karakter remaja tomia

Mengenal Karakter Remaja Tomia Jaman Sekarang Lewat Menonton Pertunjukkan. Tanggal 28 Oktober 2020 kemarin anak-anak di seluruh Indonesia memperingati Sumpah Pemuda. Tak terkecuali di Pulau Tomia, Wakatobi.

Tepatnya di depan pasar Usuku, Kelurahan Tongano Barat, Tomia Timur, peringatan Sumpah pemuda digelar dengan menampilkan beberapa pertunjukkan. Mulai dari Tarian, pembacaan puisi hingga drama.

Pagelaran yang diusung oleh anak muda Karang Taruna Tongano Barat itu sekaligus meresmikan Pasar Seni dan Budaya (PASEBA) milik pemerintah. Anak-anak muda mendirikan panggung di halaman Paseba.

Kegiatan itu cukup ramai mengundang massa. Mama-mama, bapak-bapak, ina-ina dan tentunya anak-anak muda dari berbagai macam definisi. Saya berada di tengah kerumunan penonton remaja tanggung saat acara berlangsung. Kemungkinan besar anak-anak ini baru menginjak SMA dan SMP.

Saya membaur bersama mereka menonton pertunjukkan itu. Tari-tarian seluruhnya ditampilkan oleh perempuan. Sepertinya mereka juga adalah kawan sepantaran remaja-remaja tanggung di dekat saya ini. Di penampilan tarian, remaja-remaja ini tak banyak bicara, mereka hanya fokus menonton saja.

Lalu di pertunjukkan puisi, seorang anak muda laki-laki membacakan puisi. Salah seorang remaja tanggung dari sebelah kanan saya berteriak: Helafeho la! Tentunya dengan nada bercanda. Ketika itu, teriakan itu mungkin hanya sekedar kelakar remaja yang bosan. Tapi saya ingin menujukkan apa sebenarnya makna dibalik itu. Namun sebelum itu, saya ingin membawa Anda sampai akhir pertunjukkan.

Setelah laki-laki membaca puisi, giliran perempuan membaca puisi Karawang Bekasi-nya Chairil Anwar. Di bait ke “Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.” Seorang remaja melfalkannya bersamaan dengan suara perempuan yang membaca itu.

Setelah pembacaan puisi, pertunjukkan beralih ke drama. Saya lupa judul dramanya apa. Tapi sinopsisnya berat sekali, bicara Kapitalisme, Neoliberalisme dan isme-isme yang lain. Dan kebebasan rancu yang kita pahami.

Drama dibuka dengan dialog dua orang Papua. Yang berperan tentu pemuda Tomia, yang bisa berlogat Papua. Mereka kemungkinan besar pernah atau lama tinggal di Papua, karena orang tua mereka berdagang atau alasan lain, jadi aksen Papuanya fasih sekali.

Orang Papua punya bahasa Indonesia yang rapih, dan dua orang itu sangat baik mempraktikannya. Setiap kali dua orang itu menaikkan nada suara, para remaja tanggung berteriak-teriak kegirangan. Mereka seolah ikut semangat dan terlibat dalam percakapan.

Lalu adegan beralih ke dua orang remaja putri yang memerankan Orang Cina. Mereka bicara kebebasan sebagai etnis Tionghoa yang masih terluka akibat tragedi 1998. Saya pikir sutradaranya terlalu memaksa mempertontonkan ini. Entahlah, saya merasa Orang Tomia tak punya kedekatan sejarah dengan Orang Cina.

Setelah dua remaja itu, adegan berganti ke remaja yang digambarkan terhanyut media sosial. Ia bermain TikTok dan menelpon pacar dengan kata-kata yang selalu diimbuh dengan kata “Sayang”. Di bagian ini, remaja tanggung yang menonton di dekat saya, ramai sekali. Mereka aktif berteriak-teriak.

Saya mencatat kata-kata yang mereka teriakkan, di antaranya: “Sayang”, “Nona”, “Simontok”, “Sandiwara wa”, Bang Jago”,  “Adakah” atau teriakan berbau politis : “Kene mansa nu kombo makuri mia”. Semua kata-kata itu selanjutnya diserukan pada sebagian besar di adegan drama yang melibatkan remaja perempuan.

Sekarang mari membaca

Pertama, si remaja yang berteriak di pembacaan puisi, dia kemungkinan besar tidak suka pada puisi, dan kedua, dia tidak suka jika yang berada di panggung adalah laki-laki seperti dirinya.

Dugaan saya yang kedua yang sepertinya menemui pembenaran. Sebab setelah puisi dibacakan oleh perempuan, salah satu dari mereka ikut melafalkan. Mereka terhanyut pada puisi itu.

Soal ketertarikan mereka lebih suka menonton perempuan di panggung sebenarnya hal lumrah. Karena masa remaja memang diliputi rasa-rasa penasaran pada perempuan. Dan dalam catatan sejarah pertunjukkan, memang perempuan menjadi komoditi yang sangat menyita perhatian.

Tapi disinilah kekeliruan ternyata terjadi. Bahwa karakter remaja di Tomia tak pernah berubah. Para remaja ini terjebak dalam kultur yang sama dengan pendahulunya. Mereka sama sekali tak berbeda. Yang katanya generasi penuh informasi, karakter mereka ternyata biasa saja. Fenomena sosial yang sama terjadi lagi.

Artinya, ini jelas merujuk pada konsep pendidikan kita yang tak berkembang. Berjalan di tempat. Padahal para peneliti sudah banyak mengupas ini, tapi entah, jurnal-jurnal itu dibaca oleh guru dan para pemangku kepentingan atau tidak? Atau jangan-jangan analisa-analisa itu hanya sekedar analisa saja. Ia tidak pernah sampai menjadi praktik. Atau guru-guru kini tak mau peduli dan hanya menyalahkan orang tua? entahlah.

Tapi bagaimana dengan soal mereka tertarik pada dialog Papua tadi? Saya pikir itu karena kita punya relasi kultur yang kuat dengan bagian Timur macam Maluku dan Papua. Selebihnya, mereka masih remaja tanggung yang pas jaman saya juga saya rasakan yang begitu-begitu.

Mengenal Karakter Remaja Tomia Jaman Sekarang Lewat Menonton Pertunjukkan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here