Tetiba gawai saya berbunyi. Sebuah pesan baru saja masuk. Pesan tersebut berisi alamat, tepatnya sebuah deskripisi lokasi mengenai beberapa tempat yang samar-samar saya kenali. “pokoknya ke arah Lipu saja, dekat STM belok kiri, nanti disana baru bertanya ke warga sekitar “. Pesan tersebut dikirim oleh La Gafur, seorang Pemuda kreatif asal Lipu yang saya kenal via media sosial beberapa hari sebelumnya.
Hari itu langit Kota Baubau cerah. Tidak hujan seperti sebelumnya. Saya kemudian berkemas, memastikan beberapa perlengkapan telah ada didalam ransel yang saya kenakan. Setelah semuanya siap, saya menghubungi La Alun via pesan pendek, jawabannya”ok meluncur”.
Tak lama berselang, motor yang kami kendarai telah mengaspal di jalan poros Betoambari, menuju arah selatan kota Baubau. Menuju pada sebuah ‘kampung kota’ yang seingat saya selalu taat dalam menjaga banyak tradisi, tetapi diperjalanan kali ini, Tujuan kami hanya satu, hendak melihat kegigihan para ibu pembuat gerabah yang konon telah berusia 500 tahun, tepatnya di kelurahan Lipu Kecamatan Betoambari-Baubau.
Setelah berkendara kurang lebih 30 menit, akhirnya kami sampai pada lokasi yang sekiranya ciri-cirinya mirip deskripsi yang dimaksud oleh La Gafur kenalan saya. Jarum jam tangan saya pada saat itu menunjukkan tepat pukul 12 siang. Tentunya beraktifitas pada jam tersebut akan sangat melelahkan, terlebih pada jam tersebut orang –orang memilih untuk beristirahat, artinya tantangan untuk menemukan warga sebagai tempat bertanya akan sedikit sulit dan melelahkan.
Setelah Motor kami parkir, saya kemudian berinisiatif mengunjungi sebuah rumah tak jauh dari lokasi kami berdiri. Baru sekitar 5 meter saya melangkah, tetiba aroma tanah liat yang sedang dipanggang manyambar penciuman kami. “inimi tempatnya, cocokmi ini“ Ucap La Alun dengan senyum yang sangat yakin. Kami kemudian memutuskan mengikuti dari mana aroma tersebut berasal.
Sekitar 15 meter berjalan dari lokasi kami parkir, Kini dihadapan kami terhampar beberapa buah aneka kriya gerabah yang sedang dikeringkan. Seorang ibu dengan tangan masih dipenuhi tanah liat tetiba menyapa, kami bersalaman, saling memperkenalkan diri. Setelahnya kami segera berbaur dengan dua ibu lainnya yang terlihat sedang sibuk meremas-remas tanah liat.
Saat itu suasana dibawah rumah panggung yang mereka tempati sebagai studio kerja nyaris tak ada percakapan, sampai saat kami datang. Satu-satunya suara hanya bersumber dari kayu dan batu yang mereka gunakan sebagai alat utama membuat aneka perkakas berbahan tanah liat.
Dalam bahasa Lipu, Pomandu adalah sebutan bagi mereka yang berprofesi sebagai pembuat perkakas dari tanah liat. Semua perempuan Lipu dapat menjadi Pomandu. Tradisi mereka hanya memerbolehkan perempuan Lipu untuk menjadi Pomandu, entah apa alasannya, yang pasti, kita akan sukar menemukan kehadiran laki laki Lipu dalam sebuah aktifitas produksi gerabah, kalaupun ada, ia hanya sebagai tenaga pendukung, tenaga pengangkut dan bukan sebagai seorang Pomandu.
Wa Raima dan Wa Aji adalah dua orang ibu yang telah menjadi Pomandu kurang lebih 30 tahun. Keahlian tersebut mereka peroleh dari nenek buyut mereka. Baginya, tradisi membuat Gerabah tak sekedar membuat kriya perkakas dari tanah liat, tetapi menjelma menjadi tradisi, sesuatu yang mereka yakini, dan harus tetap berlangsung digaris keturunan mereka.
