Artikel ini merupakan refleksi tentang hari ibu dalam perspektif kesetaraan. Saya memberikan pandangan saya sebagai perempuan Wakatobi.
Saya menghabiskan waktu pagi ini sekitar tiga jam di depan rumah. Mencari signal internet, sekaligus mengamati pengendara motor yang lalu Lalang di jalan. Ini hari ibu.
Dan seperti hari-hari besar lainnya, hari ini juga turut diperingati oleh warga di kampungku. Utamanya oleh mereka yang pegawai (meminjam istilah kampung yang merujuk PNS)
Satu dua kendaraan itu, lebih dominan ditumpangi oleh perempuan. Pemandangan ini sebenarnya telah menarik perhatianku sejak hari guru kemarin.
Dalam berbagai lomba euforia hari guru, guru-guru perempuan mendominasi panggung. Dan, jika kita amati lebih jauh lagi, masuk ke instansi-instansi pemerintahan selain sekolah jumlah perempuan lebih unggul ketimbang laki-laki.
Saya lalu teringat Ketika kolektif perempuan Wakatobi, Wa Toombuti, menggelar diskusi dengan tajuk Perempuan dan Pendidikan tempo hari.
Ditemukan data bahwa jumlah perempuan yang putus sekolah/ tidak bersekolah lagi, lebih rendah ketimbang jumlah laki-laki yang putus sekolah.
Hal ini kemungkinan ada hubungannya dengan kecenderungan sebagian pemuda Wakatobi yang lebih memilih untuk merantau.
Wakatobi mengalami perkembangan yang luar biasa satu dekade terakhir ini. Khusunya, dalam kiprah perempuan di dunia Pendidikan.
Terbukti dengan semakin beragamnya pilihan pekerjaan untuk perempuan. Jadi jika dulu perempuan yang ditinggalkan merantau oleh suaminya mengisi hari-hari dengan bekerja menggarap ladang.
Maka kini, jika suaminya merantau, atau membuka usaha di kampung, ataupun juga berkantor, perempuan pun banyak yang mengisi ruang-ruang perkantoran
Namun sayangnya, ini tidak dibarengi dengan kesadaran akan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Jangan bayangkan bahwa kesetaraan yang saya maksud di sini sebagai misalnya jika laki-laki angkat galon, maka perempuan juga harus angkat galon. Atau jika perempuan melahirkan, maka laki-laki juga demikian.
Sehingga kesetaraan sering disalah-maknai sebagai sesuatu yang menyalahi kodrat dan menentang Tuhan.
Kesetaraan yang saya maksud adalah hal-hal yang melampaui fungsi biologis. Ini adalah sebuah bentuk kerja sama, hubungan kesalingan antara laki-laki dan perempuan: saling memberi kesempatan, saling mengambil peran, saling mendukung dst.
Sederhananya, ini adalah sebuah sikap untuk tidak terus-terusan terpaku pada peran kuno perempuan dan laki-laki di masyarakat di mana laki-laki sebagai tumpuan pencari nafkah dan perempuan bertanggungjawab di ranah domestik mengurusi keluarga dan rumah.
Mengapa tidak? Kenyataan yang saya uraikan tentang jumlah perempuan Wakatobi yang mengisi pekerjaan di ruang publik, sedikit bisa menjawabnya.
Perempuan sudah mulai mengambil alih beban kebutuhan keluarga yang selama ini hanya ditimpakan kepada laki-laki.
Walaupun soal ini, terkadang masih malu-malu diaukui bahwa perempuan juga ikut mencari nafkah, menemani laki-laki bekerja karena kebutuhan keluarga yang makin hari makin mencekik
Di sisi lain, tak sedikit juga perempuan pekerja itu yang memiliki suami yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sehingga tumpuan nafkah satu-satunya boleh dikata adalah dari hasil kerja
Kesetaraan Maupun Ketidaksetaraan Bisa Berlangsung dari Ruang Privat
Seorang teman perempuan saya pernah mencurahkan isi hati perihal ini.
Ia bercerita tentang kelakuan suaminya. Dikala ia pulang seusai kerja di kantor, ia haruslah juga mengurusi kios kecil-kecilan yang ia inisiasi sendiri.
