Haji La Golu berencana mengembalikan kejayaannya sebagai pelatih sepak bola tersohor di pulau para pelayar ini. Ia ingin membawa klub Kelurahan Tongano Timur juara kembali di liga 17 Agustus tahun ini. Sudah dua tahun ke belakang nama nakhoda Perahu Fajar Pagi itu tak tertera di podium sebagai pemenang. Seorang pelatih muda asal Kelurahan Bahari bernama Jan Di telah menggantikannya. Pns yang kerja di kantor dinas perikanan itu sudah meruntuhkan dominasi tongano timur di lapangan dan merebut piala liga Kecamatan dari tangan sang nakhoda. Dengan taktik yang lebih modern, Jan Di memang muncul sebagai penantang serius di liga sepak bola di pulau para pelayar ini.
Karena ketaklukan dua kali beruntun itu, banyak pelayar tua yang sebagian kawan Haji La Golu berujar bahwa masa pelatih tua itu telah usai. “Sudah waktunya ia menjadi tetua adat dan membenamkan diri di langgar berdoa kepada Tuhan agar ia masuk surga, menghapus dosa-dosanya selama ini. Tak usah lagi merecoki sepak bola pulau ini yang memang sudah menjadi milik anak-anak muda.”
Tapi laki-laki kurus berkulit gelap dengan tatapan tajam mirip ikan Simba itu masih berambisi, ia masih tak terima bila kemasyuran namanya direbut begitu saja, apalagi oleh anak muda bau kencur yang baru menetap dua tahun di Kecamatannya. Baginya, Jan Di tak lebih hanya pria muda yang dilingkupi keberuntungan. Karenanya Haji La Golu akan membuktikan bahwa ia belum selesai. Maka ia mulai menyusun rencana untuk merebut kembali tahtanya.
***
Guna memuluskan strateginya tahun ini, Haji La Golu dan Fajar Pagi memutuskan untuk tidak memuat banyak barang dan tidak akan mengambil trayek ke pedalaman Pulau Hitam di Timur Jauh. Mereka akan berdagang di pulau-pulau terdekat saja seperti Pulau Solo dan Pulau Negeri Pala. Kendati itu akan membuat kerugian yang cukup besar bagi juragan perahu nanti, karena hal itu benar-benar tak akan menghasilkan keuntungan apa-apa, bahkan modal saja tak akan kembali dengan utuh. Tetapi Haji La Golu sudah punya siasat untuk merayu juragannya. Maka dari itu, ia tetap pulang lebih awal demi menyusun strategi tim sepak bolanya tahun ini. Ia bertekad liga tahun ini harus menjadi titik baliknya. Ia mesti mencuri momen kejayaannya lagi. Akan ia buktikan kepada Jan Di, kepada seluruh orang-orang di pulau para pelayar bahwa ia belum selesai dan hanya ia seorang yang patut memenangkan sepak bola di negeri itu.
Karena tindakannya itu Juragan Fajar Pagi murka. Ia memarahi dan mengumpat Haji La Golu karena telah menyia-nyiakan keuntungan yang mereka bisa dapat. Sebab bulan-bulan ini di pedalaman Pulau Hitam sedang ramai pembeli. Apalagi sudah mendekati perayaan natal ini.
“Kau tahu kerugian perahu besar sekali. Apa gunanya melatih tim kelurahan yang sudah tak punya daya ini? Sepak bola pulau ini sudah milik Jan Di. Ia bukan lagi milik pelayar sepertimu. Ia milik anak-anak muda yang sekolah. Sepak bola sekarang mesti pakai otak. Bukan otot para pelayar. Meski pakai strategi bukan pakai angin. Sebaiknya kembali ke pelabuhan, berlayar ke kota dan pergi lagi berniaga di kawasan Timur Jauh,” kata juragan perahu yang sekali lagi tak habis pikir dengan kelakuan nakhoda tuanya itu yang masih merasa seperti anak muda.
