pelatih togano timur
ilustrasi: pelatih togano timur

Hari pertama laga. 2 Agustus.

Selepas bola kaki bermerek adidas yang dibeli dari kota ditendang ke udara oleh pak camat dengan sepatu pantofel hitamnya yang masih mengkilap pada pagi hari di waktu upacara pembukaan menyambut perayaan 17 agustus, liga resmi dibuka. Siang jam 2.30, tongano timur dijadwalkan langsung menjadi tim pembuka laga, menghadang tim Desa Dete.

Lapangan yang menjadi arena pertandingan liga kecamatan adalah Lapangan TMMD yang baru diresmikan tiga tahun lalu oleh bupati dan para tentara. Lokasi lapangan TMMD berada di wilayah kelurahan tongano timur, namun lapangan itu bukan milik orang-orang tongano timur meski itu adalah bekas kebun-kebun mereka, tapi tetap saja lapangan itu telah diambil oleh pemerintah.

Bapak tua yang kebunya digerus lapangan itu bilang bahwa pemerintah dan tentara memberinya uang dan ia senang. Lalu ia bilang kalau para tentara itu memang pintar-pintar dan kuat-kuat. Mereka bisa mencabut batu-batu hitam yang sekian tahun tertancap di kebunnya. Bapak tua yang suka judi domino itu lalu bercita-cita akan menjadikan anaknya jadi tentara, meski di kemudian hari anak laki-laki satu-satunya itu membuka salon kecantikan di pasar.

Tetapi biar bagaimanapun lapangan itu memberi banyak keuntungan kepada orang-orang tongano timur. Yang paling senang adalah mama-mama pedagang es dan permen yang tinggal di sekitar lapangan. Maka pada laga-laga semacam ini, jam 2 siang dengan matahari terik membara tak menjadi penghalang bagi mama-mama itu. Mereka tetap menyunggi dagangan mereka -yang kadang mulai ditambah dengan jualan berupa air mineral dan rokok eceran- menuju lapangan. Berderet-deret mereka berjalan memenuhi jalanan yang aspalnya sudah penyek. Di belakang mereka anak-anak perempuan mengekor seperti bebek-bebek betina yang kakinya dinodai lumpur kering.

Di jam 2 itu lapangan sudah ramai. Bapak-bapak dari tongano timur sudah berjejer di pinggir lapangan lengkap dengan topi pudar yang sering dipakai untuk nguli dan memancing, mereka siap menikmati permainan tim kelurahan mereka, meski harapan untuk menang masih menjadi pertanyaan melihat materi pemain dan pelatih tim kesayangan mereka sama sekali tak meyakinkan.

Remaja tanggung dan anak-anak juga mulai berdatangan. Anak-anak laki-laki datang dengan bola plastik dan bau keringat. Mereka baru saja bermain bola pada jam 12 siang di jalan. Tetapi berbeda dengan orang tua mereka, anak-anak datang ke lapangan dengan semangat untuk menang, untuk melihat tim tongano timur mencetak gol, mereka ingin melihat tim kesayangan mereka juara lagi, mereka tidak peduli siapa pelatih dan pemainnya.

Di antara orang-orang tongano timur, ada warga dan pemain tim Desa Dete yang datang dengan mobil pikap. Desa dete berjarak sekitar lima sampai tujuh koma tiga atau empat kilometer dari tongano timur hingga orang-orang Dete yang kebanyakan petani singkong dan penambak ikan ole itu harus saling urunan untuk menyewa mobil pikap. Sedikit biaya saja dari kantor desa, sebab sepak bola bukan prioritas kampung itu. Meski begitu, orang-orang dari desa pelosok ini tetap mencintai sepak bola, mereka bahkan selalu berteriak sepanjang jalan, membangun semangat juang.

Pada liga tahun ini, pemain tim Desa Dete diisi oleh pemain lama dan sedikit wajah baru. Desa Dete tak punya banyak anak muda. Kampung itu hanya diisi oleh tiga puluh tujuh rumah dan dua belas di antara pemilik rumah itu telah lama merantau. Maka jadilah, para pemain mereka adalah masih orang yang sama, dan akan terjadi perubahan bila ada seorang polisi atau petugas koperasi atau pemegang proyek kabupaten dari kelurahan di barat pulau datang meminang salah satu bunga desa di sana.

Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, orang-orang Dete selalu datang dengan gairah untuk menang. Tak ada tim di pulau para pelayar ini yang ikut kompetisi hanya untuk dibantai. Di mobil pikap para pemain ikut berteriak-teriak, memalu-malu kap mobil yang disambut klakson mobil yang berdentang-dentang memenuhi udara siang itu. Mereka benar-benar sedang berhasrat untuk menang.

Sementara itu para pemain tongano timur datang dengan berjalan kaki dan berlari-lari kecil dari rumah pelatih mereka. Memang jarak lapangan dengan rumah Haji La Golu dekat, hanya tiga empat ratus meter saja. Kedatangan para pemain itu tak disambut keramaian, mereka juga hanya diam saja. Mereka tak banyak bicara. Tapi mata mereka awas seperti jawara yang siap melayani siapapun yang masuk gelanggang.

Ketenangan dan mentalitas itu memang sudah terpupuk dari tahun-tahun sebelumnya. Benar kata Haji La Golu, para pemain itu sudah punya mental para pemenang. Namun, aura ketenangan itu juga diperoleh mereka dari kepercayaan akan doa-doa yang sudah dibekalkan oleh La Saki dan Haji La Golu.

***

Sebelum turun ke jalan, dari jam satu siang, Piri Mohamma dkk telah berkumpul di ruang tamu rumah Haji La Golu. Mereka melakukan ritual persiapan.

Duduk para laki-laki muda itu membentuk lingkaran. Sebotol air dikeluarkan oleh La Saki lewat kantong hitam. La Saki sudah dari tadi berada di rumah Haji La Golu, ia memang diminta untuk cepat datang. Sebelum lohor tadi, ia ditugaskan memeriksa lapangan dan mendeteksi aura sihir. “Belum ada,” lapornya.

Air yang dipegangnya kemudian dioper ke dalam lingkaran untuk diteguk para pemain.

“Minum tiga kali tegukan saja,” kata La Saki memerintahkan. Para pemain menuruti sang dukun.

“Air itu sudah diberi doa-doa,” bisik salah satu pemain yang punya jenggot tebal.

“Apakah kau mempercayai kekuatan sihir macam itu?” tanya pemain lainnya. Anak muda ini merupakan anak La Madi, muazin langgar tongano timur yang saban hari tidur di langgar.

“Kalau itu kebaikan, kau hanya perlu mempercayainya. Tidak ada yang salah dengan kebaikan,” jawab La Jinni yang coba menengahi bisik-bisik para bocah itu.

Semua pemain minum tiga teguk, bahkan La Udi, sang pemegang bendera tim tongano timur juga ikut kebagian.

La Saki lalu membagikan satu suwir bawang putih ke masing-masing pemain. Ia memerintahkan untuk menyisipkan bawang itu di sela jari jempol kaki mereka.

“Jika minuman itu untuk ketangkasa, bawang itu untuk menghindarkan kaki kalian dari serangan jampi-jampi lawan,” katanya.

Setelah memenuhi permintaan La Saki, para pemain lalu memperhatikan Haji La Golu yang tengah menjabarkan dan menyusun posisi. Piri Mohamma akan mengawal lini depan. Dua bek sayap La Baco Kandari dan La Jinni akan bolak-balik di sisi kanan dan kiri. Lalu La Naka akan menjaga gerbang di belakang. “kalian hanya perlu tahu tempat kalian. Tidak boleh ada yang keluar dari posisinya,” kata Haji La Golu.

Dalam sistem sepak bola Haji La Golu, bola tak akan dialirkan dari kaki ke kaki. Melainkan bola mesti langsung memotong ruang. Karenanya dua bek sayapnya mesti punya tendagan bagus.

Setelah mendengarkan sedikit penjelasan pelatih, para pemain mulai beranjak ke lapangan. Prosesi pemberangkatan dilakukan dengan pembacaan doa dan ritual pelayaran yang dipimpin Haji La Golu. Para pemain diminta berbaris di belakang sang nakhoda yang sudah berdiri di depan pintu keluar rumahnya. Laki-laki yang bersongkok putih itu mengkomat-kamitkan mulutnya. Lalu dengan langkah mantap kaki kanannya menapaki tanah. Para pemain mengikuti tindakan itu, keluar dengan kaki kanan duluan.

“Jangan menoleh ke belakang lagi. Berjalanlah hingga sampai di lapangan,” pesan Haji La Golu. Ia juga memperingatkan tentang pantangan dan larangan kepada para pemain. Bahwa jika sampai di lapangan nanti, jangan langsung berhenti dan bertingkah, tapi putari dulu lapangan itu sekali dan latihanlah sedikit-sedikit.

Pasukan itu kemudian berangkat. Dengan dikawal oleh La Udi yang menegakkan bendera di tangannya, barisan tim tongano timur berarak seperti prajurit perang.

***

Jam 2.20 siang, para pemain kedua kesebelasan masuk lapangan melakukan pemanasan dengan menendang-nendang bola. Anak-anak laki-laki yang bau keringat ikut nimbrung dalam latihan itu. Mereka mencoba menendang bola kaki orang dewasa. Namun seorang anak kecil yang di kaki kanannya tersemat sepatu duri keseleo akibat memaksa menendang bola adidas itu. Ia menangis dan ditarik oleh kawannya ke pinggir.

Seorang bapak bertopi bundar yang duduk di dekat semak yang melihat kejadian itu tersenyum. Sementara bapak di sebelahnya sibuk mengisap rokoknya dan sesekali melirik seorang perempuan muda yang berpakaian ketat hingga seluruh benjolan di tubuhnya mencuat. Lalu laki-laki muda di sebelah bapak tua itu, sembari menggendong anak balitanya terus memperhatikan jam, ia mulai kesal karena pertandingan belum juga dimulai, sementara kepala anaknya sudah merah karena terkena sinar matahari.

Sepuluh menit berlalu, para penonton yang tadi berserak di pinggir mulai merapat, pertandingan dimulai. Wasit Ibu Malia yang memimpin laga karena profesinya sebagai guru olahraga SMA 2 membaris kedua tim. Sebentar kemudian ia melihat jam di tangan kirinya yang juga dibebat dengan kain dan segera itu peluit ditiupkan oleh bibirnya yang kering, permainan dimulai.

***

Haji La Golu berdiri di pinggir lapangan tersenyum puas. Strateginya berjalan sempurna. Di laga pertama itu La Naka dkk melumat tim desa Dete dengan skor 2-1. Di hari terik itu Piri Mohamma menyumbang satu gol. Menerima umpan dari La Baco Kandari, Piri tak berpikir panjang, ia langsung menyambar bola gantung itu, dan gol. Anak-anak berteriak girang, mereka masuk lapangan, menghamburkan debu dan rumput kering ke udara. Tapi tidak ada orang tua. Mereka tidak berekspresi. Sebagian tetua mengatakan itu hanya keberuntungan.

Tapi kemenangan itu terlanjur terjadi di depan mata mereka dan Haji La Golu membatin tentang pembuktiannya. Ia memang tidak bersorak, tetapi ia merasakan kegembiraan kemenangan itu.

Penampilan Piri Mohamma mendapatkan perhatian Haji La Golu. Strikernya itu cukup baik dalam memanfaatkan peluang. Yang mesti ia lakukan sekarang adalah meyakinkan anak itu untuk tetap bertanding dengan harga dirinya sebagai orang tongano timur sepanjang laga ini. Haji La Golu memang yakin anak itu sudah belajar banyak dari masa lalu, tetapi hati manusia siapa yang tahu.

***

Laga kedua, 4 Agustus

Pasukan biru laut tongano timur kembali memenangkan pertandingan pada laga kedua mereka. Meski harus menang dengan susah payah dan skor yang masih tipis. Tapi tim racikan Haji La Golu berhasil menaklukkan perlawanan lawan.

Laga kedua melawan tim Desa Kulati. Pasukan Haji La Golu ditahan imbang sampai menit 80. Piri Mohamma ditempel ketat dan bola tidak mengalir sempurna. Haji La Gou menduga permainan sedang dirasuki doa-doa.

Tim Desa Kulati punya julukan Tim Barado. Di seluruh klub di liga kecamatan pulau para pelayar, hanya tim ini yang memiliki julukan. Entah siapa yang pertama kali menyebut mereka seperti itu, tetapi nama Tim Barado konon adalah nama seorang pelayar yang datang ke pulau para pelayar ini pertama kali dan menetap di sini. Tim ini merupakan pasukan keturunan murni manusia pertama di pulau para pelayar. Dan, manusia pertama seperti Adam punya kesaktian, kata La Saki. Di tim Desa Kulati sang Kepala Desa yang bertugas sebagai seorang kiper adalah manusia turunan langsung dari Tim Barado dan jelas ia punya doa-doa.

La Saki mengaku tak bisa menangkis kekuatan Kepala Desa. “Tim tak akan bisa mencetak gol. Baru ketika angin laut berhembus, maka perubahan mungkin akan terjadi,” begitu ungkap La Saki yang sedari tak beranjak dari posisinya: ia berjongkok dengan tangannya meraba tanah lapangan yang panas.

Benarlah demikian. Ketika matahari turun dan perlahan sinarnya redup, angin laut berhembus ke utara. Operan La Jinni melaju sempurna ke arah Piri Mohamma. Anak muda itu segera tuntaskan tugasnya dan gol. Sorak-sorai anak-anak memenuhi lapangan. Dan, kali ini ada satu orang tua yang masuk, yakni Juragan Fajar Pagi. Laki-laki tua bangka pendek itu bahkan dengan tak tahu malu menyawer Piri Mohamma dengan uang lima puluh ribu.

Gol itu sekaligus menyelesaikan permainan. Para penonton bubar. Bapak-bapak dari tongano timur yang kemarin mengatakan kemenangan itu kebetulan sekarang menduga bahwa kemenangan tim kelurahannya dibantu oleh angin. Mereka memang sudah kecewa, tak ada yang bisa meluruskan hati yang telah kusut. Warga Kulati yang datang pulang tertunduk, tapi ada juga yang menderu-deru motornya sembari teriak-teriak menyalahkan wasit. Mereka bilang harusnya Tim Barado mendapatkan hadiah penalti sebab La Naka terlihat handball. Tapi gugatan itu hanyalah kemarahan kecil para penonton. Sepak bola adakalanya tentang kekecewaan-kekecewaan kecil, kata seorang wartawan yang pernah meliput sepak bola di kampung Pulau Negeri Pala.

***

Bersambung

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here