Hamba ialah pranata sosial-budaya yang selalu ada di setiap jaman. Ia muncul sebagai simbol interaksi dari masa ke masa dan mungkin sampai ke masa depan

Kalau ada pertanyaan yang berbunyi : apa yang -masih dan akan- mempersatukan kebersamaan komunitas orang Tomia? Jawabannya hanya ada satu: Hamba

Hamba dalam bahasa Tomia berarti membantu. Ada istilah Poasa-asa, Pohamba-hamba yang merepresentasikan gotong-royong. Kalau kita bedah, arti falsafah itu menjadi Poasa-asa yang bermakna bersama-sama dan Pohamba-hamba yang berarti bantu-membantu. 

Hamba berarti bantu. Pada ina-ina yang sudah berumur, kata ‘Hamba‘ masih digunakan sesuai maksudnya. Kalau jaman sekarang, orang-orang lebih sering pakai kata’Bantu’.

Hamba dalam praktik dan perkembangannya di tengah interaksi sosial menjadi simbol pengerat masyarakat Tomia yang sangat solid

Hamba sebagai Hadiah

Hamba adalah suatu tindakan atau aktivitas di mana kamu membantu dan memberi sesuatu pada orang (bisa jadi bukan saudaramu), secara cuma-cuma, sering pada acara-acara tertentu seperti pernikahan atau peringatan hari kematian. Di Jawa, tindakan macam ini dikenal sebagai ‘Nyumbang’.

Nyumbang diklasisfikasikan dalam dua kegiatan besar, yakni Nyumbang pada kegiatan suka dan Nyumbang pada peristiwa duka. Kedua kalsifikasi ini merupakan ritual-ritual akan siklus kehidupan manusia yang terus berulang seperti kematian, perkawinan, kelahiran dan lainnya.

Sepadan dengan Hamba, aktivitasnya juga tidak hanya berkisar di lingkup klasifikasi suka (pernikahan) saja, tapi juga di kematian.

Dalam kajian-kajian antropologi dan sejarah, Hamba atau Nyumbang sebenarnya adalah tindakan pemberian hadiah, di mana ia merupakan pranata sosial penting dalam menciptakan interaksi sosial. Pemberian hadiah memiliki pengaruh yang sangat kuat. Colin Camerer (1988), seorang ekonomis asal Amerika menggambarkan tindakan itu sebagai social symbol yang memiliki sifat resiprokal (timbal balik).

Kata Camerer, pemberian hadiah seringkali merupakan hal yang tidak efisien yang juga tidak bernilai banyak kepada penerima, namun ia merupakan sinyal di mana itu membantu menandakan niat si penerima dan niat si pemberi secara bersamaan.

Kau mungkin datang memberi Hamba dengan uang Rp 20 ribu yang sebenarnya secara jumlah itu kecil sekali, tapi apa yang sudah kau lakukan sebenarnya adalah setidaknya menujukkan niatmu untuk datang, jauh-jauh dari rumah, panas-panasan dan merelakan senyummu dinikmati banyak orang di hari pernikahan mantanmu itu. 

Sekecil apapun jumlah Hamba yang kamu beri itu tidak terlalu signifikan pada yang memiliki hajatan. Artinya intensitas dan frekuensi Hamba selalu bekerja sepanjang waktu. Apa yang mempertahankan Hamba mejadi kekuatan sosial? Mari kita bicara fungsinya kemudian .

Fungsi Hamba :

Fungsi Ekonomi

Di jaman dahulu barang-barang Hamba berasal dari hasil pertanian atau barang sisa dagangan perahu seperti ubi kayu, jagung, beras, terigu, gula dan lain sebagainya. Namun setelah terjadi perubahan dan perkembangan jaman, barang-barang itu dimonetasi. Kini, Hamba, terutama di Usuku banyak berbentuk uang.

Jika bicara soal uang, ia tentu tak lepas dari nilai ekonomis. Inilah yang disebut oleh Branislaw Malinowski tentang fungsi laten dari Kula. Dalam analisanya tentang Kula, institusi tukar menukar hadiah suku Trobriand, Papua Nugini, Malinowsky menjelaskan bahwa fungsi ekonomi tukar menukar ini tidak disadari oleh suku setempat dan itulah menariknya. Para pemikir fungsionalis selalu menyukai konsekuensi-konsekuensi tidak disengaja seperti itu.

Sama dengan apa yang terjadi pada Hamba, tindakan menyumbang itu sudah berada di taraf orang-orang diharuskan untuk melakukan Hamba setiap kali ada hajatan. Artinya, kita sudah tidak lagi bertanya-tanya mengapa saya harus memberikan uang kepada orang itu? Kesengajaan kita telah dikontrol oleh rangkaian Hamba yang tercipta sejak lama.

Fungsi Politik

Sejauh ini ada dua makna Hamba yang bisa kita tarik, membantu secara fisik sekaligus memberi uang, dan hanya uang saja. Untuk yang pertama, biasanya dialami oleh orang-orang dewasa yang sedang berada di Tomia. Mereka mau tidak mau harus terlibat secara fisik, membantu memasak, beres-beres segala keperluan hajatan. Sementara untuk yang kedua, biasanya terjadi pada orang-orang yang sedang merantau dan tak sempat hadir, dan merupakan saudara atau keluarga yang punya hajatan.

