Gambusu Kepulauan Pandai Besi terpilih sebagai dawai dari Sulawesi Tenggara dalam program Rantai Bunyi yang merupakan bagian dari Pekan Kebudayaan Nasional 2023. Ini adalah salah satu upaya melihat kekayaan budaya nusantara melalui bunyi
Komunitas Katutura yang berbasis di Kepulauan Pandai Besi mendapat kesempatan untuk menjadi kolaborator dalam program Rantai Bunyi Pekan Kebudayaan Nasional 2023 yang berlangsung dari 20 hingga 29 Oktober 2023. Program ini mengusung materi bunyi dawai dengan atau tanpa nyanyian. Rantai Bunyi melibatkan lima wilayah residensi yang menjadi titik pertukaran budaya musikal; Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Papua dan Kalimantan Barat.
Kata “Rantai” yang digunakan dalam frasa “Rantai Bunyi” tidak seperti makna yang kita pahami pada umumnya. Nya Ina Raseuki, musisi Indonesia yang menjai kurator Rantai Bunyi mengatakan bahwa ‘Rantai’ disini tidak bersifat mengikat/mengekang, melainkan sebagai perumpamaan pertautan yang terjalin antara ragam bunyi/derau tanpa menyangkal ciri khas dari masing-masing bunyi.
Sederhananya, rantai bunyi berupaya menautkan, memberi ruang yang bebas, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru antara sesama musisi muda untuk bertukar, saling silang, serta merefleksikan bunyi nusantara. Bebunyian itu pada suatu titik akan menjadi harmoni yang padu dan memukau.
Program Rantai Bunyi mengusung panggung yang Menghadap Kedalam. Menghadap kedalam di sini juga bermakna secara literal dan metafor. Ini dimaksudkan untuk membuka kemungkinan saling menatap, memahami, juga mempelajari bunyi diri sendiri serta wilayah selingkung sekaligus memahami bebunyian Indonesia. Olehnya, para musisi yang datang dari beragam daerah bisa memberi langgam yang kuat pada karya musiknya.
Gambusu Kepulauan Pandai Besi dengan langgam banti-banti menjadi titik tolak bunyi dawai Sulawesi Tenggara dalam program Rantai Bunyi 2023. Pasalnya, musik gambusu telah hidup dan berakulturasi dengan masyarakat Kepulauan Pandai Besi (kini masyhur dengan sebutan Wakatobi) sejak puluhan tahun silam. Meskipun belakangan, karena pemusiknya yang sebagian besar telah sepuh, gambusu perlahan tenggelam.
Gambusu Kepulauan Pandai Besi dimainkan para seniman dari lima daerah subkultur yang ada di Sulawesi Tenggara; Wakatobi, Buton, Bau-bau, Buton Tengah dan Buton Selatan. Untuk membangun langgam bunyi yang berkarakter dan inklusif, komposisi para seniman tersebut didasarkan pada teritorialnya. Hal ini merupakan modal dasar penciptaan karya musikal.
Berikut adalah nama-nama seniman dan daerahnya masing-masing:
Edi Ferdiansyah dari Pulau Tomia Kabupaten Wakatobi, La Ode Muhammad Mardan dan La Ode Yusril Mahendra dari Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi, sementara itu La Ode Abdul Ghaniyu Siadi, La Ode Gustiano Virno Bolu, La Ode Rezky Adrian, La Ode Rusdin, La Ode Muslimun Syafrizal Ana, Theo Harriwijaya, Reny Petrissia Hassiddiqie dan Windu Brilian Valantino dari Kota Bau-bau, kemudian La Ode Muhammad Julkarnain dari Kecamatan Batuga Kabupaten Buton Selatan, La Rapi dari Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, Safrin dari Kecamatan Pasar Wajo Kabupaten Buton, dan Sarfin dari Kecamatan Mawasangka Tengah Kabupaten Buton Tengah.
Sebagai sebuah model penelusuran musik Dawai Nusantara, Rantai Bunyi bekerja meliputi tiga hal, yakni: sejarah bunyi dari kebudayaan di masa lalu, pertukaran pengetahuan musik terkini, kemungkinan eksplorasi yang dipertukarkan dan dikembangkan di masa depan.
