liang tambanga
liang tambanga

Artikel ini menjabarkan Liang Tambanga, sebuah gua kecil di tepi laut Pulau Tomia

Liang Tambanga adalah gua yang memiliki peran penting dalam peradaban masyarakat Tomia, khususnya untuk warga Usuku pesisir yang bermukim di lingkungan Kelurahan Tongano Timur.

Gua yang bertepi dengan laut itu telah membantu masyarakat di sekitarnya berkembang, bertahan menyusuri jaman dari waktu ke waktu.

Liang Tambanga telah menjadi bagian dari sejarah peradaban maysarakat bahari di Wakatobi.

Sumur dan Pusat Aktivitas Warga

Sumur di dalam Liang Tambanga. Foto: Firman/Lekasura.com

Berada di kawasan pantai bertebing, Liang Tambanga merupakan gua laut yang kemungkinan besar terbentuk akibat erosi gelombang.

Gua kecil yang terselip di dasar tebing tersebut melengkung membentuk ceruk vertikal di permukaan pantai.

Seperti gua laut lainnya, Liang Tambanga juga menyimpan stalaktit dan stalakmit serta relung-relung tempat air tawar muncul dan mengalir ke laut.

Aliran air itu berhulu pada satu sumber mata air yang tersimpan di bawah gua yang kemudian oleh warga sekitar digali dan dibangunkan sumur.

Sumur inilah yang menjadi daya tarik Liang Tambanga. Banyak masyarakat kemudian berdatangan ke sana untuk mengambil air. Mereka tidak lagi bergantung pada persediaan air hujan jika terjadi kekeringan musim kemarau.

Sumur yang digali para pelaut puluhan tahun lalu itu menjadikan Liang Tambanga sebagai pusat aktivitas masyarakat.

Di sanalah orang-orang berlalu lalang. Hilir mudik mengambil air untuk minum, memasak, mencuci pakaian dan mandi. Dari yang paling muda sampai yang tua datang ke Liang Tambaga, ramai, riuh.

Saya masih ingat ketika kecil pada medio tahun 2000an pernah mandi di sana. Saat itu banyak sekali mama-mama, anak-anak sepantaran saya berlarian di tangga menuju Liang Tambanga lengkap dengan perkakas mandi atau penampung air mereka.

Pemandangan itu masih melekat di kepala saya. Mama-mama menyunggi (turumba) ember berisi air atau pakaian. Anak-anak menggotong baskom. Laki-laki dewasa menggandar dua buah jerigen besar.

Namun keramaian itu terjadi jauh sebelum ingatan saya itu. Tetangga saya pernah cerita, jika Liang Tambanga dahulu sekali sangat ramai, sampai-sampai mereka musti antri.

Tetangga saya yang sudah menikah dan punya dua orang anak ini bilang kalau antrian itu konon sampai mengular memenuhi tangga yang menuju gua itu. Mereka melakukannya setiap pagi sebelum ke sekolah.

Kawasan Aktivitas Melaut

Selain itu, Liang Tambanga adalah ruang masyarakat Tongano Timur, untuk berkegiatan di laut. Jadi, yang menarik dari gua ini adalah selain sebagai tempat mandi yang mana hari ini kerap dianggap sebagai ranah privasi, kawasan Liang Tambanga juga menjadi pusat aktivitas para nelayan dan pelayar-pedagang (palangke).

Di sana orang berlalu lalang, bongkar muat barang, menjajakan ikan, hingga memancing.

Di ruang dan di relung gua kerap digunakan sebagai tempat menyimpan perkakas, bahan atau material, dan alat-alat yang berkaitan dengan kegiatan melaut.

Lalu di halamannya, yang berfungsi sebagai dermaga kecil, kerap dijadikan pasar ikan dadakan. Di sana terjadi transaksi jual beli.

Namun, dalam proses transaksi itu kita tahu bahwa ia tidak hanya bicara pertukaran uang dan keuntungan, melainkan bicara tentang pertukaran pengetahuan banyak hal tentang laut.
Misalnya nama-nama ikan, kultur podafu-dafu kenta, teknik memotong ikan, cara memancing, informasi tengang ombak, dan lain sebagainya.

Tampak depan Liang Tambanga yang dijadikan tempat menyimpan jaring nelayan dan perkakas perahu. Foto: Firman/Lekasura.com

Saya pernah satu kali mendapati seorang nelayan pulang membawa Ikan melayare atau ikan Indonsiar atau ikan terbang. Ukurannya besar sekali. Dan, saya dan kawan-kawan membicarakannya seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat mitos di dunia nyata. Kami senang melihat dan mengetahui ikan itu.

Kawasan Parkir Perahu

Di seberang dermaga kecil Liang Tambanga merupakan tempat terparkir, terhamparnya puluhan perahu. Perahu-perahu itu berbagai macam bentuk dan ukuran.

Ada yang kecil dan berbentuk lesung macam koli-koli, ada bodi dan jonson yang berbentuk seperti koli-koli namun berukuran agak besar dan sudah dikembangkan dengan dilengkapi ruang tempat mesin (beberapa ada yang bercadik).

Lalu ada perahu jenis lepa-lepa yang berbentuk agak besar dan gemuk, lalu ada lete-lete perahu nelayan asal Madura yang berbentuk macam bodi tetapi memiliki haluan yang melengkung, lalu ada Fangka perahu beukuran besar yang kerap dipakai untuk berlayar dan berdagang ke pulau-pulau seberang dan, terkahir ada speadboat, perahu moderen yang tak lagi terbuat dari kayu melainkan fiberglass.

