Artikel ini berisi tentang uraian bagaimana euforia sepak bola di kampung-kampung pesisir di Pulau Tomia dan bagaimana futsal dan media sosial memodernisasi praktik-praktik olahraga bola kaki itu

Di momen peringatan kemerdekaan bulan Agustus seperti sekarang, ada satu kegiatan yang selalu dinanti oleh masyarakat Pulau Tomia, terutama yang suka pada olahraga, kompetisi sepak bola liga kecamatan.

Saya dan Anda semua mungkin adalah penikmat laga-laga klub sepak bola Eropa atau pemuja pemain ajaib macam Messi dan Ronaldo.

Saya dan Anda mungkin telah terpapar dengan banyak gengsi, euforia, dan emosi laga sepak bola berkelas yang dipertontonkan di televisi.

Tetapi, dari sekian sesaknya gairah-gairah sepak bola itu, entah mengapa tarkam atau liga kecamatan di kampung selalu punya ruang tersendiri dalam kotak kesenangan kita.

Entah siapa yang membawa dan memperkenalkan olahraga itu ke kampung antah berantah seperti Pulau Tomia, tetapi yang jelas adalah sepak bola juga memiliki sihirnya dalam kehidupan masyarakat pesisir pulau itu.

Wajah Sepak Bola di Kampung Pesisir

Warga Pulau Tomia sedang menyaksikan pertandingan Liga Kecamatan Tomia Timur. Foto: Fadli/Lekasura.com

Pada medio tahun 2000an di Pulau Tomia, liga sepak bola kecamatan menjadi ritual bulan agustus yang mengundang atensi sekaligus antusiasme seantero warga.

Warga kampung dari berbagai pelosok pulau datang demi menonton tim desa mereka bertanding. Sepak bola telah memangkas jarak dan waktu.

Orang-orang Tomia bagian timur berjalan kaki belasan kilometer ke barat, orang-orang dari bukit di utara jauh turun menapaki tebing-tebing, dan orang-orang di seberang pulau, warga desa Lamanggau, menyeberang dengan perahu. Satu tujuan mereka, menuju arena laga, lapangan Onemai yang kala itu menjadi pusat dari kegiatan agustusan kecamatan.

Lapangan Onemai memanjang di tepi laut. Di sisi-sisinya ditumbuhi kelapa dan pasir-pasir yang menyebar putih. Saban hari tempat itu menjadi pelabuhan perahu nelayan. Tetapi, kalau sudah liga dimulai, perahu-perahu itu dionggok saja di sana, juragannya sedang sibuk menonton atau berjudi bola.

Namun, perahu kadang menjadi penyelamat bola-bola yang beterbangan di tendang oleh para pemain dari lapangan. Hingga bola kaki itu tak jadi terlarung jauh karena masuk ke lambung perahu.

Pertandingan di jaman itu, bola selalu di udara. Umpan lambung dan lari cepat menjadi taktik utama yang dipakai setiap tim.

Dari sekian banyak tim kelurahan dan desa yang bertanding, tim kelurahan Onemai dan sekitar adalah tuan rumah yang tak tergoyahkan. Satu-satunya penantang mereka adalah tim Desa Lamanggau.

Orang Onemai boleh saja dipenuhi anak muda dengan talenta atlit yang terlatih, tetapi mereka selalu merasa kesulitan berhadapan dengan tim Lamanggau.

Satu alasannya, sebab orang-orang Lamanggau berdarah Orang Laut, mewarisi kesaktian leluhur Bajau yang datang dari lautan lepas. Konon, paru-paru mereka lebih besar dari manusia daratan. Mereka akan tahan berlari bahkan lapangan ditambah dua.

Bukan hanya nafas, kecepatan berlari, tenaga dan daya tubuh mereka keras macam batu karang. Di semenanjung Pulau Tomia, orang Lamanggau adalah olahragawan yang dilahirkan oleh alam raya.

Tahun 2005, Kecamatan di pulau Tomia dibagi. Muncullah Kecamatan Tomia Timur. Orang-orang dari timur Pulau Tomia tidak lagi mesti berjalan jauh pergi ke barat. Di tahun itu mereka sudah memiliki kecamatan dan panitia kompetisi sendiri.

Maka, semua warga di wilayah administrasi berinisiasi membentuk tim-tim sepak bola mereka.

Tim-tim ini terlahir dalam ambisi dan semangat baru ingin juara. Setelah lama terkungkung dalam dominasi orang Onemai dan Orang Lamanggau, tim-tim dari wilayah Tomia bagian Timur menyusun ambisi baru mereka, orang-orang yang kebanyakan para pelayar itu memulai pertaruhan siapa yang paling jago dalam sepak bola di negeri timur.

Namun, harus diakui bahwa regenerasi dan jumlah penduduk menjadi faktor penting dalam membentuk kedalaman dan kekuatan skuad.

Regulasi tentang para pemain klub harus berasal atau beralamat di kampung tersebut membuat tim-tim kelurahan menjadi klub yang kaya skuad.

