Permusikan Duniawi di Tomia

Era-era Permusikan Duniawi di Tomia : Belakangan, lagu berjudul Bunga yang sempat populer di tangan Thomas Arya melalui albumnya “Sahara” pada sekitar tahun 2006 kembali mendapat atensi. Adalah wajah koplo yang membawanya kembali ke permukaaan belantara musik. Koplo mengubah packaging dari lagu dengan genre slowrock Malaysia itu menjadi genre dangdut koplo yang digandrungi banyak orang. Sejauh ini sengakan “tarik sis” dan “semongko!” menjadi salah dua kansanga yang akan mengingatkanmu pada lagu itu.

Saya mengenal lagu-lagu Malaysia dari abang saya yang memang sangat menggandrungi jenis musik Jiran itu. Kala itu suatu masa ketika saya SD, fans garis keras lagu-lagu Malaysia ini bertebaran di desa saya, Lamanggau. Tua, muda, anak-anak, dewasa semua gandrung dengan lagu-lagu negeri Sitti Nurhalizah itu.

Jika kita mematoknya sebagai selera keseragaman bermusik, ini tentu tidak bisa jadi dasar. Karena pada saat itu, musik lebih banyak kami dengarkan dari radio tape di mana orang yang punya juga terbatas. Maka kesamaan dalam menikmati musik tak bisa terelakan. Kalo tidak mau seragam ya sama saja tidak akan mendengarkan musik. Juga bukan perkara tidak mau punya radio tape, tapi memang tidak bisa punya ketika itu.

Hal serupa berkembang sampai sekira saya masuk SMP. Ketika saya berkenalan dengan musik pop Indo. Di situlah saya mengenal band macam Radja, Ungu, Jamrud, Kangen Band, Dewa, dan masih banyak lagi lainnya.

Perubahan ini sebenarnya tidak serta merta membuat saya mengikuti tren pop Indo. Kegemaran saya masih melekat dengan pop Malaysia. Karena saya kala itu masih berhadapan dengan lingkungan di mana lagu-lagu Jiran masih membumi. Di satu sisi ada abang saya yang die hard Malaysia sedangkan teman-teman SMP saya adalah penggemar berat pop Indo.

Lalu setelah Pop Indo melambung, tak berselang lama mulai muncul lagu-lagu berbahasa daerah yang sarat akan lokalitas. Namun saya kala itu belum bisa settle in. Kali ini mulai ada semacam rasa gengsi, karena pada saat itu, pop Indo memuncaki tangga lagu musik di Tomia, terutama di kalangan anak muda. Bahkan kegemaran saya pada lagu Malaysia kemudian harus saya dengarkan sembunyi-sembunyi.

Namun lama kelamaan ternyata musik lokal yang tampil secara independen dan mandiri itu sangat solid. Sehingga sekarang justru die hard ada di tangan dangdut Wakatobi.

Walau mungkin tidak terlihat runut secara kasat mata, selera musik orang-orang tomia dapat kita bagi dalam beberapa periode (secara subyektifnya saya sebagai penulis).

Era-era Permusikan Duniawi di Tomia

Zaman Keemasan Pop Malaysia

Era ini saya alami ketika masih usia sekolah dasar sampai masuk sekolah menengah pertama, tahun 90-an hingga 2000-an awal. Saya tumbuh dan berkembang dalam alunan musik slowrock. Band-band asal negeri jiran banyak yang jadi inspirasi. Sebut saja Stings, Dynamic, Exist, dan masih banyak lainnya. Bahkan musikus cewek macam Siti Nurhaliza tidak ketinggalan masuk dalam playlist.

Era ini juga ditandai dengan masih maraknya radio tape sebagai pemutarnya. Orang-orang menjadi satu suara dalam bermusik. Satu orang yang punya tape akan meng-influence teman-teman bahkan orang-orang tua dan anak-anak di sekitarnya. Terlihat seperti selera musik orang-orang Korea Utara, tidak ada warna. Tapi disitu justru asyiknya. Jika ada teman sekelas mendapat hukuman untuk bernyanyi di depan kelas, teman yang lain akan sudah menebak kira-kira lagu band Malaysia mana dan judulnya apa yang akan dinyanyikan si terhukum.

Naik Daunnya Pop Indonesia

Tidak bisa dipungkiri bahwa setelah demam musik Malaysia, gerakan untuk “meng-Indonesia” menjadi tren. Walau musik Malaysia tetap masih ada yang mendengarkan (bahkan sampai saat ini), paling tidak hadirnya Pop Indonesia ke Pulau Tomia tahun 2000-an memberi warna baru dalam dunia permusikan anak-anak muda Tomia

Hal ini tentu saja ditunjang dengan kehadiran berbagai tayangan televisi yang hubungannya dengan acara musik. Pada era ketika saya masuk SMP ini ditandai dengan munculnya acara macam MTV Musik Ampuh dan acara musik lainnya yang belakangan justru dihujat karena tayangannya sudah tidak ada musiknya lagi.

Naik daunnya Pop Indonesia pada era itu juga ditunjang dengan banyaknya pilihan tontonan dan yang bisa didengarkan. Pemutar CD/DVD mulai bertebaran di pasar dan kemudian di mana-mana. Yang tentu saja mulai menggulung keberadaan radio tape. Selain itu banyaknya varian pilihan acara musik di televisi menjadikan Slowrock Malaysia mulai meredup.

Musik Wakatobi Mencari Panggung

Sebenarnya, di saat yang bersamaan dengan melambungnya musik Pop Indonesia, ada musik dangdut khas Wakatobi yang mencoba peruntungan. “Ara Ku Roda-Roda” dan “Gettu Sandali” menjadi dua dari sekian lagu primadona yang merajai tangga musik di Tomia, bahkan di Wakatobi.

Rasa musikalitas lokal ini seperti sengaja diperkenalkan sebagai bagian dari rasa bangga atas identitas kesukuan. Bahwa sebelumnya pernah ada lagu dari penyanyi La Kamaludi yang melegenda itu, namun namanya kala itu hilang karena orang-orang Tomia lebih melihatnya sebagai produk orang-orang Buton.

Tiga masa kejayaan masing-masing musik di Tomia ini seperti tidak lagi memiliki taste yang berubah setelah era 2010 ke atas. Pakemnya sudah jelas. Semua orang harus suka lagu Wakatobi tanpa terkecuali. Walau gayanya ya begitu-begitu saja. Kita tidak diberi pilihan musik genre lain. Sebut saja misalnya acoustic Wakatobi, jazz Wakatobi, rap Wakatobi atau bahkan reggae Wakatobi.

Namun untuk jenis musik pertama, dari teman-teman Kaledupa ternyata mulai memproduksinya. Lagu dengan lirik bahasa daerah dan musik mellow. Hari ini bahkan lagu-lagu itu semain kuat kehadirannya bersamaan dengan meluncurnya film-film independen macam Kajiama. Dan menariknya, pasarnya sangat beragam, ia tidak hanya menyentuh anak muda patah hati, tapi mama-mama yang lagi jaga paraaso juga.

Mari kita berdoa, semoga semakin zaman berkembang, artis dan penyanyi Tomia secara umum Wakatobi bisa membuat lebih banyak kreatifitas. Kali aja nanti ada musik iringan gambus khas Wakatobi tapi berwarna rap dengan lirik Bahasa Tomia? Kan keren?!

Era-era Permusikan Duniawi di Tomia

Editor: Ebi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here