Mabuk laut di perahu yang kerap membuat muntah itu selalu terpatri di dalam ingatan sebagai kenangan dan suasana perahu yang sangat menenangkan
Tiap kali pulang kampung atau pergi merantau saya selalu merasa was-was. Bagaimana tidak, perjalanan ke kampung harus menyeberang laut memakai perahu. Sebenarnya bukan masalah perahu atau lautnya, tapi masalah ombak yang akan mengguncang tubuhku nanti.
Jika cuaca sedang buruk dan lagi sesak-sesaknya penumpang, maka saya sudah akan yakin, pasti mabuk laut. Bahkan satu hari sebelum berangkat saya sudah akan membayangkan kengiluan itu :
Berbaring di matras hijau atau hitam berbau karet lesuh bercampur debu mesin, perasaan pengap mencekik yang datang dari mana-mana, dan tubuh yang dibelit keringat dingin (ia hanya berkeringat pada bagian punggung ke bawah, bagian yang menempel dengan matras). Itu merupakan gejala tubuh paling saya benci.
Sembari menutup mata -ini antara berusaha tidur atau memang takut duduk dan berdiri karena sudah mulai merasa oleng- saya terus sibuk berupaya menahan diri untuk mengendalikan dan meredam rasa pusing yang sudah mencengkram kepala, meski ayunan dek perahu tentu tak bisa saya abaikan.
Di saat yang sama, tubuhku, terutama bagian perut, mulai terasa aneh. Ada kontraksi lambung juga otot perut yang berdenyut-denyut. Sebuah tanda yang sangat saya kenali sebagai mula dari mual.
Lalu lidah perlahan-lahan dialiri cairan asam yang kemungkinan terdorong dari lambung, dan ia tentu tidak sendirian. Ada gumpalan atau sesuatu yang saya sebut sebagai ‘bangsat’ mencoba menyeruak ke permukaan mulut serupa iblis yang terus menghantui. Tapi saya tentu tak akan membiarkan ia lolos begitu saja. Meski badan saya memang mulai gelisah, dan keringat dingin tak berhenti terpompa.
Sebuah situasi yang cukup melegakan sebenarnya ketika ada angin masuk menyambar. Tubuh akan dibuai kesejukan sesaat dan perasaan aman menyelimuti. Sayangnya situasi macam itu hanya bisa kita peroleh bukan pada waktu-waktu mudik dan arus balik. Lagipula ketika sudah kebanyakan terpapar angin, tubuh jadi terasa kedinginan juga. Pokoknya serba salah.
Di momen-momen menuju pilihan antara meluapkan ‘bangsat’ dan tidak -yang sebenarnya kita lebih condong untuk memilih tidak ini- keparatnya, pikiran kita datang membujuk bak malaikat pencabut nyawa.
Jadi kamu mungkin pernah merasakan ini bahwa waktu kita sedang lemas dan mual-mualnya, si pikiran keparat malah datang berbisik dan mengajak kita mengingat kembali segala kejadian per-bangsat-an yang pernah kita alami. Kita yang sudah berusaha dari tadi menahan si bangsat eh malah makin digoda.
Maka yang terjadi berikutnya adalah kita menjeluak-jeluak karena si bangsat makin berontak yang pada sepersekian detik berikutnya ia meluncur keluar memaksa mulut kita menganga dan akhirnya ia termuntahkan. Kamu pasti tahu bagaimana rupa si bangsat itu kemudian: dari warna, bau, lendir dan segala hal-hal yang sepertinya kau anggap dosa ada di sana. Sial. Kita sudah susah-susah tahan ia malah datang.
Tapi seperti halnya alegori hidup yang bilang tak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia maka begitu pula dengan proses muntah dan kotorannya.
Proses Muntah
Adakalanya dalam ingatan tentang momen muntahan itu, ada satu kesempatan di mana kamu setelah muntah kamu menyadari betapa orang-orang atau manusia di sekitarmu begitu berharga dan baik padamu. Ini adalah momen refleksi hidup yang membawamu pada kebersyukuran yang tak pernah tersangkal oleh apa pun.
Di waktu SD saya pernah berangkat atau pergi ke Kota Baubau, saya lupa persisnya, pokoknya bersama keluarga. Ketika itu saya dan adik saya muntah di dek tempat tidur, semua tercecer, semua berhambur serupa permadani di got, dan itu membuat orang-orang di sekitar kami tidak bisa tidur dengan nyaman. Saya merasa campur aduk waktu itu, lemas-pusing sekaligus malu. Tapi apalah dayaku.
Di saat itu, saya melihat mama saya yang waktu itu sebenarnya tengah pusing karena mabuk laut juga tetap bertindak menangani kami, ia dengan sekuat daya yang ia bisa, terus memijit punggung kami agar isi muntahan keluar semua.
