Nasib Soami berubah dari masa ke masa, ia pernah menjadi pangan pokok, hingga tak dianggap

Soami atau Kasoami adalah makanan yang dulu menghiasi kehidupan Orang Tomia. Sebelum politik pangan di tahun 90-an. Soami adalah makanan pokok di Tomia. Makanan berbentuk kerucut ini terbuat dari singkong atau ubi kayu. Karena itulah Soami selalu ada di segala musim.

Dalam catatan Haryono Rinardi penulis buku Politik Singkong Zaman Kolonial Ubi kayu berasal dari hutan-hutan di Amerika Selatan, tanaman itu tumbuh liar di sana dan merupakan tumbuhan yang cocok di segala musim. Ubi kayu sampai ke Indonesia karena di bawa oleh bangsa Portugis ke Maluku pada abad-16.

Perlu dicatat bahwa Ubi Kayu pertama kali masuk ke Maluku karena kala itu Maluku menyimpan komoditas harta karun (pala dan cengkeh) yang dicari oleh bangsa kulit putih itu. Dan persis di sanalah ubi kayu mungkin menyeberang ke Tomia, atau Wakatobi secara keseluruhan, yang kala itu kerap dilalui dan menjadi persinggahan para pelayar Eropa dalam perjalanan mereka menuju Maluku, atau asumsi lainnya, bisa saja Ubi Kayu dibawa oleh orang Maluku yang berlayar sampai ke Tomia, bisa jadi. Atau ia merupakan pangan endemic, bisa jadi. Kita bisa mempertanyakan itu terus menerus.

Namun yang jelas adalah ubi kayu ini ada di seluruh pulau. Keberadaanya kemudian mudah ditemukan di Tomia, ya setidaknya tak sesulit menemukan cinta sejati lah.

Oh ya, soami dibuat dari ubi kayu yang sudah diparut, diperas berulang-ulang hingga cairan yang dikandungnya terkuras betul lalu diambil ampasnya. Ampas inilah yang akan diolah jadi soami. Maka, -nah ini salah satu bukti lagi kenapa ubi kayu yang ada di Tomia datang dari Maluku- tak heran jika orang Maluku dan Wakatobi bersanding sebagai tetangga, mereka tak akan pernah meributkan soal makanan. Sebab orang Maluku hanya mengambil air ampas ubi untuk papeda, sedang orang wakatobi hanya mengambil ampasnya untuk kasoami.

Saat itu, karena setiap rumah punya kebun. Setiap kebun ditanami ubi kayu. Maka Penjual kasoami tidak ada. Orang-orang hanya membarter ubi dengan kebutuhan lain seperlunya. Sayur tinggal petik, Ikan tinggal ambil di laut. Olehnya uang tidaklah penting

Beras adalah hal yang langka bagi orang Tomia kala itu. Disamping karena topografi tanah Tomia tak cocok untuk ditanami padi, juga karena butuh uang banyak untuk membelinya. Kala itu taraf sebuah keluarga dianggap borjuis, jika mampu menghadirkan sekarung beras di dalam rumah. Status sosial sebuah keluarga naik oleh sekarung beras. Aih betapa kejam penguasa kala itu, hingga makanan kita tak luput dieksploitasinya, padahal makanan urusan perut.

Di tahun 90-an setelah pemerintah memberlakukan gerakan makan nasi atau politik pangan, nasi berhasil menggeser soami dari daftar pokok. Para orang tua lalu memberi pelajaran -yang tentu mereka dapatkan dari doktrin bertahun-tahun pemerintah- kepada anak-anaknya bahwa sekolah baik-baik supaya bisa beli beras, dan biar sampai mereka saja yang berkebun ubi kayu. Anak-anak lalu giat belajar untuk jadi PNS, karyawan, bos, pemerintah, pengusaha, dan dibalik itu semua terbayang-bayang dogma yang paling keji yang bekerja di alam bawah sadar bahwa ‘kalau belum makan nasi belum kenyang’.

Maka nasi mengambil alih peran soami sebagai makanan pokok dapur.

Barulah ketika tahun 2003, saat Wakatobi resmi mejadi kabupaten, pemerintahan daerah dituntut mandiri dan Wakatobi ‘menunjuk’ pariwisata sebagai tajinya. Pariwisata yang mereka dapuk ialah keindahan alam bawah laut yang konon merupakan surga tersembunyi -betapa beratnya kalimat itu sesungguhnya di dunia yang penuh cobaan ini.

Mereka lalu mengizinkan pembangunan Resort di sana-sini dan mengundang investor sebanyak-banyaknya. Nah, bisnis pariwisata itu kerap melibatkan budaya dan salah satunya adalah kuliner khas daerah. Maka ketika para wisatawan mencari-cari kuliner daerah, somi mulai dikais-kais, diperkenalkan sebagai identitas. Narasi baru yang muncul kemudian adalah ‘I kita ana no asi, konintako anne e kene soami’. Meskipun itu hanyalah romantisme sementara.

Soami tetap dilupakan, ia hanya muncul sebagai primadona dalam acara-acara komoditas budaya dan sayangnya acara-acara budaya kemudian dihentikan oleh pendemi. Parahnya pemerintah menyodorkan bantuan aneh yang berhasil mendominasi dapur-dapur yakni berdos-dos indomie. Makanan instan ini benar-benar membius dan benar-benar menyingkirkan budaya pangan lokal secara tak langsung. Padahal sebelum bantuan sosial itu datang mama-mama sudah mulai berkebun ubi kayu lagi.  

Lantas kebun-kebun kemudian berganti lahan-lahan rumah dan area peternakan kambing dan sapi. Orang-orang lebih suka jadi PNS, pedagang dan pengusaha. Orang Tomia benar-benar mengamalkan dengan baik nasehat pemerintah.

Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya ingin beritahu dulu bahwa saya tidak membeci nasi dan indomie atau apa pun, saya hanya ingin menujukkan kondisi apa yang yang terjadi pada soami dan kita hari ini. Saya tumbuh dengan makan soami yang saya peroleh secara gratis dan melimpah ruah di rumah. Dan ketika dewasa saya mulai kehilangan perasaan itu.

Kakek canggahku makan soami, kakek buyutku juga makan soami, kakekku sesekali makan nasi, orang tuaku sesekali makan soami, saya agresif jika melihat soami, dan bisa diprediksi nanti, kemungkinan, anak cucuku akan memperjual belikan soami dengan harga senilai batu akik semasa booming.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here