahulu mendapatkan pengaruh Islam di antara 4 pulau lainnya. Pulau itu kemudian dijuluki sebagai serambi mekahnya atau “Porch of Mecca” Wakatobi.
Di Pulau Tomia, orang-orang meyakini seorang ulama bernama Inci Sulaiman sebagai penyebar islam. Belum terlalu jelas, apakah Inci Sulaiman merupakan Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman, tetapi sang sufi dipercaya berasal dari Johor.
Menariknya, para ulama yang datang selalu disokong dengan cerita-cerita mistis dan kesaktian yang erat kaitannya dengan penguasa setempat. Penggambaran Inci Sulaiman misalnya yang memiliki kesaktian menyembuhkan seorang penyakit kulit putri raja ketika itu.
Intinya, seperti diterangkan Hamid bahwa kedatangan para ulama atau penyebaran islam ini acap dikisahkan dalam kerangka metafora penuh mistik. Pemikiran mistik menjadi hal dominan di tengah masyarakat Binongko.
“The mystical mind in Binongko is dominant,” tulis Hamid.
Kemistisan atau kisah-kisah metaforis ini merupakan apa yang disebut Geger Riyanto sebagai bagian penting dalam pelanggengan hubungan-hubungan kekuasaan. Mengutip Rudyansjah yang mengupas perihal Kuasa Kesultanan Wolio, Geger mengemukakan bahwa kiasan memang bukan gambaran realitas, tetapi diperlukan dalam penyebaran kekuasaan.
Maka, sekali lagi, kisah-kisah penyebaran islam di Wakatobi erat kaitannya dengan proyek pengukuhan kekuasaan kesultanan.
Islam sebagai ideologi
Dalam buku Kesepakatan Tanah Wolio: Ideologi Kebhinekaan dan Eksistensi Budaya Bahari di Buton, dijelaskan bahwa karakter agama islam yang masuk ke Buton adalah islam yang hakiki. Dalam hal ini ia tak terkotak-kotak dalam mahzab tertentu.
Ciri atau karakter islam hakiki yang ada di Buton tersebut terumuskan dalam beberapa prinsip yang berorientasi pada Penyatuan (tauhid), Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Dari rumusan ini terciptalah undang-undang kesultanan Murtabat Tujuh yang terdiri dari dua pilar utama, yakni prinsip pengenalan Tuhan di dalam diri dan prinsip pobinci-binciki kuli yang bermakna mencubit kulit sendiri akan terasa sakit, maka tentu akan sakit pula bagi orang lain. Prinsip kedua ini mengandung apa yang disebut para pemikir antropologi sebagai resiprokalitas atau sifat saling berbalasan.
Resiprokalitas ini menjadi kata kunci dalam melihat teguhnya islam di dalam gerak peradaban masyarakat Buton, tak terkecuali di Wakatobi. Hampir di setiap laku atau adat istiadat sifat resiprokal selalu muncul.
Di Wakatobi ada falsafah hidup Poasa-asa Pohamba-hamba yang bermakna bersama saling bantu membantu. Ada juga falsafah Sabangka Sarope yang bermakna satu perahu atau senasib.
Dua laku hidup tersebut bisa dengan mudah kita katakan mengandung sifat resiprokal mengingat makna dari deretan kalimat tersebut. Dan, makna dari dua falsafah tersebut mirip dengan apa yang ada dalam Pobhinci-bhinciki kuli yang memiliki turunan makna seperti pomae-maeka (takut-menakuti), popia-piara (pelihara-memelihara), pomaa-maasiaka (sayang-menyayangi), dan poangkaa-ngkataka (hormat-menghormati).
Kesemuanya itu berasal dari rumusan islam hakiki yang diaktualisasikan masyarakat Buton, Wakatobi secara lebih khusus.