Cerita Cinta Muram dan Kapal Acita yang Karam
Sebuah Pertemuan Pria Bermata Benderang dan Gadis Lollipop
Barangkali kisah ini hanya akan menambah panjangnya deretan kisah-kisah cinta yang karam bersama kapal tenggelam. Ada Jack dan Rose dalam film Titanic. Ada pula Jaenuddin dan Hayati dalam kisah tenggelamnya kapal Van Der Wijck, dan masih banyak lagi.
Maka benarlah, kisah-kisah berulang. Tak ada yang benar-benar baru di bawah sinar matahari. Namun tetap saja, aku akan mengisahkan cerita ini pada kalian. Siapa aku? Anggap saja aku hantu yang sekonyong-konyong terjaga dari tidur panjang. Sebab ada satu misi terakhir yang harus diselesaikan sebelum benar-benar lebur bersama semesta, mengisahkan cerita muram ini pada kalian. Dan barangkali ini akan sedikit menjawab pertanyaan yang hilir mudik selepas kejadian naas 18 Oktober 2007 silam, ketika kapal Acita 03 karam, lalu banyak orang tak kunjung pulang setelahnya.
Tomia, 2006
Tentu saja aku bukan hantu kala itu. Aku manusia. Anak sulung dari dua bersaudara. Namaku Wa Mia. Mia berarti manusia dalam bahasa Buton. Nama itu diberikan oleh orang tuaku dengan harapan aku menjadi “manusia” kelak, sebutan bagi orang-orang yang punya peruntungan baik di masa depan. Ibu seorang ibu rumah tangga tulen yang jarang keluar rumah. Beliau pendiam sepertiku. Lebih tepatnya lagi, pemurung, dan aku yakin nama yang disematkan padaku di luar andilnya. Pastilah bapakku yang menyematkan nama itu padaku. Sebab, lelaki inilah yang kemudian banyak mencampuri urusanku di hari-hari berikutnya.
Bapak bekerja sebagai guru di SMA, dia laki-laki moderat yang menyerap banyak ilmu dari sistem pendidikan Orba di kota pinggiran Sulawesi. Perangainya, galak bukan main. Dia guruku yang doyan mengawasi gerak-gerik siswa, terutama aku. Dia tidak hanya meneropongku di sekolah tapi juga di rumah. Bapakku, pria berpendidikan yang suka pada martabat dan tidak ingin anak-anaknya tumbuh ‘salah’ gaul.
Bapak protektif pada anak-anak perempuannya. Pada hal yang lain, bapak cukup mudah berterima. Namun urusan anak perempuannya, bapak sukar kompromis. Inilah pula yang kemudian menjadi musabab mengapa aku dan adikku, Wa Uku, sulit punya banyak teman. Banyak orang sungkan berteman dengan seorang anak guru yang galak. Hanya satu dua orang yang berani ke rumah. Tapi untunglah, aku memang tak begitu suka terlibat dalam hubungan pertemanan dengan banyak orang. Itu sangat melelahkan. Bagiku, lebih baik punya beberapa teman tapi intim. Daripada punya banyak tapi tak saling peka.
Di usia remaja dengan tidak sedikit kemurungan inilah aku mengenalnya. Iya, pria itu. Pria yang membuat hatiku bergetar setiap kali menatapnya.
Kami bersekolah di sekolah menengah atas yang sama. Sekolah di ujung barat pulau Tomia, sebuah pulau kecil di Kabupaten Wakatobi. Di tempat itulah, kucecap manisnya cinta pertama yang masih kanak. Persis ketika aku baru saja naik ke kelas 2. Ah, cinta pertamaku.
Dia bukan tipikal yang romantis. Seingatku, dia tak pernah memberiku bunga, apalagi rayuan yang dipuisikan. Dia hanya seorang pria dengan sedikit kata yang saban hari tenggelam ditimbun perkakas motor di bengkel milik ayahnya. Keluarganya memang punya bengkel kecil. Dan dia kerap membantu ayahnya di sana. Entah mengapa kala itu aku dengan suka rela menjatuhkan hati kepadanya.
Mungkin karena dia selalu ada pada waktu-waktu yang tidak berpihak padaku. Selalu ada untuk memboncengku pulang setiap kali mobil penumpang yang mestinya kutumpangi sudah sesak. Selalu ada di belakang sekolah setiap kali aku memintanya datang menemaniku memandangi lanskap biru laut saat bosan mendengar ocehan guru di kelas. Selalu ada mendengar dan menenangkanku setiap berkeluh dan sesenggukan sebab rumitnya isi kepalaku, terutama jika berhubungan dengan keinginan bapak yang sering berbenturan. Begitulah dia bagiku kala itu, mengisi beberapa kisi dalam diriku yang luput diraba oleh orang-orang sekitarku. Sesederhana itu saja. Tapi aku tetap tak percaya bahwa cinta itu sederhana. Cinta sebenarnya adalah sesuatu yang rumit dan selalu bersembunyi dibalik hal-hal yang sederhana. Dan itu benar, ada sesuatu yang besar di dalam cinta yang kami bangun.
Aku mengenalnya di tempat persembunyian. Di kawasan gerilya para siswa berandalan yang suka datang terlambat.
SMA Negeri 1 Tomia persis di seberang laut dan dikelilingi hutan. Maka mudah saja rasanya untuk mondar-mandir ke luar, membuat jalan tikus sana-sini dan mendirikan markas persembunyian untuk tempat bolos atau menyelundup kabur.
Rumah di sekitar sekolah hanya satu, tepat di sebelah kanan bangunan panjang itu. Dihuni oleh sebuah keluarga yang berjualan aneka cemilan dan minuman. Aku gemar menyelinap diam-diam ke sana saat jam pelajaran sedang berlangsung, hanya demi sebungkus Indomie mentah dan lolipop berbentuk kaki.
Di belakang sekolah sebenarnya ada kantin. Namun isinya selalu sesak oleh banyak siswa. Dan yang paling penting, tak ada lollipop kaki di sana. Persis di depan sekolah, juga ada kantin, tapi sama saja. Selain hanya boleh didatangi pada jam istirahat, tempat duduk di sana juga selalu sesak. Aku tak suka dan lebih memilih untuk menghindar, pergi mengetuk satu-satunya rumah di sebelah kanan sekolah itu.
Aku akan begitu menikmati suasana lengang sepanjang perjalanan kembali ke sekolah setelah membeli cemilan di rumah itu. Kelakuanku yang nekat menembus keluar pagar sekolah pada jam pelajaran secara diam-diam, harus ditebus dengan kehati-hatian. Mustahil bisa melenggang kangkung lewat gerbang depan. Akibatnya bisa fatal jika ketahuan guru piket pada hari itu. Bisa jadi nasibku akan berakhir di tengah lapangan sekolah. Persis di bawah tiang bendera, berdiri tegak memberi hormat. Ya, aku pasti akan dijemur selama satu jam kedepan.
Maka, seperti biasanya, di sanalah aku hari itu, di penghujung jam pelajaran pertama. berjalan menyusuri hutan kecil di belakang sekolah sembari melumat lolipop kaki yang meninggalkan jejak merah pada bibir ku. Jika diingat-ingat kembali, warna merah itulah barangkali yang membuatku begitu keranjingan menyodokkan lolipop ke mulutku. Gincu dan Pupur masih tabu bagi siswi. Hal yang justru menjadi biasa saja 15 tahun kemudian. Ada perasaan bahagia menyelinap setiap kali melumat lolipop kaki itu, rasanya selalu ingin bersenandung aku selalu bahagia melihat bibirku bergincu merah, lagu hujan Utopia.
Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba lamunanku terenggut, pun langkahku terhenti ketika menangkap ada keganjilan di depan mata. Pada jalanan sempit di kelokan kesekian, muncul sebuah rombongan siswa yang berlari ke arahku sambil meneriakkan sebuah nama yang samar-samar tertangkap di telinga “pak Marwan!!” mereka berlari lekas-lekas dengan raut panik, terus berlari melewati ku dan tak hirau padaku yang masih melongo. Semuanya berhamburan menuju hutan yang lebih jauh. Aku mencoba mencari tau apa yang sedang terjadi lewat anak laki-laki yang berlari paling belakang. Kuraih lengannya lalu kucerca dengan tanya. Dia memaparkan bahwa mereka adalah rombongan siswa yang datang terlambat dan tak ikut apel pagi. Pak Marwan memergoki mereka sedang duduk melingkar di hutan belakang sekolah lalu menangkap sebagian yang lain. Sisanya adalah orang-orang yang kini lari tak karuan di sekitarku. Sial, umpatku dalam hati. Pak Marwan adalah guru paling killer. Sal, sial, umpatku lagi sebelum ikut bergabung dengan rombongan siswa terlambat itu, lari mencari tempat sembunyi.
Hidup sungguh ironi. Beberapa menit yang lalu aku berusaha menghindari hukuman dijemur di bawah tiang bendera dengan menghindari gerbang depan. Namun kini aku nyaris ikut tertangkap bersama rombongan siswa terlambat saat melewati jalan di hutan kecil belakang sekolah. Napasku masih memburu usai adegan lari tunggang-langgang barusan. Kami saling pandang dengan muka panik dan pucat. Memasang telinga mengawasi langkah pak Marwan, kalau-kalau saja ia berhasil menemukan tempat persembunyian kami. Mampuslah kami kalau sampai tertangkap. Kami? ya, tentu saja, aku kini telah masuk menjadi bagian dari para siswa terlambat ini. Sial.
Tak banyak yang bisa kulakukan selain duduk lesu tertunduk di bawah pohon sembari pikiran berkelana. Memikirkan teman-teman sekelasku yang akan bertanya-tanya tentang keberadaanku, guru yang akan mengosongkan absen hadir, dan yang paling mengerikan adalah kemungkinan jika sampai kami tertangkap, aku akan berhadapan dengan amarah bapak di ruang guru tanpa hak untuk menyela sedikit pun. Itulah perihnya jadi anak guru, jadi anak bapak.
“Wa Mia? Kamu kenapa ada di sini?”
Sontak sebuah suara menyentakku. Kuangkat wajahku tengadah ke arah suara asing itu. Di sana, di antara para siswa terlambat yang berjubel, pria yang membuatku jatuh cita itu menyeruak berjalan mendekat ke arahku yang tengah asyik melamun dan melumat lolipop. Ia mengulurkan segelas air mineral kepadaku, lalu berdiri di hadapanku yang masih linglung. Ia mentapaku lekat, kedua bola matanya benderang. Aku berani bertaruh bahwa cahaya bulan paling purnama sekalipun akan hilang nyali di hadapannya.
Bersambung…
Tombol like dimana kak? Tolong ini lanjutan ceritanya sdh tak sabaarr☺️