Mengungkit Kembali Eksistensi Perahu Layar Pulau Tomia
Mengungkit Kembali Eksistensi Perahu Layar Pulau Tomia

Perahu layar perlahan tergerus jaman. Riset yang dilakukan salah satu peserta Sekolah Pulau ini merupakan upaya mengungkit kembali eksistensi perahu tersebut dan Pande Fangka.

Gerimis pagi itu membasahi Pulau Tomia. Namun, itu tak membuat langkah Juha (29) terhenti.

Pria berkacamata itu tetap berjalan turun ke perahu yang sedang dirakit di salah satu galangan perahu layar yang tersisa di Pulau Tomia, Pelabuhan Waiti’i. 

Di perahu bercat putih-biru laut, Juha menemui sang Pande Fangka perahu, La Jama (58)

Lelaki bertopi dengan badan kekar itu tersenyum pada Juha setelah mereka berpapasan.

Juha sedang wawancara bapak La Jama di haluan perahu di galangan Pelabuhan Waiti’i. Tampak juga di bawah mereka tukang sedang bekerja memperbaiki papan perahu. Sumber: Lekasura/ebi
Juha selepas melakukan wawancara. Sumber: Lekasura/ebi

Dua orang itu lantas mulai saling bercakap.

La Jama menceritakan pada Juha tentang perahunya. Lebih banyak tentang istilah dan bagian perahu.

Juha memang sedang melakukan penelitian terkait perahu kayu Pulau Tomia. Ia mengulik segala unsur perahu. Setelah itu ia mengaplikasikannya dalam sebuah karya miniatur.

Sebelumnya dalam sebuah pertemuan dengannya, Juha mempertontonkan kepada saya miniatur perahu buatannya yang baru setengah jadi.

Pria yang juga founder Hengge Gallery itu menjelaskan perahu model apa yang ia rangkai kali ini.

“Saya sedang membuat model perahu yang masih marak dipakai pada tahun 1960-an,” katanya.

Juha lalu menunjukkan bagian-bagian lebih detil. Ia merunutnya mulai dari layar hingga lambung perahu kayu mini itu.

“Ada banyak perbedaan di sini. Dibanding dengan perahu sekarang, dulu masih pakai layar yang bahannya dari daun dan kain. Kamar perahu masih yang model segitiga, bukan kotak. Juga yang paling terlihat adalah model buntut perahu, yaitu model Panta Bebe,” terang Juha.

Lebih lanjut ia menguraikan tentang model Panta Bebe. Ia mengatakan jika dengan model Panta Bebe, dapur perahu tidak berada di belakang, melainkan di dekat tiang layar. Di bagian belakang hanya ada jamban.

Juha memperlihatkan sketsa gambar yang ia buat. Sebelum merancang karya miniaturnya, ia terlebih dahulu menggambar apa saja yang mesti ia buat.

Sketsa gambar riset perahu layar karya Juha. Sumber: Juha

“Fokus saya lebih kepada bagaimana perahu ini mirip dengan aslinya,” jelas Juha.

Maka dari itu Juha melakukan riset terlebih dahulu.

Selain turun galangan, ia bertanya kepada para tetua yang sudah lama berlayar.

Misalnya ia bertanya kepada bapaknya, Haji Penampo yang juga mantan pelayar. Bapaknya menceritakan tentang tali temali di perahu panta bebe.

“Tali untuk berlabuh masih menggunakan tofole kotua, tali juga ini digunakan buat tali danda di bagian belakang. Selain itu, di jangkarnya masih menggunakan batu berukuran besar, nanti ke Pulau Jawa baru mereka membeli jangkar,” ujar Juha seperti yang dijelaskan bapaknya.

Juha juga bertanya kepada Haji Arabu, seorang tetua pelayaran. Lelaki paruh baya itu aktif berlayar pada tahun 1960-an.

Haji Arabu menjelaskan bahwa layar pertama perahu itu namanya pomantu yang berbahan dasar dari serat pohon. Setelah jenis itu, para pelayar memakai layar kain dan kemudian sekarang menggunakan layar berbahan terpal.

“Model layar asli perahu Tomia namanya layar Gapu mirip layar perahu Pinisi,” jelasnya.

Belakangan model layar berubah menjadi model segitiga. Setelah dipraktekkan layar segitiga ternyata mudah dioperasiksan dalam berlayar, model layar segitiga ini disebut dengan nama layar Nade.

Nasib Perahu Layar

Hujan kemudian turun pagi itu. Kami bergegas berteduh ke perahu seberang. Di sana kami bertemu juragan perahu tersebut, seorang pensiunan pegawai.

Lelaki itu bercerita tentang nasib perahu kayu jaman moderen ini.

“Nasib perahu kayu memang sedang tergerus,” kata lelaki paruh baya itu.

Salah satu perahu layar sedang diperbaiki di galangan perahu di Pelabuhan Waiti’i. Sumber: Lekasura/fadli

Posisi kapal kayu di Pulau Tomia tak lagi menjadi tumpuan utama.

Berbeda dengan jaman dulu, di mana perahu kayu masih banyak terparkir di pesisir pulau.

“Dahulu masih banyak yang jadi pelayar,” katanya lagu

Beberapa tahun terakhir, keberadaan perahu kayu di Pulau Tomia memang telah berkurang.

Dahulu perahu merupakan transportasi yang memenuhi seluruh pantai di Pulau Tomia. Banyak orang Tomia, terutama laki-laki berprofesi sebagai Palangke Papalele atau pelayar pedagang. Mereka menyusuri pulau-pulau di nusantara untuk menjajakan barang muatan.

Namun, karena perkembangan teknologi dan modernisasi, daya operasi perahu mulai kalah saing.

Bangkai perahu layar di Pelabuhan Waiti’i. Sumber: Lekasura/edi

Para pelayar yang menjadi penggerak perahu mulai mencari pekerjaan lain. Banyak dari mereka kini telah beralih profesi menjadi pedagang tetap di Papua.

Lelaki yang berpakaian kemeja lusuh itu cerita ketika memabangun perahunya. Ia merasakan kebimbangan bagaimana akan membentuk perahunya.

“Ini perahu dulu kita desain untuk perahu trek Jawa-Irian, tetapi diubah lagi ke perahu wisata dan sekarang ini kita mau ubah jadi perahu pelingkar,” cerita lelaki berkulit legam itu.

Implikasi Sekolah Pulau

Juha memperlihatkan miniatur perahu layarnya. Sumber: Lekasura/ebi

Juha mengikuti Sekolah Pulau. Di sana ia belajar tentang bagaimana menjadi peneliti kampung dan mengarsipkan tradisi.

Menurutnya apa yang diajarkan di sekolah tersebut sangat bermanfaat, terutama ketika ia turun ke lapangan melakukan penelitian.

“Jadi apa yang kita buat akhirnya sesuai dengan kenyataan,” kata pria yang aktif di kegiatan Hedongka Project ini.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here