Belasan tahun setelah penaklukan paling keji itu, ia kembali. Tak seorang pun yang menyangka ia masih hidup dan bisa menghirup udara bebas, ia bahkan tak dikenali lagi. Seorang perajurit utusan kerajaan bahkan harus mengucek matanya untuk memastikan yang dilihatnya itu bukan hantu, perajurit utusan itu lari terbirit-birit setelah mengetahui orang yang di hadapannya adalah orang yang paling dicari kerajaan.
Langit kala itu biru terang dengan ombak yang begitu tenang, angin yang bertiup sepoi-sepoi menerpa rambutnya yang panjang. Daeng Serang bersama beberapa pengawal pengiringnya tiba di perairan yang paling dikenangnya sepanjang hidup. Daeng Serang bergerak ke arah haluan kapal, mengambil teropong dan mengarahkannya ke daratan, ia mengenang sewaktu masih belia sering mencari kerang dan binatang laut lainnya disana.
Hari itu adalah hari yang menyenangkan sekaligus menegangkan baginya, bisa melihat kembali tanah kelahirannya adalah sebuah keberuntungan, namun itu juga berarti cepat atau lambat hari-hari penentuan akan segera ia jelang. Daeng Serang memalingkan wajah ke arah sahabatnya, tersenyum tipis, dan tak berapa lama ia masuk kembali ke ruang pertemuan yang berada di belakang ruang kemudi, ia mengeluarkan peta, menempatkan kotak di tiap sudutnya lalu mengamatinya secara saksama, “akhirnya kita kembali,” ujarnya. Kapten Van Spellen baru saja menuangkan arak ke cawan-cawan yang berada di depannya, sang kapten tertawa kecil mendengar perkataan koleganya itu, ia senang rekannya itu kelihatan begitu bersemangat, “mari bersulang,” katanya, yang disambut hangat oleh awak kapal yang lain, “selangkah lagi misi kita ini akan segera kita tuntaskan,” lanjut Sang Kapten.
Pelayaran mereka kali ini memang terbilang aman dan bersahabat, tak ada cuaca buruk sepanjang perjalanan, badai yang biasanya berkecamuk pada pelayaran bulan-bulan itu tak nampak, sepertinya alam semesta merestui ekspedisi mereka. “Kita tak bisa berlama-lama di perairan ini, kedatangan kita sudah pasti dilaporkan prajurit utusan tadi, dan kerajaan akan melakukan berbagai upaya agar expedisi ini gagal,” sergah, Daeng Serang.
“Kamu takut Daeng Serang?” tanya Kapten Van Spellen
“Selembar buluku pun tak berdiri tuan,” tegas Daeng Serang
Kapten Van Spellen mengangguk kecil mendengar penjelasan koleganya itu, sembari menikmati arak yang ada di gelasnya. Sepertinya ia tak mau terburu-buru, keberhasilan ekspedisi kali ini sangat ditentukan oleh kecermatan melihat kondisi.
Daeng serang agak kikuk dengan pakaian yang digunakannya, ia merasa tak nyaman dengan setelan eropa pemberian Kapten Van Spellen itu, beberapa kali ia terlihat kesulitan bergerak, termasuk posisi pedang panjang yang kini terselip di sebelah kanan pinggangnya.
Malam itu mereka tertidur di peraduan, pengaruh arak memaksa mata mereka terpejam, beberapa pengawal Daeng Serang bahkan tergeletak di geladak, namun beberapa orang masih terus berjaga hingga perahu mereka mencapai perairan yang terdekat. Ketika menghampiri tiba di bibir pantai, Daeng Serang mengganti pakaiannya yang dikenakannya, ia memotong rambut dan kumisnya, memasang topi caping menyamar sebagai saudagar asing yang menghendaki perdagangan.
***
Daeng Serang terpesona melihat keriuhan di pasar, atraksi-atraksi dari sejumlah rombongan gipsi yang membawa berbagai peralatan, juga tukang obat yang senantiasa membual. “Pasar betul-betul ramai dan perdagangan sepertinya sedang luar biasa,” kata Daeng Serang.
Tiba-tiba dari kejauhan, Billu pengawal setianya datang berlari, ia membawa gambar yang mirip dengannya, Billu menemukan gambar itu terpajang di sudut- sudut kota, disitu tertulis harga untuk kepalanya. Mendapat kabar tersebut, Daeng Serang hanya tersenyum, ia merasa wajar kerajaan bergerak cepat, ia berfikir mungkin prajurit yang ditemuinya di kapal telah melaporkan hal ikhwal kedatangannya kepada kerajaan. Daeng Serang memerintah kan bawahannya untuk berjalan lebih cepat dan tak menghiraukan hal yang lain.
“Harus segera mencari tempat bersembunyi yang aman,” kata Daeng Serang berbisik kepada para pengawalnya.