Sesampainya di rumah, ia temukan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil, masih memakai baju yang sama seperti pagi hari sebelum ia berangkat bekerja.
Baju mereka dalam keadaan kotor, begitupun badannya. Ternyata mereka belum mandi sama sekali sejak pagi.
Bapaknya tak sedikitpun tergerak untuk mengurusi ketiga anaknya itu. Si bapak yang kebetulan sedang tidak bekerja, malah sedang asyik-asyiknya merokok.
Dan, tanpa rasa bersalah sedikitpun, ia menanyakan akan makan apa mereka siang itu. Ternyata, urusan memasak pun, masih harus menunggu hingga sang istri pulang bekerja. Si istri lalu protes.
“Mengapa kau hanya menanyakan makanan sementara ketiga anakmu dalam kondisi seperti ini, dan saya juga kelaparan dan kelelahan setengah mati habis bekerja,” ujar si istri setengah menangis, setengah emosi.
Namun, protesnya tersebut hanya disanggah oleh perempun lain di dalam rumah itu, ibu suaminya
“Kasihan, saya ini biarpun saya jelek, tapi kalau soal memasak dan menyiapkan makanan untuk suami itu, saya lakukan,” kata si ibu.
Mengapa perempuan (mertua) yang justru mejawab demikian? Ini adalah kenyataan lain juga yang harus kita akui keberadaannya di masyarakat.
Perempuan menjadi sosok yang kerap menilai, mengawasi serta memastikan sesama perempuannya menjalani peran-peran hasil konstruksi soial dan budaya.
Jadi secara langsung perempuan juga ikut andil dalam melanggengkan kultur ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Sekali lagi. Mengapa tidak? Saya punya tetangga, persis di sebelah rumah. Seorang ibu bekerja yang suaminya juga bekerja merantau dan membuka usaha di kampung orang.
Namun, ketika masa-masa rehat dan suaminya pulang kampung menetap beberapa bulan. Dia mengambil alih pengasuhan anak mereka yang masih kecil hingga si istri pulang. Jadi istrinya bisa lebih tenang menghadapi pekerjaan di luar rumah.
Barangkali pengalaman dua teman saya ini pernah juga kalian jumpai di sekitar atau di dalam rumah sendiri? Itulah yang dipersoalkan oleh mereka yang menuntut kesetaraan
Kesetaraan dan Hari Ibu
Tangggal 22 Desember diperingati sebagai hari ibu. Meskipun makna hari ibu itu sendiri sering diobrak-abrik dengan mengkategorikan hari ibu sebagai momen untuk menyelamati perempuan yang punya anak, dan terbatas dalam peran domestik dan segala macam euphoria seperti lomba masak dsb yang seakaan hanya ingin menegaskan kembali bahwa perempuan adalah makhluk domestik.
Namun harus kita ketahui bahwa hari ibu sama sekali bertujuan untuk mendomestikasi peran perempuan.
Bermula dari kongres perempuan Indonesia tanggal 22-23 Desember 1928. Sejumlah 30 organisasi perempuan dari Jawa dan Sumatera berkumpul di Jogjakarta untuk membahas perihal mendesak tentang perempuan.
Mereka membahas tentang persatuan perempuan Nusantara, peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan, peran perempuan dalam pembangunan, perbaikan gizi dan kesehatan ibu dan balita, pernikahan usia anak, kesempatan yang sama dalam ranah publik, politik, ekonomi, pendidikan dst
Kongres perempuan ketiga kemudian kembali dilangsungkan di Bandung pada 1938. Dengan salah satu agendanya adalah menetapkan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu.
Peringatan ini dikukuhkan oleh pemerintah dalam Keppres RI No 316 Tahun 1959. Dengan tujuan untuk memperingati peran perempuan seperti yang telah disebutkan di atas.
Jadi, mengapa tidak sama-sama memperjuangkan kesetaraan ini? laki-laki perempuan saya rasa perlu didukung, diapresiasi.
Kita bisa memulainya dari diri sendiri, dari hubungan yang paling intim. Bersama kekasih. Dari dalam rumah. Dari institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga.