Hekente Mulai Jarang dapat Hasil : Studi Ungkap Kaitannya dengan Krisis Iklim
Tampak hasil hekente. Sumber: Facebook/DhesiOnad

Aktivitas Hekente mulai tak diminati warga karena jarang dapat hasil. Studi ungkap ada hubungannya dengan krisis iklim. 

Hekente, sederhananya, adalah aktivitas masyarakat pulau (pesisir) dalam mencari atau berburu hasil laut untuk dikonsumsi. Bagi masyarakat Pulau Tomia, setidaknya ada berbagai macam definisi, konsep, maupun turunan dari praktik hekente ini. Hal ini tentu disebabkan oleh relasi orang pulau dengan laut yang sudah terjalin lama yang saat ini oleh beberapa pakar diabstraksikan sebagai budaya bahari atau yang lebih politis sekarang budaya maritim.

Karena jika mengulas tentang hekente akan membutuhkan banyak pendadaran, maka, saya coba mempersempit pembahasan dalam ulasan ini ke dua kegiatan hekente yang biasa dan dekat dengan masyarakat Tomia secara umum, yakni hekente saat air laut surut dan hesurabi. Dua jenis hekente ini setidaknya juga tak memiliki persinggungan dengan perkara-perkara sosial seperti bias gender dan usia. Hekente saat air surut (selanjutnya akan kita sebut Hekente saja) dan Hesurabi adalah ruang bagi setiap warga untuk beraktivitas di laut. Semua orang dari segi kelas, jenis kelamin, gender, usia bisa bebas melakukan dua aktivtas itu.

Hekente dilakukan warga dengan berjalan kaki menyusuri perairan pantai. Istilah perairan pantai ini merujuk pada area laut yang menghubungkan bibir pantai dan laut dalam. Di area laut inilah ketika air surut warga akan hekente dengan cara memungut bermacam biota laut. Paling umum, bulu babi, kerang kima, siput laut, teripang, dan ikan yang hidup di lamun. Untuk kegiatan hesurabi hampir sama, hanya saja aktivitas ini dilakukan pada malam hari. Biota laut yang diperoleh biasanya gurita kecil (koropunda), ikan, siput, dan kepiting merah. Dua aktivitas hekente ini dilakukan oleh warga hanya dengan berbekal ember dan pisau/parang, khusus hesurabi biasanya bawa lampu petromak (sekarang pakai lampu cas) dan kadang ada yang bawa tombak (sarampa).

Sayangnya, di lima tahun belakangan, aktivitas hekente mulai jarang terlihat. Masih ada beberapa, cuma tidak semasif dahulu. Saya memang bukan orang yang kerap hekente, tetapi saya tinggal di dekat laut, di pesisir. Rumah saya di Pobantaa, Kelurahan Tongano Timur, Kecamatan Tomia Timur, berada di atas tebing dan berhadapan langsung dengan perairan. Jadi, pemandangan aktivitas orang-orang di pesisir maupun di laut akan terpampang jelas. Melalui pengamatan inilah saya berargumen bahwa hekente perlahan ditinggalkan, dan lebih tragis tak lagi menjadi ritual warga.

potret warga sedang hekente. Sumber Facebook/Ucy Urman

Gejala Krisis Iklim

Satu kalimat yang kerap terdengar dari rajukkan mama-mama tetangga saya ketika mereka (tak sengaja) membahas persoalan aktivitas hekente tersebut: “memammo na ako te i ala (tak ada lagi yang bisa diambil). Pernyataan tersebut mengacu pada kondisi ketiadaan atau sudah berkurangnya hasil laut yang akan dipungut atau diperoleh ketika melakukan hekente. Dengan kata lain, binatang laut yang akan menjadi hidangan atau konsumsi mereka sudah tak lagi bertebaran di lepas perairan pantai.

Kalimat tersebut tak jarang diikutkan dengan kalimat-kalimat seperti “Na i halo iyai naruo-ruo na toafa (berbeda dengan waktu dulu banyak yang hasil laut yang diperoleh” atau kalimat sejenisnya.

Pernyataan mama-mama itu bukan sekadar romantisasi masa lalu, melainkan menerangkan hal substansial dalam ulasan ini, yakni terjadinya perbedaan atau perubahan kondisi laut dari masa ke masa yang dalam konteks ini kian buruk.

Sekarang kita tahu bahwa yang membuat aktivitas hekente berkurang adalah situasi laut yang mulai bermasalah karena mulai tidak dijadikan sebagai rumah bagi beragam macam biota laut. Imbasnya warga Tomia tak lagi turun hekente dan mulai jarang makan kafoi-foi.

Lalu mengapa laut bisa berubah? Ada banyak penyebabnya bila diurai. Namun, penyebab-penyebab itu bisa kita kategorikan ke dalam apa yang disebut para pakar sebagai krisis iklim yang sekarang kian parah.

Seperti diketahui bahwa krisis iklim merupakan situasi yang memperlihatkan tanda-tanda bahwa alam mulai rusak. Beberapa penyebabnya seperti pemanasan global yang mendorong suhu laut kian tinggi.

Perubahan laut di pesisir pulau Tomia merupakan salah satu dari gejala krisis iklim ini. Hal ini dibuktikan dalam studi Esti Munawaroh dkk yang memperlihatkan bahwa ada kecenderungan suhu air laut Wakatobi terus naik.

Kenaikan suhu air laut merupakan variabel dari krisis iklim. Diterangkan lebih lanjut dalam studi tersebut bahwa gejala naiknya suhu laut tersebut mengancam ekosistem berbagai jenis hayati di laut Wakatobi. Esti dkk kemudian mengingatkan bahwa dengan kondisi demikian laut Wakatobi sebagai kawasan Cagar Biosfer sangat rentan mengalami kerusakan

Imbas

Aktivitas hekente merupakan anasir kebudayaan bahari masyarakat Tomia, Wakatobi secara umum. Ketika praktik kebudayaan tersebut mulai jarang dilakukan maka berimbas pada karakter kebaharian yang konon telah lama menjadi ciri khas orang Wakatobi.

Ketika iseng-iseng melakukan penelusuran di Facebook (media sosial yang sejauh ini banyak orang Tomia aktif) saya hanya menemukan 30an postingan soal hekente dengan kata kunci “Hekente”. Hesurabi lebih mendingan mencapai 80an postingan.

Kendati demikian jika dibandingkan dengan postingan di tempat makan dan tempat wisata seperti puncak dan pantai, postingan mengenai hekente dan hesurabi jelas kalah jauh.

Apa yang bisa dibaca dari fakta tersebut adalah bukti bahwa perlahan tradisi melaut orang Tomia mulai hilang akibat perubahan iklim yang didukung dengan gaya hidup ‘mewah’ warganya.

Lebih dekat, gaya hidup ini akan membawa kita pada persoalan-persoalan konsumtif yang secara langsung (sporadis) menyokong kerusakan alam laut yang makin sukar untuk diatasi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here