Dalam sepekan, jika tak sedang melakukan kerja yang lain, Wa Raima dapat menghasilkan lima puluhan bahkan hingga seratusan perkakas gerabah dalam banyak bentuk.”saya itu nak, kalo tidak ada kerjaan lain, pasti bisa sampe seratusan lebih saya buat” Imbuhnya seraya menunjukkan beberapa karyanya yang nyaris menutupi area dimana kami duduk.

Dari beberapa pencarian pustaka via internet, setidaknya jumlah Pomandu di Kelurahan Lipu hanya tinggal tersisa kurang lebih dua puluhan orang, namun dari jumlah tersebut, hanya menyisakan Wa Aji dan Wa Raima yang dapat membuat 6 model perkakas, selebihnya hanya dapat membuat 2 atau 3 model saja. Dari penjelasannya, saya kemudian menemukan alasan, kenapa banyak wisatawan dan para peneliti yang selalu ramai mengunjunginya.
Saya pribadi takjub. Mereka tak hanya merawat tradisi, tetapi juga setia pada alat yang telah diwariskan secara turun temurun selama hampir 500 tahun. Bagaimana mungkin, hanya dengan menggunakan sebilah kayu seukuran siku orang dewasa, dan batu kali sekuran kepalan tangan dapat menghasilkan karya gerabah yang indah? Itulah magisnya para Pomandu.
“Saya itu bisa bikin Kabubu (wadah penutup), bisa bikin Sako-sako ( wadah pembakaran dupa) Palama (periuk tanah menyerupai cerek) Nu’uwa (Periuk pembuat kasoami), Balanga (belanga). semua ini saya buat kaya kita rawat ana bayi” katanya seraya menujukkan semua alat yang ia gunakan dan semua jenis perkakas yang telah Ia buat kepada saya.
Sebuah perkakas gerabah dijual oleh Wa Raima seharga 10 ribu rupiah, namun jika sepi pembeli atau sedang tak dikunjungi wisatawan, maka perkakas gerabah yang telah dibuatnya, akan dibawa ke pasar-pasar, lalu diserahkan kepada pengecer, namun dengan harga yang lebih murah. Inipulalah satu dari sekian masalah yang mendorong banyak Pomandu meninggalkan profesi tersebut.
Semua bahan baku utama membuat perkakas gerabah, masih bergantung pada ketersediaan alam. Olehnya Wa Raima sangat hati-hati menghitung berapa jumlah yang ia butuhkan. Menurutnya, mengambil Bahan baku terlalu banyak juga akan mempercepat proses habisnya ketersediaan tanah liat yang ia butuhkan, “saya ambil sedikit saja, sesuai jumlah yang bisa saya buat, takutnya nanti dia cepat habis, nanti tidak bisami lagi kita cari uang”. Saya tetiba tersentak.
Untuk tanah liat, Wa Raima harus mengambilnya di wilayah Karya Baru, sedangkan Pasir diperolehnya melalui pantai Lakeba, pantai terdekat dari tempat dimana ia tinggal. Semua dilakukannya sendiri. Setelah semaunya terkumpul, dijadikan adonan tanah dan pasir, barulah dimulai proses membentuk gerabah.
Satu-satunya proses yang melibatkan orang banyak, adalah pada saat proses pemanggangan gerabah, pada tahap ini membutuhkan tenaga pengangkut, mengantarkan satu persatu perkakas gerabah yang telah jadi, dari kolong rumah, menuju pembakaran, pada tahap inilah kehadiran seorang laki laki biasanya dibutuhkan. itupun semua yang hadir masih memiliki hubungan keluarga yang kental.
Proses pembakaran dilakukan kurang lebih dua jam. Tempatnya adalah lahan yang sekiranya cukup luas. Api yang besar adalah ukuran proses ini berjalan maksimal. Tahap ini dikatakan selesai jika seluruh perkakas telah berwarna kecoklatan dan mengeluarkan bau khas.
Setelah pembakaran usai, satu persatu perkakas gerabah segera diangkat. Anak-anak terlihat membawakan air putih dan cemilan seadanya kepada orang tua mereka. Beberapa menyebar mencari tempat teduh untuk istrahat. Saya melirik jam, rupanya telah pukul 4 sore. Suara azan ashar baru saja berlalu, sudah saatnya kami pamit.
Terimakasih warga Lipu, pada kalianlah semestinya kami belajar merawat tradisi!