Informasi Wakatobi masih dekoratif
informasi wakatobi masih dekoratif dan mirip benda mati

Informasi tentang Wakatobi masih terlalu dekoratif dan penuh metafor soal alam, hingga ia mirip benda mati

Lekasura menggelar webinar Galampa#1 pada Sabtu (7/8). Webinar ini merupakan seri perdana Galampa#1 sebagai wadah dan ruang diskusi bagi orang-orang kampung.

Galampa#1 ini bertajuk “Ketika Jurnalisme Tradisi Menceritakan Wakatobi”. Hal ini berangkat dari salah satu persoalan yang kini dihadapi Wakatobi saat ini, yakni lemahnya tradisi pengarsipan kebudayaan orang kampung.

Mengutip caption poster yang disebar, dikatakan kalau di Wakatobi, hanya akan ditemukan narasi-narasi pengarsipan yang lebih condong berbahasa metafor-metafor pariwisata alam dan elite, sementara tradisi warga kampung selalu tersisihkan.

Webinar ini menghadirkan dua orang pemateri, yaitu Saleh Hanan dan Febriansyah. Dua orang ini merupakan para penggiat literasi di daerah Wakatobi.

Dalam diskusi yang diadakan pada Sabtu malam (07/08/21), Pembicara I, Saleh Hanan memulai diskusinya dengan menyinggung badan promosi atau pihak yang bertanggung jawab dalam memperkenalkan Wakatobi, yang masih memiliki kekurangan dalam pengungkapan terhadap hal-hal yang detil.

Promosi Wakatobi masih minim memberi interpretasi, minimnya pengungkapan terhadap detail. Informasi tentang kita Wakatobi masih terlalu kaya dengan hal-hal yang sifatnya dekoratif,” jelas Saleh

Menurutnya potret pariwisata kita dari dulu hingga sekarang hanya berorientasi pada dua hal yaitu pariwisata dekoratif dan pariwisata yang mahal.

“Jadi, yang mewakili wajah pariwisata kita adalah potret orang yang berdandan, berpakaian yang begitu mewah serta mahal. Perwakilan dari pariwisata kita yang kedua adalah bawah laut yang digambarkan dengan begitu mewah juga, orang harus memiliki tabung untuk menyelam dan sejumlah uang untuk bisa samapai ke titik itu,” terangnya

Dari alasan tersebut, Saleh Hanan menggagas ide memperkenalkan Wakatobi melalui cerita sederhana yakni menceritakan kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Kemudian lahir tagar #ceritakanwakatobi dengan visi yang sangat sederhana yaitu menceritakan kebaikan. Kebaikan yang dimaksud ialah hal yang benar, fakta dan bukan dekoratif, yang benar-benar terjadi di masyarakat saat ini,” jelasnya

Di sesi selanjutnya, pemateri II, Febriansyah, menyetujui apa yang dipaparkan Saleh Hanan. Menurutnya, citra Wakatobi di media masih didominasi oleh hal-hal yang dekoratif saja.

“Tapi saya kemudian melihat dampak lainnya, (yaitu) Wakatobi menjadi “benda mati”. Dia (Wakatobi) terbaca atau terepresentasi sebagai Wakatobi yang hanya beridentitas alam saja dan kayaknya dia tidak punya aktivitas manusia di sana,” terangnya ketika memaparkan materinya.

Oleh karena itu, kata Febriansyah, dibutuhkan sebuah media yang bisa menangani masalah tersebut, yang bisa memasukan sisi antropologis di dalam konten atau isi informasi.

“Lekasura lahir untuk itu,”katanya

Pria yang biasa disapa Ebi ini menjelaskan bahwa fungsi Lekasura nantinya akan menjadi arsip tradisi orang kampung di Wakatobi. Selain itu, media tersebut bisa menjadi apresiasi karya para pembuat karya di Lekasura, dan akan menjadi media advokasi.

“Saya kira karena Lekasura ini lahir dari kepedulian akan kampung, maka kami (Lekasura) tidak menutup kemungkinan menjadi ruang mengeluh dan ruang berjuang untuk kepentingan kampung yang tentunya berbasis pada warga,” katanya

Saat ini Lekasura masih fokus dengan tiga projek utamanya yaitu Ema-ema, Galampa, dan Bunga Rampai. Untuk yang terakhir, merupakan projek ketiga dari Lekasura yang tujuannya ialah mengarsip setiap tulisan maupun karya yang lainnya.

“Jadi, suatu saat nanti setiap tulisan yang ada di Lekasura akan coba kami terbitkan menjadi Bunga Rampai atau buku arsip tradisi,” pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here