Para juragan dan nakhoda perahu-perahu itu saban hari tak pernah alpa menyambangi kapal-kapal mereka. Ada yang datang untuk menggunakannya melaut saat itu, ada juga yang menyambangi untuk memperbaikinya.

Terkait memperbaiki perahu, kita akan melihat bapak-bapak sedang mengeringkan sampannya dengan api dari daun kelapa kering. Jadi daun kering yang terbakar itu akan disorong mengikuti panjang lunas bagian bawah koli-koli hingga permukaannya dihinggapi abu hitam

Tidak jauh dari sana, akan ada pemandangan bapak-bapak sedang mengecat dinding jonsonnya agar lumut tak merambat sampai ke atas perahu.

Dari Fangka, yang berjarak agak jauh dari dermaga (karena mencari tempat berlabuh di permukaan laut yang agak dalam), kita akan mendengar bunyi palu saling bertalu talu di beting perairan. Bapak-bapak para kelasi perahu itu sedang kumba atau menambal permukaan lambung perahu mereka.

Perahu yang sedang direparasi di depan Liang Tambanga. Foto: Firman/Lekasura.com

Namun, selain yang berkativitas bekerja, ada juga yang datang ke perahu hanya untuk bercengkrama dengan sesama nelayan atau bercengkrama dengan perahu dan laut. Merenung.

Pemandangan di kawasan Liang Tambanga adalah pemandangan masyarakat bahari yang kau boleh menyebutnya asri, bagus atau indah.

Setiap pagi hingga malam, riuh suara orang-orang berkativitas di kawasan itu seolah api yang tak pernah padam.

Tetapi, bukan berarti kawasan itu tak pernah diliputi duka. Tidak. Suatu kali Liang Tambanga dipenuhi banyak orang, bukan hanya warga di sana, melainkan juga polisi dan petugas kecamatan.

Sebab mereka berkumpul di sana adalah menjemput mayat nelayan yang sudah empat hari hilang. Nelayan itu ditemukan terdampar di sebuah pantai dan kini dibawa oleh Polisi Jagawana ke Liang Tambanga.

Keluarga nelayan itu histeris, tatkala perahu yang membawa mayat itu menepi di dermaga. Nelayan yang berencana memeriksa bubunya itu kini terbungkus kantong orens tim SAR dan konon tubuhnya telah menggelembung pasi.

Hari-hari itu Liang Tambanga muram. Cerita-cerita seram membubuhi kematian nelayan itu. Konon dia ditarik oleh seekor Imbu ke kedalaman laut yang jauh hingga nafasnya tercekat oleh air laut. Imbu ialah mahluk gaib yang mirip gurita dan suka sekali membunuh. Ketika kau adalah anak kecil, maka cerita-cerita macam itu sungguh menyeramkan.

Anak-anak di Liang Tambanga suka ditakut-takuti dengan hal-hal itu. Kadang kalau mereka sudah tak bisa diatur maka akan diceritakan sebuah kisah yang seram.

Tetapi anak-anak selalu kepala batu. Karenanya baru setelah dapat getahnya mereka akan diam di rumah.

Liang Tambanga jadi tempat mendapatkan getah dan tempat banyak anak-anak menangis. Ada yang kepeleset di batu dermaga, ada yang tertusuk paku dan pecahan gelas kaca serta tertusuk binatang binatang laut, ada juga yang menangis karena dipukuli mamanya yang dari tadi teriak-teriak memperingatkan ia agar tak berenang, namun si anak tetap kepala batu.

Anak-anak sednag bermain di halaman Liang Tambanga. Foto: Firman/Lekasura.com

Jejak Sejarah Lisan

Sejarah Liang Tambanga hanya disimpan lewat cerita-cerita lisan dan itu sepertinya perlahan mulai dilupakan. Ada berbagai macam versi kisah.

Konon, Liang itu bernama Tambanga karena diambil dari sebuah benda macam gerabah. Ada juga yang menyebut gua itu ditemukan oleh sekelompok orang yang mengendarai perahu bernama Tambanga.

Saya pernah menyelidiki perahu bernama Tambanga ini dan ketemu satu referensi. Sebuah buku sejarah yang melacak bentuk perahu Madura.

Dalam buku tersebut disebutkan tentang perahu Tambangan yang berarti perahu penyeberangan. Entah Tambanga kemudian berasal dari nama perahu itu atau tidak, yang jelas dalam memahami cerita lisan kita akan banyak dihantui berbagai perspektif.

Ada juga cerita yang menyebut nama Liang Tambanga berasal dari nama sebuah guci yang tersimpan di dalam gua. Guci itu konon telah tersimpan lama.

Guci Liang Tambanga. Foto: Firman/Lekasura.com

Hal yang sama terjadi pada cerita yang menyebut Liang Tambanga punya andil dalam penyebaran agama islam di pulau itu.

Konon gua itu adalah tempat berlindung Inci Sulaiman, orang pertama yang dipercaya membawa Islam ke Tomia.

Entalah, yang jelas cerita-cerita tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pesisir kawasan Liang Tambanga.

Terkait misalnya ia menjadi tempat berlindung maka fakta itu tak bisa ditepis begitu saja, sebab melihat bentuk maupun kontur dari gua yang memang mirip sebagai sebuah rumah yang memiliki ruang tempat berlindung.

Begitulah hikayat singkat tentang Liang Tambanga. Sebuah gua yang sejatinya menyimpan banyak informasi tentang pritilan-pritilan, perkara remeh temeh, hal-hal kecil nan detail akan budaya-budaya maritim yang hari ini kau bangg-banggakan setiap kali foto di pantai dan upload di instagram itu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here