Perbedaan kedua jenis orang di atas sebenarnya tidak terlalu signifikan karena mereka sama-sama menanam modal.  Dari  tataran maknanya, yakni membantu atau bantu, kita jelas tahu bahwa ada sesuatu yang dipertaruhkan di dalam Hamba. Membantu seseorang berarti berinvestasi baik pada kehidupan orang lain. Dan investasi adalah modal, bahkan keuntungan.

Modal-modal ini tersebar ke rumah-rumah, menyebar sampai ke wilayah-wilayah rantau. Ia seperti bibit-bibit yang ditebar, orang-orang tinggal menunggu waktu berbunga atau berbuah, kemudian dipanen dan ditanam lagi. Dari sifat inilah kenapa kemudian Hamba sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang terlibat dalam kontestasi politik.

Mereka dari jauh-jauh hari, kadang dua atau satu tahun sebelum hari kampanye, sudah mulai menampakkan diri. Mereka ingin menunjukkan prestise mereka. Ketika kamu mengeluarkan uang dengan jumlah yang besar untuk Hamba maka kamu akan memiliki nilai yang cukup untuk hidup dalam lingkungan sosial

Aktor Sosial Hamba

Siapa aktor sosial yang paling berperan dalam Hamba? Perempuan. Kau bisa lihat di seluruh hajatan apa pun di Pulau Tomia, perempuan selalu mengambil porsi paling besar. Mereka ada di setiap sudut. Kalau boleh saya simpulkan lebih awal, terlepas dari konstruksi patriarkal, mereka lah yang memegang kartu As Hamba ini. Mereka lah subjek penggerak, pemicu yang menyalakan sekaligus mengikat keseimbangan jaringan sosial di Pulau Tomia.

Kenapa perempuan?

Jawaban pertanyaan ini sebenarnya erat hubungannya dengan pertanyaan muasal konsep resiprocal atau resiprositas itu bermula. Dalam kajian Sosiobiologis, Dawkins memaparkan bahwa pemberian hadiah itu bisa terlacak dari gen egois binatang manusia . Gen yang merancang cara cerdik untuk bertahan hidup atau mempropaganda agar mendominasi banyak orang.

Bayangkan di jaman sebelum kita menjadi Sapiens, mungkin masih manusia setengah Bonoboo. Pada waktu seorang  jantan hendak mengawini seorang betina, ia tak akan langsung berhubungan di waktu itu juga. Selalu ada proses di mana betina meminta sesuatu atau diberi sesuatu oleh si jantan sebagai syarat: memberi makan atau membangun sarang. Betina memiliki kuasa tawar-menawar yang besar di balik proses itu.Dari sanalah semua bermula.

Perempuan bertindak di berbagai seluruh hajatan. Dari Isilamu’a (Sunatan), Matea (Kematian), Kafi’a (Pernikahan), Rajabu’a (Tradisi Menyambut Bulan Rajab) dan lain sebagainya perempuanlah yang masuk ke dalam rumah atau yang langsung menemui pengantin.

Hamba sampai ke masa depan

Di kota-kota urban seperti Surabaya, orang-orang masih mempraktikan Nyumbang. Dalam beberapa acara pernikahan orang-orang masih melakukan Nyumbang, meskipun mereka hanya memberi uang saja dan tidak terlibat dalam membantu tenaga fisik. Di kota, industri Ketring dan Wedding Organize (WO) sudah tumbuh, jadi tak butuh lagi tetangga atau warga kampung yang membantu.

Di Tomia, sampai sekarang budaya saling bantu membantu masih terjadi. Orang-orang yang melakukan hajatan, masih dibantu tetangga dan saudara untuk mempersiapkan segala keperluan. Jadi Hamba di Tomia masih melibatkan tenaga fisik dan uang.

Namun apa yang terjadi sekarang mungkin di masa depan akan berbeda. Melihat perubahan terus terjadi, beberapa budaya beradaptasi, tekonologi mendominasi dan generasi berubah kian hari, maka tidak menutup kemungkinan Hamba tidak lagi serupa sekarang. Ia mungkin akan berubah seperti Nyumbang, tidak lagi melibatkan gotongroyong komunal, melibatkan tenaga fisik. Ia bisa saja hanya berupa uang.

Dan sebenarnya perubahan itu keniscayaan. Ia mulai tampak sekarang, banyaknya sepeda motor, smartphone menjadi bahan pokok anak-anak muda dan industri pariwisata yang menjual segalanya, maksud saya segala hal yang dulu benar-benar milik kehidupan kita dan kini jadi komoditas.

Maka apa yang saya katakan di awal-awal benar adanya, bahwa Hamba masih dan akan menjadi perekat sosial kita, namun kadar sosial-budayanya jelas akan berkurang.

Referensi

Camerer, C. (1988). Gifts as Economic Signals and Social Symbols. American Journal of Sociology, Vol 94, The University of Chicago Press, 180-214.

dkk, P. J. (2016). Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Lestari, S. (2012). Potret Resiprositas dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa di Tengah Monetisasi Desa. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 25, no.4, 271 – 281 .

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here