Haji La Golu sebenarnya marah pada juragannya. Sebab kata-katanya itu telah melukai hatinya, itu sama saja dengan meremehkan prestasinya selama ini. Apalagi si laki-laki tua membandingkannya dengan Jan Di, orang yang sekarang ia anggap sebagai musuh bebuyutannya di lapangan. Tapi Haji La Golu pendam rasa geram itu, karena ia sedang menginginkan uang sang juragan untuk menambal biaya timnya.
Beruntunglah, juragan Fajar Pagi adalah laki-laki yang mudah dibuai dengan kata-kata manis. Dan, Haji La Golu mengenal betul kelemahan pria pendek itu.
“Jaman sekarang orang-orang menulis nama perusahaannya di baju bola. Istilahnya sponsor. Gunannya untuk memperkenalkan perusahaan itu pada orang-orang,” kata Haji La Golu memulai rayuannya.
“Kalau kita bisa menyematkan nama Fajar Pagi di baju bola tongano timur di kompetisi tahun ini, maka orang-orang di seantero pulau ini akan berpikir bahwa tim tongano timur disponsori perahu Fajar Pagi. Dengan kata lain, tim ini dibiayai oleh perahu kita. Dengan kata lain lagi, tim ini dibiayai oleh Anda. Maka orang-orang akan berpikir Fajar Pagi punya banyak uang. Dan, apa yang kau dapat? Kau mendapatkan nama besar, namamu mahsyur. Bahkan Haji Aco tak ada apa-apanya dengan ruko dua tingkatnya itu.”
Untung sabut! Juragan perahu ialah pria dengan tidak teguh imannya, ia mudah ditaklukan. Dengan pujian kau sudah bisa mengambil hatinya, bahkan kau bisa mengambil istrinya yang punya kulit putih mirip cat tembok itu. Maka Haji La Golu, setelah memakai bualannya yang selalu manjur, keluar dari rumah juragan dengan membawa setas uang.
“Belanjakan baju bola berwarna biru laut untuk tim ini. Di punggung atau di dadanya tulisi nama perahu. Sisakan uang itu untuk bubur kacang ijo dan rokok Jisamsu, buat asupan anak-anak yang main nanti,” begitu pesan Haji La Golu pada kelasinya yang hendak menuju kota untuk membelanjakan uang sumbangan juragan mereka itu.
***
Akhir bulan 7, tim tongano timur racikan Haji La Golu terbentuk. Laki-laki yang sudah mengoleksi tiga trofi kecamatan itu berhasil mengumpulkan para pemain yang akan berlaga di liga kecamatan tahun ini. Sayangnya, dalam proses perekrutan itu, Haji La Golu mendapat banyak kritik dari warga kelurahannya.
Satu kritikan awal yang cukup tajam adalah tindakannya merekrut kembali La Saki dalam tim manajemennya. La Saki merupakan laki-laki lama berusia 40-an tahun yang dipercaya mewarisi kemampuan batata (doa-doa) dari bapaknya yang ahli nujum. Namun, ia seperti pria pada umumnya di pulau para pelayar, juga menyukai sepak bola. Bahkan ia kelewat pandai bila bicara tentang olahraga itu, seolah itu hanyalah satu-satunya pengetahuan yang dipunyainya di dunia fana ini, tentunya, setelah kecakapannya merapal mantra. Melihat dua kelebihan yang ada di diri La Saki, Haji La Golu merumuskan lingkup kerja baru untuknya: menjadi ahli nujum tim tongano timur di sepak bola. Dan, perang para dukun pun tak terelakan di liga kecamatan, setiap tim kampung menghadirkan manusia-manusia sakti yang punya doa-doa mereka. Tapi tak ada yang bisa melampaui kemampuan La Saki. Ia adalah anak yang lahir di bawah pohon beringin. Mamanya seorang penari tarian banda yang konon senantiasa mengelu-elukan kehadiran iblis paling durjana di negeri Timur Jauh: Soanggi.
