Lakadea
Mengenal Lakadea, Penyakit yang Menyerang Tanaman Bawang di Desa Teemoane

Lakadea telah menjadi penyakit menahun yang menyerang tanaman bawang merah di Desa Teemoane. Penyakit atau hama ini bahkan sampai merugikan para petani karena gagal panen.

Wakatobi adalah daerah kepulauan yang terkenal karena lautnya. Hampir 97 persen wilayahnya adalah laut. Sementara daratan tersisa hanya 3 persen.

Tak heran, banyak masyarakat Wakatobi berprofesi sebagai nelayan.

Meski demikian, dengan daratan yang sedikit tersebut tak membuat warga Wakatobi mengesampingkan aktivitas bertani.

Desa Te’emoane, Kecamatan Tomia, misalnya salah satu desa yang masyarakatnya selain nelayan juga bertani bawang merah.

Di desa yang sering disebut Bontu-bontu ini bertani bawang sudah dilakukan secara turun temurun sejak jaman dahulu. Bahkan terbilang dengan bertani bawang sangat menyejahterakan para petani.

Desa Teemoane sebagai desa paling berhasil memanen bawang setiap tahunnya di antara semua desa/kelurahan di Pulau Tomia.

Ciri bawang merah dari Desa Teemoane. Ukurannya lebih kecil.. Sumber: Lekasura/Siska

Bawang merah di Desa Teemoane memiliki ciri khas tersendiri. Berikut ciri-cirinya:

  • Ukurannya lebih kecil
  • Warna merahnya lebih mencolok
  • Daunnya lebih pendek
  • Rasanya sedikit lebih pedas

Proses Menanam Bawang

Proses menanam bawang sendiri dimulai dari:

  • Ofu (mencabut rumput)
  • Membakar rumput yang sudah dicabut
  • Mencangkul tanah agar tidak padat dan menjadi gembur
  • Bhelai (awal menanam). Uniknya, proses ini selalu dikaitkan dengan mitos-mitos. Beberapa petani memiliki hari-hari tertentu yang berbeda-beda yang mereka percayai sebagai hari keberuntungan mereka ketika melakukan bhelai.
  • Setelah proses tersebut, petani kemudian menunggu tanaman bawang untuk berkecambah. Waktunya sekitar 3 sampai 7 hari
  • Pemupukan. Pemupukan ini ada du acara, yakni ada yang dihamburkan dan ada juga yang ditaruh langsung di batang bawang.
  • Galu-galu futa (cara mencabut rumput degan meremas tanah). Biasanya setelah pemupukan, di sekitar bawang akan ditumbuhi rumput liar. Galu-galu futa ini dilakukan untuk melindungi bawang dari rumput liar.    
Salah satu petani bawang di Desa Teemoane sedang memeriksa kondisi bawangnya. Sumber: Lekasura/Siska

Setelah 40 sampai 50 hari para petani akan memanen hasil bawang merah mereka. Dahulu proses memanen dilakukan secara bersama atau bergotong royong sesame papra petani.

Para petani akan membawa bekal sebanyak-banyaknya untuk persediaan makan seharian di kebun.

Namun, seiring berjalannya waktu kebiasan-kebiasaan tersebut sudah mulai menghilang. Bahkan sekarang para petani sengaja membayar jasa untuk memanen bawang.

Lakadea

Sebelah kiri adalah bawang yang terkena Lakadea, sedangkan sebelah kanan bawang yang tumbuh normal di Desa Teemoane. Sumber: Lkasura/Siska

Kendati demikian, sama halnya dengan usaha petanian lainnya, harga bawang juga mengalami naik turun.

Menurut Wa Mimu (59), salah satu petani bawang di Desa Teemoane, menjelaskan bawang merah Desa Teemoane mengalami penurunan penjualan.

“Pada tahun 2019 sampai 2020 yang awalnya harga jualnya sekitar Rp 35 sampai Rp 45 ribu bahkan Rp 75 ribu per liternya, sekarang turun menjadi Rp 15 ribu per liter,” ujarnya.

Salah satu penyebabnya adalah adanya daya saing dengan bawang merah daerah lain yang mudah didapat, harga lebih murah, ukuran lebih besar.

Selain itu, penyakit bawang juga menjadi ancaman untuk petani Desa Teemoane. Penyakit yang disebut Lakadea ini sering menyerang bawang petani.

Lakadea sukar diketahui penyebab dan cara mengatasinya.

Bawang yang terkena Lakadea memiliki ciri berikut:

  • Bagian akar yang lembek dan membusuk serta berwarna keputihan.
  • Bentuknya sedikit lonjong dan memanjang dari bentuk biasanya’
  • Bagian ujung atas bawang mengeras
  • Daun tampak lembek dan lesuh
Daun bawang yang tampak lesuh karena terkena Lakadea. Sumber: Lekasura/Siska

Menurut Wa Mimu La Kadea ini sudah menjadi pnyakit bawang Teemoane sejak dahulu kala.

Hal yang sama diakui La Alihuma (52), petani asal Waitii Barat. Ia mengatakan bahwa Lakadea itu sebagai hama di dalam tanah.

“Saya pernah mencabut bawang yang terkena lakadea dan menemukan cacing kecil-kecil,” katanya saat wawancara dengan Rial.

Beberapa pembasmi hama sudah pernah dicoba disemprotkan, namun menurutnya tidak mempan.

“Karena banyak pembasmi hama bantuan itu disiram ke daunnya saja, sementara hamanya ini di dalam tanah,” terangnya.

 Lakadea, lanjut La Alihuma, banyak terjadi di musim hujan. Karenanya salah satu solusi menghindari penyakit ini adalah dengan menanam bawang pada musim panas.

Gagal Panen Akibat Lakadea

Skitar tahun 2015/2016 petani desa di Teemoane mengalami gagal panen akibat Lakadea. Kegagalan tersebut dirasakan oleh seluruh petani di desa.

Karena itu, semangat petani mulai menurun. Kian menurun pada tahun 2021, ketika bawang merah gagal panen lagi.

Lakadea terus menyerang bawang para petani Desa Teemoane. Bahkan tak ada satu suwir pun bawang bisa dijual, semua rusak.

Pada akhirnya, para petani bawang perlahan beralih profesi menjadi petani rumput laut.

Karenanya perlu dicarikan solusi untuk penyakit ini. Sebab hal ini menyangkut kehidupan para petani.

Wa Mimu, narasumber dari Siska. Sumber: Lekasura/Siska

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here