Program Rantai Bunyi melibatkan tiga empu atau seniman senior. Mereka datang dari tiga wilayah subkultur di Sulawesi tenggara. Empu merupakan orang yang posisinya sebagai guru. Maka para musisi belajar tentang Gambusu Kepulauan Pandai Besi dari mereka sekaligus meminjam spiritnya.
Pak La Asiru merupakan empu gambusu yang datang dari Kepulauan Pandai Besi (Wakatobi), tepatnya dari Pulau Tomia. Sedangkan Bapak La Mali dari Gonda Baru, Kota Baubau, dan Ibu Marlia dari Muna. Ketiga empu membagikan pengetahuan gambusu yang dipraktikan dalam kesehariannya sesuai konteks sosiokultural daerah asalnya masing-masing.
Rantai Bunyi juga melibatkan dua peneliti/fasilitator yang terlibat dalam proses residensi. Keduanya datang dari daerah yang berbeda untuk memperkaya sudut pandang. Eka Putri Puisi dari Komunitass Katutura yang berbasis di Wakatobi dan Reno Izhar dari Bangka Belitong.
Dalam prosesnya, program Rantai Bunyi mencakup kegiatan residensi, yakni Rawat, Panen, Bagi. Proses Rawat yang digagas dalam Rantai Bunyi 2023 ialah siasat merawat apa yang tersedia pada lumbung, dalam hal ini Gambusu Kepulauan Pandai Besi. Melalui proses residensi yang berlangsung 14-20 Agustus 2023, berisi lokakarya dan kreasi, para musisi melakukan upaya-upaya maupun kompromi, sehingga menciptakan sebuah musik baru.
Hasil eksplorasi ini kemudian menghasilkan karya hybrida yang diterjemahkan sebagai pencampuran antara musik tradisi dan kekinian. Berupa tiga repertoar; Gambusu Luha-luha, Gambusuno Hodea, Gambusu Hamota.
Ketiga lagu ini lalu melewati proses Panen pada hari keenam residensi. Dimana ‘panen’ dalam istilah Rantai Bunyi adalah proses perekaman audio musikal yang dilakukan bersama tim Rekam Bergerak (Yogyakarta, Jawa Tengah)
Sedangkan bagian Bagi dalam Rantai Bunyi 2023 merupakan proses membagikan apa yang telah dirawat, lantas dipanen, kepada khalayak ramai. Ini adalah waktu penutup program Residensi Rantai Bunyi Sulawesi Tenggara. Proses Bagi juga dilakukan lebih luas pada perayaan Pekan Kebudayaan Nasional 25 Oktober 2023 di Jakarta, serta membagikan rekaman hasil proses residensi berupa lagu dan tulisan.
Sedikit banyak program ini telah memantik resonansi denyut musik gambusu di Sulawesi Tenggara secara umum dan khususnya di Kepulauan Pandai Besi. Berbagai kegiatan serupa, yakni upaya-upaya mengawinkan musik tradisi dan terkini mulai bermunculan.
Meskipun secara pribadi, sebagai peneliti yang berasal dari wilayah yang menjadi subjek penelitian, penulis merasa masih banyak yang perlu dibenahi jika program-program serupa ingin dilakukan. Apalagi jika mengingat bahwa program ini menargetkan capaian penciptaan musik yang berlandaskan riset.
Waktu residensi dan kesempatan bagi para musisi untuk belajar dari empu yang terbatas (hanya sepekan) perlu dievaluasi lebih lanjut. Demikian pula kehadiran empu di lokasi residensi bisa diganti dengan kunjungan peserta residensi ke tempat empu. Untuk memperdalam dan memperkaya riset musik berdasarkan warisan dan konteks budaya masing-masing yang akan dipertukarkan pengetahuannya akan lebih maksimal jika peserta residensi mengalami secara langsung.
Kedepan semoga Gambusu Kepuauan Pandai Besi yang menjadi model dalam program Rantai Bunyi ini bisa memberi dampak positif dalam proses regenerasi dan pelestarian budaya di Wakatobi maupun Sulawesi tenggara dan umumnya di nusantara.