Tetapi kemampuan La Saki pada akhirnya tergerus oleh ilmu pengetahuan dan modernitas. Ia disingkirkan perlahan dari peradaban pulau para pelayar yang kian moderen. Dan, jadilah, orang-orang mengkritik Haji La Golu. Mereka bilang laki-laki tua bangka itu masih juga kolot, ia masih akan memakai cara lama dan di era sepakbola moderen ini ia masih mempercayai kekuatan jampi-jampi dan jimat. Ia benar-benar tidak beranjak dari masa lalu.
Tapi Haji La Golu tidak peduli. Ia seorang pelayar dan dalam kepercayaannya para laki-laki yang berlaga di medan penuh ketangkasan, di arena pertaruhan birahi maskulinitas, kekuatan batata adalah satu yang terpenting.
Kritikan selanjutnya ditujukan pada materi pemain yang disusun Haji La Golu. Ia banyak memanggil pemain lamanya yang sudah uzur.
Misalnya, La Naka, nelayan ikan terbang yang mengisi posisi bek itu, sebenarnya sudah tak kuat berlari. Tapi Haji La Golu tetap memanggilnya. Melihat kehadiran La Naka, Kepala Kampung yang juga adik dari Haji La Golu yang membantu mengamankan posisi manajerial tim sepak bola kelurahan untuk sang kakak, menggelengkan kepala, ia pesimis ambisi kakaknya merebut juara hanyalah ilusi tahun ini.
Pemain lama yang dipanggil Haji La Golu dan punya kondisi meragukan lainnya adalah dua bek sayapnya yang terkenal sebagai pembuat onar dan maniak tuak, La Baco Kandari dan La Jinni yang perut mereka mulai tampak membuncit bak ikan Lombe. Pemilihan kedua pemain itu, dinilai buruk, bahkan oleh anak tetangganya yang setiap hari hanya mencuri jambu mete dan kelapa muda.
Secara keseluruhan orang-orang di tongano timur yang berharap kemenangan pada pertandingan bola di liga agustus tahun ini alih-alih dilingkupi harapan pada tim kesayangan mereka, malah dikerubungi keraguan. Laga belum dimulai tapi kekalahan sudah di depan mata, kata mama-mama penjual bulu babi. Habis sudah riwayat masa-masa kejayaan mereka. Kekhawatiran itu kian memuncak tatkala Haji La Golu memanggil kembali Piri Mohamma sebagai pengganti La Adam dalam mengawal lini serang tim. Mama-mama penjual bulu babi yang juga menjajakan ikan Momar secara berkeliling kompleks itu mengumpat sepanjang jalan.
“Piri Mohamma? tidak masuk akal. Ia adalah aib kelurahan ini,” kata mama-mama penjual ikan keliling itu.
Orang-orang tongano timur tak akan lupa dengan insiden empat tahun lalu, di mana Piri Mohamma yang menjadi algojo penalti penentu kemenangan tim kesayangan mereka malah menendang dengan keras melampaui mistar gawang. Usai itu timbul kabar bahwa Piri Mohamma mempraktikan sepak bola gajah. Ia demi uang rela mengorbankan timnya. Bajingan betul anak muda itu, tak ada harga dirinya sedikitpun, kata bapak-bapak nelayan yang kalah judi karena tindakan Piri Mohamma. Atas kasus itu, Piri Mohamma dibenci orang tongano timur dan ia sama sekali tak pernah diizinkan masuk ke pertandingan resmi lagi.
Namun, tahun ini, kabar cukup mencengangkan tersiar, ia dipanggil kembali Haji La Golu, sang pelatih tongano timur, laki-laki yang merasakan pengkhianatan lebih keras dari siapapun waktu itu. Entah gerangan apa yang membuatnya jadi lunak hati pada seseorang yang sudah menusuknya dari belakang.
