musim berkebun di tomia
musim berkebun di tomia

Musim Berkebun di Pulau Tomia : “Di Tomia itu ada yang berkebun juga?” “Oh ada! Banyak malah. Dulu sebagian mata pencaharian orangtua di sana selain sebagai nelayan juga nyambi sebagai petani.”
“Ha? Bukankah Tomia itu daerah bahari Bil, soalnya teman-temanku yang dari sana jarang sekali saya dengar bicara soal hasil kebun, nyaris tidak pernah.”

Musim Berkebun di Pulau Tomia

Berawal dari percakapan yang tiba-tiba saja muncul dari seorang teman. Singkat tetapi menarik untuk dipikirkan. Jadi pikiran, benar juga. Masalah perkebunan khususnya pertanian jarang sekali jadi perbincangan kalau bicara soal Tomia maupun Wakatobi. Padahal aktivitas berkebun sudah menjadi kebiasaan tua di kampung sejak dulu. Sistem perkebunan di pulau Tomia saya dapatkan dari cerita-cerita atau tula-tula Wa Ina.

Masa kanak-kanak mereka yang sibuk di kebun membantu orang tua, turut menanam atau mencabut gulma. Masing-masing laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang tua, memegang peran, mumpuni dalam mengambil bagian. Walau hanya jelas terlihat ketika musim penghujan tiba. Sebab musim itu masyarakat serentak melakukan cocok tanam. Lebih mendukung lagi karena pemukiman orang tua kita dahulu di gunung, Kahiyanga dan sekitarnya.

Pemukiman yang sekarang ramai ditinggali dengan pembangunan yang terus bertambah, seperti Usuku dan sekitarnnya, dahulunya adalah hutan. Ketimbang ke laut atau ke pesisir jelas lebih dekat dalam hal berkebun. Karena untuk turun memancing dan menyuluh membutuhkan jarak tempuh yang lama dengan berjalan kaki.

Apalagi di malam hari, lampu penerang tidak ada, kecuali obor. Tidak tanggung-tanggung berjalan kaki melewati Mo’ori, Puncak, Kabumbu La Ondri, Dangka, Bone-bone, tanpa penerang, jalan yang setapak, di kiri kanan hanya hutan dan ilalang. Syukur kalau ternyata terang bulan.

Seperti berkebun pada umumnya, di Tomia juga membutuhkan beberapa persiapan sebelum bercocok tanam. Termasuk persiapan benihnya, lahan, menanam, merawat sampai memanen.

Kepiawaian mengenal tanda-tanda prakiraan cuaca melalui bulan, ramainya hewan tertentu keluar dari habitatnya, para orang tua akan segera melakukan persiapan menanam karena hujan kemungkinan akan tiba. Saat itu kebun-kebun akan mulai rame di-bemba. Kemudian amo’a sampai proses tompe’a, hingga disimpan kembali sebagai benih untuk ditanam berikutnya.

Bemba’a

Bemba’a adalah proses mempersiapkan lahan untuk ditanami kembali. Bemba berarti pembabatan, memangkas, membersihkan rumput, ilalang, pohon-pohon yang memang seharusnya dibersihkan agar lahan siap tanam. Setelah dibemba, semua rumputnya dikumpulkan lalu dibiarkan mengering beberapa saat supaya bisa dibakar.

Bemba’a biasa dilakukan sebelum musim hujan tiba. Masing-masing pemilik lahan ramai di kebun. Waktu pembakaran selalu jelas terlihat, sebab dari kampung tampak asap membumbung di langit.

Amo’a

Amo’a adalah penanaman. Proses di mana benih-benih siap ditanam dan disemai pada lahan-lahan yang sudah disiapkan. Biasanya diberi lubang kecil dari bekas tancapan kayu yang sengaja diruncingkan ujungnya supaya membentuk lubang.