Mereka lalu bergerak ke selatan sambil mencari tempat yang cukup aman untuk menginap. Ia juga perlu memperoleh peta benteng yang lebih baru, karena tentu saja banyak perubahan pada benteng tersebut setelah ia tinggalkan belasan tahun.
Billu ditugasi mencari informasi sebanyak mungkin tentang benteng tersebut, Sementara Sappe pemuda yang juga mengiringinya ditugasi hal lain, seperti mengurus kuda, makanan, tempat tinggal serta hal yang lainnya. Tak berapa lama Sappe berhasil mendapat tempat beristirahat yang cukup aman, ia bergegas membereskan barang-barang, serta menyiapkan makanan untuk Daeng Serang, ia tahu betul kesukaan tuannya, kaki kuda yang dimasak sup, dengan bumbu garam dan lada ditambah jeruk nipis.
Pada saat makan malam, Billu membuka pembicaraan mengenai rencana penyerangan itu, “ Tuan, apakah tuan tak curiga dengan sikap Kapten itu?”
“Maksudmu Billu?” tanya Daeng Serang menghentikan makannya.
“Ini bukan hanya aksi balas dendam tuan, tapi menurutku ini sesuatu yang lebih besar, penaklukan kerajaan, bangsa kulit putih itu pasti ingin menguasai semua kerajaan, pada awalnya mungkin akan membiarkan kita membalas dendam, lalu selanjutnya ia akan mengambil alih seluruh kerajaan, tidakkah begitu tuan?”.
“Jaga bicaramu billu, aku mengenal Kapten Van Spellen, ia selalu menepati janjinya, lagi pula misi ini sangat penting baginya, jika ia gagal maka karirnya diujung tanduk, cepat atau lambat ia pasti dikembalikan ke ternate. Kau juga harus ingat bagaimana kerajaan memperlakukan kita, tepat di tempat kita saat ini, belasan tahun lalu, mereka memperbudak kita, menyiksa sampai tak terperi hanya karena nafsu kekuasaan, saya tak akan mundur setapak pun, mereka punya kulit sewarna dengan kita, tapi memperlakukan kita tak lebih dari binatang,”
“Tapi, tuan!?
“Ini saatnya kita menegakkan siri, kita telah mengarungi banyak negeri lain, menempuh berbagai macam bahaya, hanya untuk satu tujuan yakni kembali dan membuat perhitungan dengan harga yang pantas mereka bayar atas perlakuan mereka selama ini. Bacukiki, Binamu, Tanete dan Ajatappareng akan membantu kita, saya sudah mengutus Daeng lira, Leko dan Bura untuk menyebarkan pesan itu, tanggal dan jamnya sudah pasti, jadi, jangan lagi kau mendebat ku, ‘uallenagi tallang na toalia’ lebih baik saya tenggelam daripada kembali, itu prinsip kita.”
Mendengar jawapan tuannya, Billu diam tak membalas, ia melangkah keluar dan memandang ke kejauhan tanpa berbicara. Ia mengingat kembali sumpahnya untuk mengawal Daeng Serang, disatu sisi, ia khawatir dengan keselamatan tuannya, disisi yang lain, ia tak ingin tanah airnya jatuh ke tangan orang kulit putih. Ia membayangkan betapa mengerikan pertempuran yang akan terjadi.
Billu menarik nafas panjang mengisi rongga dadanya, merenungi apa yang ada di hadapannya; kesetiaan kepada tuannya, tanah air yang dicintainya, juga misi yang harus ia selesaikan. Entah mengapa Billu tak bisa tidur malam itu, ia mempunyai firasat yang kurang baik. Ia lalu menemui Sappe dan menceritakan apa yang ia rasakan, “saya hanya mengikuti perintah punggawa Daeng Serang dan saya percaya kepadanya,”kata Sappe.
***
Paginya Billu mendapati sang tuan sudah tak ada lagi, ia lalu membangun kan Sappe dan bergegas mencari Daeng Serang. Billu berlari seperti orang kebingungan dan dalam perjalanan ia mendengar istana dalam keadaan gempar. kata kabar yang tersebar raja terbunuh. Kabar itu menghentikan langkah Billu dan Sappe. “Apakah ini perbuatan Daeng Serang?” tanya Billu dalam hati. Mereka lalu meneruskan mencari Daeng Serang, sampai masuk ke dalam benteng musuh.
Benteng itu sunyi tak seperti yang diperkirakan, Billu dan Sappe hanya melihat beberapa perajurit penjaga, mereka lalu mencari celah untuk masuk lebih dalam ke kediaman raja. Sekitar beberapa depa didepannya, Billu melihat sosok yang dikenalinya, “itu Daeng Serang,” katanya kepada Sappe.
Mereka berlari ke arah sosok itu, namun naas sebelum sampai, sosok besar itu roboh dengan tubuh bersimbah darah. “Oh tuanku,,,”Billu bersimpuh.
[…] Baca Juga: Daeng Serang Menyerang […]