Orang Wakatobi dalam Konsumsi Pakaian RB: Telaah Pascakolonial
Orang Wakatobi dalam Konsumsi Pakaian RB

Konsumsi pakaian bekas telah menjamur di kalangan anak muda. Praktik ini populer disebut thrifting. Anak muda d Wakatobi pun tak ketinggalan. Namun, perbedaannya jika anak muda di kawasan urban mungkin baru menggandrungi aktivitas itu, anak muda dan masyarakat di daerah rural seperti di pulau-pulau kecil di Wakatobi telah melakukannya sejak lama.

Dikenal sebagai cakar atau RB (kepanjangan dari rombengan), pakaian bekas telah jamak dikonsumsi orang Wakatobi sejak tahun 80-an (Rabani, 1997). Adalah praktik pelayaran yang membawa komoditas pakaian bekas itu sampai ke pasar-pasar sentral di setiap pulau.

Para pelayar-pedagang (palangke) dengan Vangka memuat berkarung-karung cakar dari berbagai pelabuhan di bagian barat. Menariknya, catat Labania (2020), bagian barat yang dimaksud adalah di wilayah perbatasan. Jadi, distribusi cakar yang dilakukan para palangke ini banyak terjadi di kawasan Singapura dan Malaysia.

Dari sana warga pulau di Wakatobi banyak mengenal bermacam barang bekas. Berbagai merek mulai diketahui seperti baju berlabel Korea hingga Amerika. Menurut warga baju-baju RB memiliki harga yang murah dan ada juga yang menyebutnya memiliki kualitas yang baik. Kepercayaan tersebut telah mengakar pada masyarakat Wakatobi.

Namun, interpretasi tersebut tentu saja tak muncul karena hanya sekadar kualitas barang, melainkan ada beberapa faktor. Beberapa faktor umum yang ditemukan kenapa pada akhirnya orang-orang mengonsumsi pakaian bekas di antaranya adalah berkaitan dengan kemiskinan karena tidak bisa membeli pakaian baru, kepedulian terhadap lingkungan, berkaitan dengan selera, kesenangan dalam bernostalgia, hingga proses kreatifitas menggabungkan motif atau budaya global ke lokal.

Dalam konteks konsumsi orang Wakatobi terhadap RB, Labania menemukan dalam kajiannya pada tahun 2020 berjudul Identitas Konsumen Pakaian Bekas di Wakatobi bahwa praktek konsumsi pakaian bekas tersebut mula-mula bersumber dari perekonomian buruk yang mengharuskan warga memilih harga murah ketika mengonsumsi barang.

Namun, menurut Labania faktor tersebut tak muncul sendirian melainkan didukung oleh apa yang disebutnya sebagai wacana kolonial. Dalam hal ini wacana tersebut sebagai relasi imperalisme yang beroperasi dalam relasi praktek konsumsi pakaian bekas.

RB sebagai produk dari negara lain digambarkan sebagai produk yang berkualitas dan merepresentasikan modernitas. Namun yang menarik adalah pemakaian RB berada dalam taraf casual atau sehari-hari. Sementara untuk acara formal produk lokal masih menjadi pilihan warga.

Fenomena formal-casual ini, tulis Labania, dipahami sebagai wujud dari hibriditas budaya -atau dalam pascakolonial disebut sebagai ambivalensi- yakni praktik dan pola konsumsi warga muncul dari sifat antara tertarik dan menolak komoditas.

Warga Wakatobi memang menerima RB sebagai bagian dari pakaian sehari-hari, tetapi tidak dalam bentuk acara formal.

Sebagai catatan penutup, pembahasan terkait RB ini menukil satu peprsoalan menarik tentang bagaimana pakaian merupakan arena yang memperrtemukan beragam ideologi dan interpretasi masyarakat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here