Kebiasaan Menyirih Orang Tomia

Dahulu di ruang-ruang sosial kehidupan Orang Tomia, Hanga atau menyirih menjadi kebiasaan yang selalu tampak

Nenek-nenek atau Ina-ina di Tomia punya kebiasaan Hanga atau mengonsumsi racikan beberapa tumbuhan atau yang biasa secara umum dikenal dengan menyirih. Hanga dilakukan nyaris setiap hari, di kala waktu senggang, atau di saat pesta-pesta adat kampung.

Di hari-hari biasa, Ina-ina akan Hanga sehabis setelah atau sebelum makan. Di acara-acara besar, ina-ina akan Hanga beramai-ramai sembari bercerita dan bersenda gurau dengan para tamu. Dahulu kadang-kadang diselingi dengan kidung kabhanti.

Kebiasaan Hanga atau menyirih ini sebenarnya hampir terjadi di seluruh bagian dunia. Tercatat dilakukan oleh 600 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia kebiasaan ini terlacak dimulai dari abad ke-6 Masehi.

Dalam penelitian Amalisa Iptika dari Universitas Airangga Surabaya menjelaskan bahwa kebiasaan menyirih ini terus terwariskan karena timbul dari perilaku meniru. Ada anak-anak yang kemudian meniru kebiasaan orang tua mereka. Amalisa juga menjelaskan kalau menyirih bisa membuat hati senang para penggunanya. Selain tentu menyehatkan mulut dan gigi.

Hanga juga memiliki manfaat sosial di mana ia menjadi simbol keakraban. Dulu kalau ada tamu, selain air panas dan makanan lain, perkakas Hanga harus selalu tersedia di ruang tamu.

Untuk mengenal menyirih atau Hanga orang Tomia lebih jauh, berikut beberapa bahan Hanga:

1. Soilo
Soilo atau daun sirih merupakan bahan inti dari Hanga. Soilo yang dikonsumsi biasanya yang berwarna hijau tua. Diambil 10-20 helai kemudian di taruh di dalam cerek kecil. Pohon Soilo masih beberapa yang tumbuh liar di Tomia, ada beberapa juga yang sengaja ditanam, jadi biasanya tinggal diambil saja atau minta ijin ke yang punya. Tapi kalau dijual biasanya seribu rupiah per 15 lembar.

2. Eppu
Eppu atau kapur merupakan bahan Hanga selanjutnya. Di simpan di dalam Kalungku atau cawan kecil, biasanya bekas tempat mina-mina (pomed). Di apasar Usuku dijual dengan harga Rp 5 ribu per bungkus (satu gelas)

3. Tagambiri
Tagambiri atau gambir. Biasanya dijual berbentuk kotak-kotak dan bulat. Tiga kotak harganya Rp 5 ribu di pasar Usuku. Ada juga yang menjualnya per buah, seharga seribu rupiah

4. Fengka
Fengka atau pinang dalam Hanga bisa dipakai dan juga tidak. Tergantung selera ina-ina. Pinang yang dipakai pun biasa pinang kering.

5. Tabako
Tabako adalah tembakau. Biasanya dijual oleh orang dari Wali di Tomia. Harganya kisaran Rp 10 ribu per tiga siga (gulung). Ina-ina biasanya menyimpannya di dos kecil.

Perkakas

Untuk meracik bahan-bahan itu, Ina-ina memiliki perkakasnya tersendiri. Berikut perkakas yang digunakan.

1. Toba
Toba adalah kotak kayu berukuran 20×14×10 cm. Toba punya penutup yang didesain membentuk petak-petak. Ada tempat khusus untuk Kaluku, Fengka, dan Tagambiri, juga kadang Pisau.

Kotak kayu ini multifungsi. Di dalamnya bisa diisi apa saja. Di jaman dulu memang tempat menyimpan barang-barang berharga berukuran kecil seperti dompet, kalung atau mainan anak-anak.

2. Tutu’a
Tutu’a adalah alat penghalus. Terbuat dari batu sungai yang bulat, lonjong serta pipih. Tutu’a terdiri dari dua bagian, bagian utama adalah alas yang lebar (biasanya berdiameter 12 cm) dan kedua adalah bagian yang bertugas sebagai pemalu yang berbentuk kecil (ana tutu’a).

3. Pisau
Pisau digunakan untuk memilah pinang atau mengupas gambir atau memotong tangkai

4. Hekapera’a
Kapera adalah cairan merah yang diludahkan atau dikeluarkan setelah racikan dikonsumsi (di-hanga). Tempat Kapera ini disebut Hekapera’a, biasanya terbuat dari kaleng besar ember kecil. Tapi tempat ini kemungkin baru muncul setelah rumah-rumah warga Tomia berganti ke rumah beton. Karena takut mengotori lantai. Dulu Ina-ina membuang kaperanya langsung ke kolong rumah karena masih rumah gantung.

5. Kardus kecil
Kotak kardus kecil ini digunakan untuk menyimpan Tabako.

Proses meramu Hanga

1. Ina-ina akan mengambil sehelai Soilo
2. Di permukaan Soilo diolesi Eppu. Kemudian daun itu dilipat-lipat
3. Bagi ina-ina yang masih punya dan kuat giginya biasanya langsung dikunyah. Tapi bagi yang sudah ompong, memakai Tutu’a.
4. Soilo yang sudah diolesi Eppu akan ditumbuk sampai halus. Setelah itu ditaburi Tagambiri
5. Setelah racikan tercampur semua, ina-ina kemudian akan mulai mengunyahnya. 6. Fengka biasanya terakhir. Jadi setelah fengka dipotong kemudian dikunyah bersama racikan yang sudah duluan.
7. Seluruh hasil kunyahan itu menjadi kapera yang kemudian diludahkan ke tempat kapera.
8. Terakhir, Ina-ina akan menggulung segengganm Tabako, kemudian memamahnya. Bulatan bekas mamah itu kemudian dikenal dengan Mama.

Mulai Hilang

Kebiasaan Hanga mulai hilang di warga Tomia. Kebiasaan ini kini hanya ditemukan pada ina-ina yang usianya di atas 50 tahun. Hilangnya kebiasaan ini tentu dipengaruhi oleh kebuadayaan yang mulai bergeser.

Di daerah-daerah jajahan seperti di Jakarta dan secara umum Jawa diceritakan oleh para sejarahwan bahwa hilangnya kebiasaan menyirih karena dipengaruhi oleh penjajah dari Eropa. Orang Eropa, terutama perempuan, merasa terhina dengan Kapera yang dikeluarkan oleh perempuan-perempuan pribumi saat itu. Sehingga dilaranglah kebiasaan menyirih itu. Ini kemudian beriringan dengan tumbunnya industri rokok.

Jika boleh ditarik persamaannya, mental yang kemudian tumbuh di orang Tomia moderen hari ini hampir sama. Mereka mulai merasa jijik dan kotor melihat ina-ina yang Hanga. Sehingga pelan-pelan kebiasaan itu mulai dihilangkan. Lagian sudah ada pasta gigi dan rokok.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here