Jokowi datang ke Wakatobi membagikan sertifikat tanah dan meresmikan beberapa fasilitas pariwisata guna mendukung KSPN. Tapi ada derita panjang rakyat Wakatobi dibalik itu.
Pada Kamis, 9 Juni 2022, Presiden Indonesia, Jokowi, menghadiri sekaligus membuka pertemuan puncak Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA Summit) 2022 di Wakatobi.
Momen ini mungkin bagi sebagian orang cukup baik karena di situ ditekankan kembali tentang pentingnya kedaulatan tanah bagi warga. Hal tersebut ditegaskan dalam beberapa pernyataan Jokowi saat sambutannya sekaligus membuka kegiatan, yang disiarkan dalam kanal Youtube Sekretariat Presiden.
Jokowi menekankan akan pentingnya sertifikat tanah kepada masyarakat yang selama ini telah menempati tanah tersebut. Tujuannya agar status kepemilikan dan penggunaan tanah menjadi jelas dan sekaligus agar memudahkan terjadinya investasi di Wakatobi.
Status kepemilikan juga bertujuan agar tidak terjadi lagi konflik tanah dimana Jokowi begitu menekankan agar jangan sampai konflik tersebut terjadi, karena bisa menimbulkan dampak sosial dan ekonomi.
“Orang bisa pedang-pedangan gara-gara sengketa lahan”, demikian sepenggal kalimat Jokowi di atas podium pembukaan GTRA Summit 2022, Kamis (9/6/2022).
Perampasan Tanah
Konflik tanah ini menarik untuk dicermati. Tampaknya Jokowi tidak tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu bahwa konflik tanah sedang terjadi di Wakatobi atas nama investasi dan pariwisata.
Di salah satu tempat di Wakatobi tepatnya di Pulau Tomia, terjadi perampasan tanah milik warga yang kemudian digunakan oleh PT WDR (Wakatobi Dive Resort) – perusahaan asal Swiss – untuk membangun bandara perusahaannya (Bandara Maranggo).
Beberapa bulan yang lalu, saya melakukan wawancara dengan salah satu pemilik tanah yang sampai saat ini masih berjuang untuk memperoleh hak atas tanahnya. Beliau mengatakan bahwa tanah itu diambil secara paksa (terkait ini dapat juga ditemukan di beberapa hasil riset yang telah dipublikasikan).
Ada rekayasa dokumen sehingga tiba-tiba tanah itu ganti kepemilikan menjadi milik negara (saat itu adalah Pemda Buton), yang semula adalah milik masyarakat. Padahal menurutnya, para pemilik tanah disampaikan bahwa tanah mereka akan disewa beserta tanaman yang ada di dalamnya.
Namun, hal yang terjadi adalah tanah mereka justru ganti kepemilikan. Jumlah masyarakat pemilik tanah yang telah rampas tersebut adalah lebih dari 100 (seratus) orang.
Mereka rata-rata tinggal di Kelurahan Patipelong Kecamatan Tomia Timur dan Desa Teemoane Kecamatan Tomia. Dua kecamatan tersebut adalah lokasi Bandara Maranggo milik perusahaan asing tersebut berada.
Seperti telah disinggung di atas, sejarah perampasan tanah ini dimulai ketika Wakatobi masih bagian dari Kabupaten Buton. Setelah Wakatobi mekar dari kabupaten Buton menjadi Kabupaten Wakatobi pada akhir 2003, tanah itu masih berstatus milik Kabupaten Buton.
Kemudian, pada tahun 2021 terjadi penyerahan aset dari Kabupaten Buton ke Kabupaten Wakatobi. Dengan kata lain, sekarang Pemda Wakatobi telah resmi memiliki aset tanah bandara itu.
Sayangnya, sertifikat tanahnya tetap bukan atas nama masyarakat melainkan atas nama Pemda Wakatobi. Lagi-lagi masyarakat tetap tidak bisa memiliki tanahnya.