Sebagai edukasi, orang tua membiarkan anak-anak turut serta melakukannya. Mengarahkan, hingga benih-benih itu dimasukan ke dalam lubang dan tanahnya sekali disapu menggunakan kaki yang atau tangan untuk menutupi benih. Tujuannya agar kongkaa, gagak pemangsa benih tidak menemukannya sebelum berkecambah dan gagal memanen.

Saya salah satu anak-anak yang seringkali diberi kepercayaan itu. Wa Ina mencabut gulmanya dan saya dibiarkan menyemai benih. Tanaman khas musiman yang ditanam tersebut adalah jagung, kacang-kacangan, mentimun, labu dan lainnya.

Ketika musim ini tiba, biasanya seluruh anggota keluarga tidak ada yang berada di rumahnya. Ditinggalkan sehari untuk berkebun. Membawa perbekalan dan kebutuhan air manggunakan air hujan yang ditampung dalam guci-guci dari samping titian atap fale-fale atau rumah-rumah kecil yang sengaja dibangun di tengah kebun.

Setelah penanaman adalah proses merawat tanaman. Yakni membersihkan gulma maupun rumput-rumput liar yang tumbuh disekitarnya sebelum merusak tanaman. Hingga dilanjutkan dengan pemberian pupuk dari arang dan abu sisa pembakaran.

Tompe’a

Tompe’a merupakan proses memanen. Setelah melalui musim hujan dan waktu merawat tanaman usai, tanaman-tanaman yang berhasil dan siap dipanen sampai juga. Sesuatu yang paling menyenangkan dalam proses berkebun.

Seperti halnya amo’a, dulu ketika musim ini tiba biasanya seluruh anggota keluarga turut serta memanen. Anak-anak, cucu-cucu, sepupu-sepupu juga tetangga rumah. Seperti merayakan pesta panen. Sebagian hasil panen langsung dimasak di kebun dan dinikmati bersama.

Membumbuinya dengan canda lalu anak-anak dibiarkan berlari, bermain di atas lahan kosong yang sudah dipanen. Termasuk bagian dari memupuk silaturahmi di antara keluarga dan kerabat.

Sebagiannya lagi, seperti jagung dan kacang-kacangan yang sengaja dibiarkan tua akan disimpan di lumbung kecil-kecilan di rumah. Termasuk teknik mengawetkan benih tanaman ala orang tua dulu. Jelas, tidak pakai pengawet kimia.

Lumbung tersebut adalah bagian langit-langit daporo, tungku dapur yang disulap dengan beberapa gantungan atau plafon yang terbuat dari papan juga anyaman bambu. Di sana hasil panen itu disimpan berbulan-bulan.

Namun ada yang paling unik dalam hal berkebun ini di Tomia. Baik musim bemba’a, amo’a, tompe’a yang dilakukan bersama-sama setelah perkiraan musim hujan tiba, biasanya para orang tua berjanji mengunjungi kebun mereka bersama-sama yang kebetulan masing-masing kebun itu memang berdekatan.

Ketika waktu pulang tiba, siang atau sore hari dan mulai gelap, Wa Ina dan tetangga yang lain akan mengeluarkan suara setengah berteriak. Nyaring saling bersahutan dengan pemilik kebun sebelahnya. Itu seperti alarm yang mengingatkan kalau waktu untuk pulang sudah tiba.

Masa kanak-kanak itu masih saya lalui setiap prosesnya di tahun 2000-an. Sebagai anak-anak yang sangat senang berjalan kaki menyusuri kebun, ke puncak, pesisir, melaut bersama teman-teman atau mengikuti orang tua. Tanpa dibuat sibuk sendiri dengan gadget macam hari ini.

Meskipun masing-masing generasi memang punya pelajaran dan pengetahuan baru dimasanya. Tetapi seiring bergantinya tahun, banyak nilai-nilai yang terjalin sesederhana itu semakin meredup, bahkan mengikis dan hilang.

Musim Berkebun di Pulau Tomia

Editor: Ebi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here