Dua tim kelurahan yang cukup mencuri perhatian adalah Tongano Timur dan Tongano Barat. Permainan kedua klub
selalu menghadirkan gegap gempita, setidaknya buat masyarakat setempat yang memang menjadi pusat kegiatan dari kecamatan Tomia Timur. Apalagi ketika mereka bertemu dalam satu laga.

Pertandingan duo tongano acap disebut sebagai derby penuh gengsi. Ada masanya di mana pertarungan dua tim serumpun Usuku itu memunculkan tensi tinggi dan disuguhkan dengan berbagai macam gimmick: kibaran bendera dengan logo-logo yang berukir perahu dan ikan, benturan para pemain, adu argumen suporter, hingga perayaan-perayaan gol provokatif.

Saya selalu membayangkan momen itu dipotret oleh seorang videografer dan filmmaker yang menautkan teknik-teknik video slow motion, seperti yang kerap kita saksikan di televisi.

Namun, perkembangan sepak bola kampung juga selalu tak kalah dinamis. Di tim-tim liga kecamatan Tomia Timur perubahan terus terjadi. Belakangan, kekuatan-kekuatan baru bermunculan dari pasukan kelurahan lain dan desa-desa pinggiran di seantero kecamatan.

Sebut saja misalnya tim Kelurahan Bahari dan Tim SMA 2 yang datang dengan konsep sepak bola modernnya. Lalu ada tim Desa Kahianga yang dipenuhi dengan para pemain muda bertalenta.

Kita juga tak bisa menampik daya tawar yang ditunjukkan tim Kelurahan Patipelong yang jumlah penduduknya kian banyak dan tim Desa Kulati yang berjuluk Timbarado yang sudah lama menjadi penantang dominasi duo tongano.

Lalu ada tim-tim desa yang mulai merombak para pemainnya seperti tim Desa Timu, Desa Dete dan Desa Wawotimu.

Di era sekarang, apalagi selepas Pandemi Covid-19, semua tim seperti melakukan restart. Setelah kompetisi vakum selama dua tahun, tim-tim sepak bola kampung ini mulai hadir kembali dengan peta kekuatan yang tak bisa ditebak.

Praktik Sosial Budaya Sepak Bola Pesisir

Seperti halnya sepak bola pada umumnya, liga kecamatan tidak hanya soal ambisi dan gengsi memenangkan pertandingan, ia juga banyak memuat praktik sosial budaya unik di level masyarakat pesisir.

Kita banyak menyaksikan bagaimana anak-anak muda terkumpul untuk berkegiatan gotong royong membersihkan lapangan, iuran beli bola, bikin gawang bambu, dan terutama berolahraga.

Zen RS, penulis buku Simulakra Sepakbola pernah mengatakan dalam sebuah diskusi bahwa liga sepak bola kampung berimplikasi pada kesehatan atau perilaku sehat kelompok masyarakat setempat.

“Anak-anak muda yang akan bertanding, pada malam hari sebelum laga, mereka akan berhenti mabuk-mabukan terlebih dahulu, karena alasan ingin fit dalam bertanding,” jelas Zen RS.

Selain itu kita tahu, kompetisi macam liga kecamatan juga telah membantu memicu perekonomian kampung, apalagi bagi warga sekitar yang tinggal di dekat venue. Para pedagang akan diuntungkan dengan banyaknya orang yang datang menonton.

Warga Pulau Tomia menonton pertandingan dan berjualan jajan serta makanan ringan lainnya. Foto: Fadli/Lekasura.com

Euforia liga kecamatan Tomia Timur juga diisi dengan pemandangan bentuk-bentuk pengadopsian ritual sepak bola yang khas. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana para pemain diberi bekal doa-doa.

Banyak tim di wilayah Tomia Timur kemudian memakai ritual-ritual pelayaran untuk memberi kekuatan magis pada pasukan.

Saya pernah menyaksikan bagaimana tim kelurahan tongano timur ketika hendak ke lapangan pertandingan diantar dengan bacaan doa. Selain itu, para pemain sebelumnya diminta meminum air yang sudah ditiupkan mantra.

Hal lainnya yang tak kalah unik adalah para pemain diminta menjepit satu suwir bawang putih di kaki mereka. Pemandangan para tetua yang berdoa di muka atau di tiang gawang juga adalah tontonan lumrah dan menjadi bagian dari gegap gempita kompetisi.

Entitas penting yang juga perlu dilihat adalah kehadiran mama-mama dan anak-anak. Mereka tidak peduli seberapa jauh desa mereka dengan arena pertandingan, mereka akan tetap datang berteriak-teriak, mendukung tim kesayangan mereka.

Kendati kekalahan acap menjadi nasib sial yang menghampiri, tetapi keterlibatan untuk berteriak di pinggir lapangan, bertepuk tangan atau sekadar mengelu-elukan abang atau sepupu sebagai bintang lapangan favorit mereka menjadi kemewahan dalam membaca antusiasme sepak bola kampung.