Di sana pula, bapak saya dibantu sepupu saling bekerja sama membersihkan muntahan kami. Kau tahu membersihkan sesuatu kotoran yang keluar dari tubuhmu. Juga para penumpang di sekitar kami dengan perasaan iba mencoba membantu sebisa mungkin dengan memberi balsem atau minyak gosok.
Aih, di kala-kala serupa itu, kau melihat manusia begitu berharga di hidupmu dan rasa empati macam apa lagi yang kau dustakan?
Kotoran Mabuk Laut
Apa manfaat dari kotoran ini? Saya tidak tahu persis apa manfaat kotoran muntahan, tapi kita semua pasti pernah membaca atau mendengar manfaat dari Feses atau Tinja. Ia bisa menjadi berguna untuk mahluk hidup lain. Bisa saja setelah muntahan disapu ke laut, ia menjadi makanan hewan-hewan laut.
Setelah hewan itu memakan muntahan lalu ia dimakan pemangsanya dan pemangsanya bisa saja adalah ikan-ikan Tuna yang kemudian pada suatu musim barat ia masuk ke jaring atau dikail oleh seorang nelayan yang kemudian ikan itu akan ia jual di pasar malam sebagai penyambung kebutuhan hidupnya. Dan seterusnya, dan seterusnya…
Obat Mabuk Laut
Tapi soal muntah-muntahan itu semua terjadi waktu saya kecil dan itu sudah beberapa tahun ke belakang. Dewasa ini, saya mulai terbiasa. Meski rasa mual tentu tak bisa hilang. Tapi setidaknya saya sudah tahu, saya mempersiapkan diri. Setiap kali berangkat saya selalu sedia kresek agar tidak muntah mendadak dan tentu, obat antimo.
Ada berbagai macam cara yang sudah saya coba untuk menangani mabuk laut jika di perahu motor. Mulai dari yang dimasukan ke mulut sampai tindakan yang hanya menangani dari luar. Berikut beberapa caranya:
- Menempel salompas ke udel.
Salah satu yang sering saya lakukan adalah menempelkan salompas ke udel atau pusar. Entah kepercayaan dari mana itu, tapi saya tetap dipaksa mama saya memakainya, demi kebaikan. Rasanya, ya hangat saja, mentol kandungan salompas itu bikin enak perut. - Makan permen.
Selain menempel salompas ke pusar, saya juga kerap disarankan mama saya untuk makan permen, terutama Relaxa. Sejauh ini kandungan mint-nya setidaknya terbukti menahan asam naik ke rongga mulut. - Makan
Ketika mulai merasa pusing sebaiknya makan, meski susah sekali sebenarnya untuk bangun. Tapi makan setidaknya bisa membuat badan jadi kuat. Dan makan di perahu itu, kamu selalu merindukan suasananya. Apalagi makan makanan perahu yang sangat khas rasanya itu.
Dulu di tahun 2000-an perahu motor lintas pulau masih banyak. Dalam setiap perjalanan, ABK perahu sering memasak banyak untuk penumpang. Masakan mereka terdiri dari dua menu plus nasi, yakni sayur Kaudafa alias daun kelor dan ikan pindang.
Menurut saya, makanan itu tak ada duanya. Meskipun nasinya begitu kasar di mulut, dan kadang-kadang kaudafa tercecap hambar dan ikan begitu asin, tapi entah kenapa terasa enak saja kalau di makan. Mungkin suasananya. Mungkin kebersamaan dengan orang-orangnya. Apalagi ditambah dengan guyonan-guyonan mereka yang terkadang garing dan aneh, meski tetap menenangkan. - Minum Air Hangat
Terkadang kalau ombak lagi heboh-hebohnya bagaimana mau makan, bergegas dari tempat tidur saja sudah oleng. Kalau sudah begitu si ABK perahu selalu berkeliling untuk memberi minuman hangat atau Te’e mokada. Ada dua jenis minuman hangat yang dibagi, yaitu teh dan kopi, dulu kadang ada kopi susu.
Tiba di tempat tidurmu, si ABK akan menuangkan minuman hangat itu dengan sangat hati-hati karena perahu yang terus berayun. Lalu ia dengan tangan kekarnya, mengoper gelas ke tangan kita dan sesaat kita akan mulai tergiur untuk meminumnya dan perasaan hangat kemudian menyelimuti. Itu seperti air mantra.
Biasanya minuman hangat keliling itu akan dibagikan pas sore menjelang matahari terbenam, menjelang bulan merekah terang. Maka kita minum itu teh atau kopi, kafein dan hangatnya akan membawa tubuh kita nyaman serupa dipeluk kekasih di sore hari. Lalu mabuk laut kita akan perlahan lekang dan hilang.