Pedhole-dhole merupakan tradisi yang merawat anak-anak Suku Buton
Rumah Wa Masniati (45) mendadak riuh pagi itu. Orang-orang berdatangan, dari yang muda hingga mereka yang telah sepuh. Beberapa dari mereka terlihat membawa aneka hasil kebun. Ada yang membawa pisang, umbi-umbian, beras merah, poluka riti (panci berbahan kuningan), serta beberapa tandan buah kelapa yang telah tua. Orang –orang itu adalah sanak famili dan tetangga Wa Masniati yang turut bermukim di kelurahan Lamangga, Bau-bau.
Hari itu bayi bernama wa Ulfa, anak ke-tiga ibu Wa Masniati, akan melangsungkan prosesi pedhole-dhole. Tradisi pedhole-dhole sendiri adalah sebuah tradisi tua suku Buton yang diperuntukkan bagi bayi- balita, dan juga anak-anak. Tujuannya, agar anak-anak tersebut mendapatkan imun dan juga terhindar dari penyakit.
“Iya hari ini kita mau bikin acara pedhole-dhole, acara ini sudah jadi tradisi keluarganya kami dari kakek-neneknya kami dulu, supaya ana-ana da tidak sakit-sakit” ucap wa Masniati. Dia kemudian sibuk menggotong beberapa perlengkapan pedhole-dhole. Beberapa jam lagi prosesinya akan segera berlangsung
Dalam beberapa risalah akademik, tradisi pedhole-dhole disebutkan sebagai sebuah tradisi tua yang telah berdampingan sejak dulu dengan suku Buton. Itu berarti bahwa tradisi ini telah kukuh dan tak sekedar menjadi tradisi seremonial, tetapi ia terus bertransormasi menjadi semacam identitas sosial budaya masyarakat suku Buton dimanapun mereka berada.
Tikar-tikar berukuran besar baru saja digelar. Dari sebuah dapur kecil, para muda mudi terlihat menggotong aneka makanan menuju ruangan tengah. Sementara para lelaki dewasa, bertugas mewanti-wanti segala perlengkapan lainnya telah tersedia, termasuk rumpun yang telah disediakan jauh hari: daun kandela, kusape, sau-ssumampa, ta’a, woha’a, katimboka, ontosara, koko’e, kampoga, bala-bala, wintonu dan kaotu-otu yang dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit pada anak-anak termasuk penyakit kulit
Untuk menghelat sebuah prosesi pedhole-dhole, ada sesajen yang mesti disedikan sebagai syarat. Berupa dua buah tala yang berisi aneka makanan dan perlengkapan lainnya. Tala pertama berisi berisi umbi-umbian, ikan katamba, nasi minyak dan nasi putih biasa. Dan tala kedua berisi kampana’a: daun sirih, kapur sirih, pinang, gambir, pisang, rokok, uang dan pisau
Makanan-makanan dan kampana’a itu memiliki pesan-pesan simbolik yang diyakini bertautan langsung dengan harapan-harapan orang tua kepada anaknya. “Semua makanan ini tidak boleh da kurang, soalnya semua ada maknanya,” jelas wa Masniati
Dupa-dupa kemudian dinyalakan. Suasana magis seketika menyelimuti ruangan. Sambil merapal mantra dan doa-doa, Bhisa/dukun sang pawang ritual ini, meminta agar seluruh sanak famili berkumpul. Termasuk sang anak yang akan melangsungkan prosesi pedhole-dhole. Seluruh orang-orang di dalam ruangan itu diminta untuk mengirimkan doa-dan dan harapan baik mereka kelak kepada si anak. Seluruh ruangan hikmat. Prosesi pedhole-dhole pun dimulai.
Satu persatu benda yang menghampar dihadapan Bhisa, diasapi menggunakan dupa olehnya. Termasuk tikar dan daun pisang yang akan digunakan si anak. Wa Masniati yang sedari tadi mempersiapkan anaknya, terlihat mulai menanggalkan pakaian anaknya satu persatu. Sejurus kemudian, anak itu telah berbaring di atas tikar beralas daun pisang. Sang Bhisa kemudian perlahan mengoleskan tubuh anak tersebut dengan minyak kelapa disekujur tubuhnya.
Dalam keyakinan suku Buton, minyak kelapa yang digunakan dalam tradisi pedhloe-dhole tak boleh sembarangan. Minyak kelapa yang digunakan wajib diolah sendiri oleh Ibu dari anak tersebut. Begitupun dengan cara mengolahnya, minyak kelapa haruslah yang berwarna kuning jernih, tak boleh dibuat hangus atau menghitam.
“Dari subuh tadi saya bikin itu minyak, bikinnya harus terus diaduk, jangan sampai dia hangus, karena nanti ana-anak da tidak sehat” ucap wa Masniati seraya menujukkan botol berisi minyak buatannya.
Setelah prosesi mengolesi minyak kepada sang anak berlangsung, selanjutnya adalah proses memandikan sang anak. Tahap ini, tubuh sang anak yang masih berlumuran minyak tadi akan dibersihkan oleh Bhisa menggunakan air yang telah dicampur dengan dua belas jenis daun rumpun yang telah disiapkan tadi.
Setelah sang anak dimandikan, beberapa suapan telur oleh Bhisa diberikan kepada sang anak. Seluruh keluarga kemudian mengucap syukur. Rasa bahagia mendadak menyelimuti seluruh ruangan. Seluruh keluarga saling bersalaman sebagai rasa syukur dan ucapan terimakasih. Prosesi pengobatan secara tradisional seperti ini sungguh mampu membangun sugesti positif pada masyarakat yang melakukannya.
Beberapa ibu terlihat mulai mengantar piring-piring berisi makanan. Mereka membaginya satu persatu keseluruh keluarga dan tetangga yang hadir. Sore itu, prosesi Tradisi berumur ratusan tahun tersebut akhirnya tuntas dilaksanakan oleh Wa Masniati. Dari wajahnya, ada harapan baik terhadap anaknya yang dititipkan lewat doa-doa yang dilangitkan.