Artinya, jika suatu saat nanti PT WDR akan melanjutkan keberadaan bandaranya maka transaksi pinjam meminjam tanah tidak akan dilakukan dengan masyarakat, melainkan dengan Pemda Wakatobi.
Hal inilah yang juga terjadi saat PT WDR masuk pertama kali untuk membangun bandara: masyarakat tidak dianggap sebagai pemilik tanah yang sah. Padahal jauh sebelum Indonesia merdeka, tanah itu telah dimiliki oleh orangtua atau kakek dan nenek mereka.
Fakta-fakta inilah yang luput dari Jokowi. Lagi-lagi, apakah Jokowi tidak tahu atau memang pura-pura tidak tahu. Jika Jokowi ingin serius menuntaskan persoalan agraria (tanah), maka hal-hal seperti ini harus menjadi perhatiannya.
Harusnya Jokowi ketika hadir dalam GTRA Summit 2022 di Wakatobi, persoalan perampasan tanah ini sudah selesai. Dalam hal ini masyarakat yang dirampas tanahnya sudah memperoleh hak-haknya kembali.
Pariwisata Berkelanjutan
Tahun 2015, Wakatobi dimasukan dalam KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) atau dikenal juga dengan “10 Bali Baru”. Dengan status ini, Wakatobi menjadi prioritas pemerintah pusat dalam pengembangan pariwisata.
Selang setahun kemudian yakni tahun 2016, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengeluarkan Peraturan Menteri Pariwisata No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.
Peraturan ini akan menjadi pedoman bagi seluruh destinasi wisata di Indonesia agar pengelolaannya mengikuti prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan. Prinsip tersebut mengikuti norma internasional yang secara resmi didefinisikan oleh organisasi pariwisata dunia PBB (UNWTO).
Definisi tersebut ditegaskan dalam peraturan tersebut di atas yang secara garis besarnya adalah bagaimana pariwisata bisa menyeimbangkan tiga pilar yakni lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Artinya ketiganya harus seiring dan sejalan. Tidak boleh ada satu yang dipenuhi kemudian yang lain ditinggalkan.
Dari sini dapat dilihat bahwa hak atas tanah merupakan pilar sosial budaya yang harus dipenuhi oleh pemerintah sebagai penyelenggara pariwisata berkelanjutan. Tujuan pariwisata berkelanjutan tidak akan tercapai jika hak masyarakat atas tanah ini dicampakan.
Dengan kata lain, perampasan atas tanah masyarakat merupakan hal yang bertolak belakang dengan konsep pariwisata berkelanjutan. Lebih tegasnya lagi, perampasan tanah masyarakat tersebut melanggar Peraturan Menteri Pariwisata No. 14 Tahun 2016 di atas.
Hal lain yang harus diantisipasi adalah kehadiran Badan Otorita Pariwisata (BOP) yang merupakan konsekuensi dari masuknya Wakatobi dalam 10 Bali Baru. BOP membutuhkan wilayah untuk kawasan khusus pengembangan pariwisata terutama di bidang ekonomi dan investasi.
Melihat ini, masyarakat harus antisipasi karena jangan sampai tanah-tanah mereka yang dimanfaatkan ke depannya, terutama tanah-tanah adat. Perlu transparansi konsep pengelolaan dan penggunaan tanah tersebut. Sejauh mana hak-hak masyarakat dan hak atas tanahnya harus dilindungi.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah sejauh mana pemilik tanah dan masyarakat lokal terlibat dalam pembangunan pariwisata agar tidak didominasi oleh kepentingan para pemodal besar (kapitalis).
Inilah yang harus dipahami oleh banyak pihak. Pariwisata tidak hanya pada perburuan keuntungan dalam pengelolaannya. Akan tetapi aspek kelestarian lingkungan dan pemenuhan hak-hak sosial budaya yang salah satunya adalah tanah harus benar-benar dipenuhi.