Futsal dan Modernisasi Sepak Bola Kampung

Futsal adalah jenis sepak bola yang beberapa tahun ini tenar di Pulau Tomia. Futsal berbeda dengan sepak bola liga kecamatan yang kerap dipertandingkan pada bulan Agustus. Perbedaan paling mencolok adalah ukuran lapangan yang kecil dan jenis atau permukaan lapangan yang mesti rata supaya bole tersalurkan dengan baik, biasanya lapangan futsal terbuat dari rumput sintetis atau plat. Selain itu jumlah pemain yang bermain, yakni hanya melibatkan lima orang.

Kendati di beberapa bagian sangat berbeda, namun futsal tetap dianggap oleh masyarakat Tomia sebagai sepak bola yang punya kadar antusiasme yang sama. Hingga olahraga ini trennya terus meningkat di Pulau Tomia. Anak-anak muda hingga orang tua menyukainya.

Agen yang paling bertanggung jawab menyebarkan konsep sepak bola futsal adalah anak muda kampung yang menjadi mahasiswa di kota. Di kota, futsal menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Lapangannya dibangun di dalam gedung dan untuk bermain bola kita mesti menyewanya.

Ketika anak-anak muda rantau ini pulang kampung, mereka kemudian mengaplikasikan ide bermain futsal tersebut. Pada mulanya mereka bermain futsal memakai lapangan voli yang terbuat dari semen atau mereka secara swadaya inisiatif membikin lapangan sendiri di tengah lapangan sepak bola besar.

Namun, perlahan kebiasaan itu tergantikan setelah gedung yang menaungi lapangan futsal dibangun di salah satu desa. Anak-anak muda di seluruh penjuru Tomia lalu menyewa lapangan itu untuk bermain bola.

Menariknya, banyak kompetisi futsal di Tomia tidak memakai gedung atau venue tersebut untuk menjadi arena tanding. Panitia malah banyak memakai lapangan yang mereka bikin sendiri di tengah-tengah lapangan besar.

Jadi, di sisi lain sebenarnya cukup unik melihat perkembangan futsal ini di Pulau Tomia.

Begitu juga ketika kita melihat bagaimana klub yang bermain di kompetisi futsal terbentuk. Ada beragam klub yang bermunculan dan tim-tim ini tidak memakai konsep kelurahan atau desa, melainkan memakai konsep-konsep yang lebih beragam.

Ada yang memakai nama komunitas, label sebuah gagasan, nama singkatan pemiliknya dan berbagai macamnya. Namun, di tongkrongan klub-klub itu tetap mesti disebut dengan nama desa dan kelurahan asalnya.

Lalu dalam segi taktik. Banyak konsep dan praktik futsal yang mesti bermain cepat dari kaki ke kaki kemudian diadopsi dalam sepak bola besar oleh tim kelurahan dan desa. Sehingga sebenarnya kalau menyaksikan liga sepak bola kecamatan sekarang itu tidak lagi mengandalkan kecepatan lari atau umpan lambung.

Jadi, ada semacam irisan yang bisa ditelisik di antara kedua jenis permainan sepak bola tersebut ketika dipraktekkan di lapangan.

Karena kuatnya pengaruh dari kesenangan bermain futsal ini beberapa desa kemudian terpicu untuk memakai dana desa mereka membangun gedung lapangan futsal. Menarik menantikan realisasi dari terbangunnya lapangan-lapangan ini. Dan, menunggu bagaimana persaingan satu dengan yang lainnya.

Televisi dan Media Sosial

Agen lainnya yang harus diperhitungkan dalam penyebaran semangat sepak bola modern dan futsal adalah media komunikasi seperti televisi dan media sosial.

Di pertengahan tahun 2000an televisi adalah perangkat yang telah berhasil mentransformasi budaya sepak bola Pulau Tomia ke level yang jauh berbeda. Dengan adanya siaran sepak bola masyarakat jadi mengerti tentang istilah-istilah ilmiah sepak bola, lalu membandingkannya dengan apa yang mereka alami di liga kecamatan.

Kerapkali memang perbandingan itu berkonotasi negatif yang berujung pada narasi hitam putih tentang sepak bola kampung terlalu atau masih banyak kekurangannya.

Kendati demikian dalam negosiasi-negosiasi tersebut konten sepak bola yang dimuat di televisi ini tetap dipahami oleh masyarakat sebagai anasir yang berjarak dengan kampung, dan orang-orang memahami itu.

Di jaman kiwari, budaya layar kaca itu kian dekat dan intim. Konten tentang sepak bola tidak hanya milik orang televisi saja atau orang luar saja, melainkan juga milik kita.

Kebebasan yang diberikan oleh media sosial membuat produksi dan konsumsi konten sepak bola tak lagi terkotak-kotak. Wajah konten sepak bola tidak mesti lagi berkelas serupa liga eropa.

Karenanya konten-konten sepak bola kampung seperti yang ada dalam akun youtube Cirman Al Chi memberikan warna lain dalam euforia liga sepak bola kepulauan. Dan lebih jauh, konten tersebut mematenkan soal makna sepak bola itu sendiri bagi masyarakat kampung.


1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here