Penggunaan penulisan huruf W dalam bahasa orang pulau di Wakatobi perlu dipertanyakan lebih jauh. Kenapa? SImak ulasan ini.
Sajo Fofine ialah sebuah tarian purba para perempuan dari Wakatobi di masa lampau.
“Sajo” berarti tari, Kata ini saya temukan ada di punutur bahasa Sulawesi Barat dengan dialek Pattae’. Sementara “Fofine” bermakna perempuan dalam bahasa Wakatobi.
Saya ingin cerita bagaimana bahasa bisa jadi alat kuasa sekaligus alat merebut kembali kuasa.
Saya ingin bicara lebih fokus dalam konteks bahasa Wakatobi untuk kata “Fofine”
Kita mungkin akan sering menjumpai perbedaan penulisan kata “fofine” ini. Kadangkala ia ditulis Fowine, Wofine, ataupun Wowine.
Namun, menulisnya dengan kata “Fofine” adalah pilihan yang mengandung makna krusial bagi orang-orang kampung menurutku.
Penelusuran bahasa ini membawaku pada perjumpaan dengan Pak Asrif, seorang yang seluruh waktunya ia dedikasikan untuk mengabdi di balai bahasa daerah yang satu ke daerah yang lain.
Pria asal Onemai ini juga tergabung dalam Asosiasi Tradisi Lisan, yang lumayan banyak meneliti dan membahas perihal bahasa.
Perbincangan kami sampai pada sebuah kesepakatan. Penulisan bahasa mestilah diretas.
Penyesuaian bunyi yang menggunakan standar bahasa nasional, pada beberapa kata dalam bahasa Wakatobi, membuat banyak kata yang ditulis tak sesuai bunyi asli seperti ketika orang-orang kampung mengucapkannya.
Huruf “f” banyak berganti huruf “W” dan ini tidak konsisten di semua tulisan. Taruhlah pada kata “Fofine” tadi.
Sementara dalam dialek orang-orang pulau Wakatobi, pelafalan “w” tidak akan kita jumpai.
Kita bisa melihat penjelasan tentang ini jika menyimak orang-orang tua yang sedang berbincang di gode-gode, bahkan Wa mestilah berbunyi “Fa”
Ilmu linguistik menerangkan perihal penyesuaian tulisan dan bunyi dalam sebuah bahasa ini.
Bahasa lisan lebih awal munculnya, jauh sebelum ditemukannya lambang atau bahasa tulis. Jadi, apa yang ditulis, mestilah menyesuaikan bunyi bahasa itu. Bukan sebaliknya
Dan ini lalu menuntunku pada sebuah ingatan yang lain, sebuah percakapan dengan bapak saya.
Beliau bercerita bahwa pernah mengangkat soal bahasa ini dalam skripsi nya semasa kuliah. Judul penelitiannya: Pengaruh Dialek Bahasa Daerah Terhadap Pengucapan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar.
Dalam risetnya itu, Bapak juga melihat bagaimana huruf “F” ini kerap dengan tak terkendali sering nangkring dalam penggunaan (lisan) bahasa Indonesia orang pulau.