Orang Tomia suka Berdagang
Orang Tomia suka Berdagang

Menelusuri dan menjawab kenapa Orang Tomia suka berdagang.

Dahulu orang-orang Tomia bergantung hidup pada dunia pelayaran (Langkea). Mereka membuat perahu-perahu kemudian berlayar ke pulau-pulau lain.

Namun mereka bukan hanya sekedar berkelana, melainkan juga berniaga. Berlayar akan selalu bertautan dengan berdagang. Itu sejarah manusia yang tercatat berabad-abad lalu. Orang Arab, orang Cina atau para penjajah dari tanah Eropa, mereka selalu berlayar dan kemudian melakukan praktik jual beli.

Begitu pula dengan pelayar dari Tomia, mereka berlayar sembari menjajakan barang-barang. Seorang antropolog Abd Rahman Hamid kemudian menyebut profesi orang-orang ini sebagai Pelayar-pedagang atau Langke Papalele.

Kenapa kemudian Orang Tomia menjadi pedagang?

Dalam ulasan Abd Rahman Hamid di dalam bukunya Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia dijelaskan bahwa aktivitas Langke Papalele ke pulau-pulau Nusantara itu sudah lama dilakukan.

Bahkan berniaga dan berlayar sudah menjadi dua aktivitas yang menyatu bagi suku Buton dan menjadi sumber utama nafkah orang Buton. Fakta ini ia kutip dari catatan antropolog Pim Schrool dan A. Ligvoet, direktur VOC Urusan Pribumi di Makassar dahulu kala.

Alasan aktivitas itu dilakukan adalah karena: Pertama, kondisi alam. Pulau Tomia memiliki topografi yang terdiri dari bebatuan karang. Ia gersang dan ukuran pulaunya pun tak luas. Itulah kemudian yang memicu orang-orang ini harus berkelana.

Dari aspek sejarah, yang dituturkan secara lisan, Orang Tomia memang berasal dua orang pelayar dan pengelana (Sipanyong dan Timbaradio). Jadi memang darah berlayar itu sudah melekat, meskipun belum ada bukti yang kuat apa profesi dari dua orang itu, mungkin saja pedagang.

Alasan kedua, menurut Hamid, tindakan membangkang pada kesultanan. Pulau Tomia pernah diduduki oleh beberapa kerajaan maritim. Yang paling kentara dan mebekas ialah Kesultanan Buton, bahkan kemudian bersama ke tiga pulau lainnya (Wangi-wangi, Kaledupa dan Binongko), seluruh orang-orang yang menghuni tempat itu disebut sebagai orang Buton. Saat itu diwajibkan bagi setiap pulau menghadiri Martabah Tujuh, ritual pertemuan seluruh wilayah yang termasuk dalam kesultanan. Orang-orang Tomia dan termasuk di tiga pulau itu, mereka lebih memilih berlayar ke luar pulau lain, berdagang, daripada menghadiri upacara itu.

Setelah Kompeni masuk ke Maluku pada abad ke-17 Masehi, jaringan perdagangan kemudian terbentuk. Hamid mencatat jaringan itu diinisiasi oleh Organisasi Dagang Hindia Timur (Verenigde Oost Indische Compagnie atau VOC). Kepulauan Tukang Besi berada di tengah jalur perdagangan maritim ini. Maka orang-orang di kepulauan itu mulai terpengaruh.

Alasan ketiga, ditulis Hamid, adalah memperoleh keuntungan. Orang Tomia, bahkan seluruh Orang Buton di wilayah yang kini dikenal sebagai Wakatobi ini, mulai memprioritaskan keuntungan. Mereka mencari laba sebanyak-banyaknya.
Metode Berdagang

Dalam ambisi mencari keuntungan ini, Orang Buton di Wakatobi melakukan berbagai macam cara. Mereka bahkan rela menukar pakaian yang sedang mereka kenakan untuk ditukarkan dengan setengah ton kelapa atau kopra.

Hamid mencatat ada dua jenis metode jual beli yang diterapkan oleh para pelayar dalam berdagang, yaitu jual beli secara langsung memakai alat tukar uang dan sistem barter.

Selain itu para pelayar saat itu memiliki dua sistem penjualan yaitu partei atau penjualan secara tidak langsung, dan papalele, penjualan langsung. Sistem partei biasanya dilakukan dengan menyerahkan seluruh komoditi kepada penadah. Sedangkan papalele, pelayar akan menjajakan barangnya keliling kampung sampai barangnya habis.

Tangguh Bedagang

Susanto Zuhdi dalam bukunya Sejarah Buton yang Terlupakan (2018:196), mencatat pada tahun 1766, saat itu Kesultanan Buton dan Kumpeni sepakat untuk ekstirpasi (pembakaran dan penghancuran cengkeh dan pala secara besar-besaran) kawasan Buton. Namun saat itu Kumpeni mengeluh tentang masih banyaknya pedagang gelap yang masih menyimpan rempah-rempah itu.

Para pedagang gelap itu, menurut Zuhdi, susah ditangani oleh Kumpeni karena berada di wilayah-wilayah kepulauan. Banyak ternyata dari para pembangkang itu berasal dari Kepulauan Tukang Besi. Kumpeni mencurigai orang-orang di kepulauan itu masih menyembunyikan Pala, lada dan lain sebagainya.

Ketangguhan bedagang itu juga terlihat sampai sekarang. Para pelayar menyusuri segala macam kawasan. Kalau berkunjung ke Papua, kita akan mendapat banyak cerita-cerita usaha dagang mereka. Bagaimana orang-orang itu masuk ke rawa-rawa atau menerjang badai di laut-laut lepas.

Setelah ekosistem pelayaran mulai menghilang di Tomia, berdagang masih menjadi modal utama kehidupan mereka. Hampir seluruh mantan pelayar pada tahun 2000-an, kini beralih menjadi pedagang toko, mereka mendirikan toko-toko papan di Papua dan beberapa daerah Maluku.

Itulah kenapa orang Tomia suka berdagang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here