Tapi, Haji La Golu dia-diam tahu apa yang dilakukannya. Seperti penjelasan adiknya, sang Kepala Kampung, kepada warga tongano timur bahwa Haji La Golu tahu apa yang dilakukannya. Kita hanya perlu mempercayainya, sebab sepak bola juga adalah tentang saling percaya, katanya. Tapi orang-orang kampung banyak acuh tak acuh padanya. Selain karena mereka mulai tidak mempercayai kakaknya, juga si Kepala Kampung sudah terkenal sebagai pembual. Ia bahkan mengambil uang kotak amal masjid untuk membiayai kampanyenya dahulu kala, dan warga tongano timur mulai menaruh curiga uang masjid itu juga akan diambilnya untuk membiayai tim bapuk Haji La Golu.
***
Orang-orang boleh saja mencemoohnya dengan keputusan itu, namun Haji La Golu tahu bahwa para pemainnya ini memiliki mental yang setidaknya sudah teruji. Itu dulu yang dibutuhkannya. Selain itu, para pemain ini adalah orang-orang yang sudah mempercayainya sejak lama. Selain karena mereka memang adalah mantan dan beberapa -sekarang masih- menjadi anak buahnya di perahu Fajar Pagi. Di dua tahun belakangan, Haji La Golu boleh saja tak mengangkat piala, tapi setidaknya namanya masih masyhur sebagai pelatih top, terutama di kalangan para pelayar. Masih banyak laki-laki di tongano timur hormat padanya. Banyak pelayar ingin bermain di bawah asuhannya. Termasuk Piri Mohamma.
Piri Mohamma sebenarnya pemain yang tidak istimewa. Teknik yang dimilikinnya biasa saja, dan cenderung di bawah rata-rata. Satu-satunya keistimewaannya adalah memiliki tubuh kekar macam bapaknya, nelayan tua yang kini jadi penambang pasir. Dengan tubuh macam itu Piri Mohamma punya body balance yang cukup baik. Kemampuan tubuh dalam berduel dengan lawan adalah modal yang baik dalam sepak bola di liga kecamatan di pulau pelayar ini. Haji La Golu telah berpengalaman dengan itu. Di tempat tongkrongan, sang nakhoda selalu bilang bahwa sepak bola pulau ini mirip dengan apa yang ada di Italia. Ia sering menyebut penyerang Christian Vieri pesepakbola yang tumbuh di Bologna dengan badan tinggi besar yang sangat buas di kotak penalti, atau kalau bukan Vieri, ia menceritakan tentang Oliver Bierhoff yang seperti burung raksasa ketika melakukan sundulan ke arah gawang. Haji La Golu benar-benar mempelajari sepak bola. Dalam tiga kali pelayarannya yang sibuk bongkar muat bersama perahunya Fajar Pagi, Haji La Golu diam-diam mengikuti perkembangan sepak bola melalui koran dan televisi. Setiap kali perahunya berlabuh di pelabuhan Gresik, ia sempatkan pergi ke warung untuk membaca koran, menonton pertandingan, dan mendengarkan ocehan para buruh, tukang becak, juga sopir-sopir truk membicarakan perkembangan sepak bola. Maka ia mencerna semuanya dan kemudian merumuskan konsep sepak bola dan anggota timnya sendiri. Karenanya si pelatih tua menyukai pesepakbola yang berbadan besar seperti Piri Mohamma. Kalau saja ia tak bertingkah, ia sudah akan menjadi pemain reguler Haji La Golu di tim itu. Sejak awal perekrutan Piri empat tahun lalu, Haji La Golu melihat anak itu cocok dalam timnya.
Maka di laga piala kecamatan bulan agustus ini, Piri Mohamma ditempatkan sebagai penyerang nomor 9 dan Haji La Golu berharap ia bisa mematuhi segala aturan yang ada. Yang terpenting, tugas utamanya bagaimana pun mesti mencetak gol.
Bersambung..
***