Cerita Cinta Yang Muram dan Kapal Acita Yang Karam
Cerita Cinta Yang Muram dan Kapal Acita Yang Karam

Dia La Obe

Begitulah mulanya pertemuan kami. Sampai saat ini, setiap kali aku terkenang padanya, seakan ada perasaan hangat di dada yang menjalar ke seluruh tubuhku. Saat-saat jatuh cinta adalah waktu terbaik ketika masih menjadi manusia. Aku kini memang hantu. Namun dulu, aku adalah manusia, sama seperti kalian.

Seminggu  sebelum tubuhku dihanyutkan arus laut lebih jauh lagi, aku masih ingat bagaimana Kapal Acita yang kutumpangi ke Kota Baubau itu goyah. Kapal itu limbung kanan. Badannya yang ringkih sempat limbung ke sebelah kiri.  Dua kali kapal itu limbung seperti orang linglung hendak menoleh ke arah mana. Namun, akhirnya ia memilih melimbungkan badannya ke sebelah kanan. Selamanya. Kemudian dari jendela dan setiap celah badannya menyerbulah air laut yang sangat banyak dan cepat,  mencekik setiap orang yang terlambat sadar dan meloloskan diri

Dengan jendelanya yang sempit dan penumpangnya yang banyak kapal itu benar-benar menjadi ruang pembantaian. Aku yakin semua orang bergerak berebutan menuju jendela pada saat itu. Sementara ada banyak anak-anak bahkan bayi dan juga perempuan yang tak pandai berenang ikut terjebak di dalamnya. Sebagian dari mereka itulah kemudian yang mayatnya ikut mengapung di sekitarku

Tomia 2006

Angin musim barat berhembus membawa hawa panas ke pulau Tomia. Wajah langit  kerap muram. Namun, seringkali hanya begitu saja, sangat jarang berakhir hujan. Bahkan belakangan, terik kian galak saja rasanya. Bersamaan dengan itu angin tetap berhembus dan pohon-pohon jambu mete mulai berbuah.

Wangi jambu mete yang dibakar sesekali membelai penciumanku. Pohon-pohon di sekitar sekolahku memang nyaris semua adalah pohon jambu monyet itu. Aku menduga, wangi jambu panggang itu berasal dari belakang sekolah. Mereka, para siswa berandalan itu kerap mengumpulkan buah jambu yang berjatuhan lalu membakarnya di tempat persembunyian. Tanpa rasa bersalah sedikitpun bahwa beberapa orang barangkali, utamanya aku, bakal ngiler mencium baunya.

Tapi bukan keinginan makan jambu  itu yang mengalihkan perhatian ku dari ocehan guru di depan kelas. Namun, kejadian beberapa minggu tempo hari. Masih terngiang-ngiang benar suara pria pemilik mata benderang itu hingga kini. Masih sejuk rasanya tegukan air mineral yang disodorkannya kepadaku kala kerongkonganku kering kerontang usai berlari tunggang langgang seperti diburu hantu. Aku melamunkan dia sedang ikut duduk melingkar bersama siswa berandalan hendak makan jambu bakar di luar pagar sekolah sana. Berandai-andai jika saja aku juga ada di sana.

Sejak pertemuan pertama itu. Kami belum pernah saling bicara lagi. Aku bahkan belum sempat menanyakan namanya. Hanya saling melempar senyum setiap kali berpapasan di belakang sekolah ketika aku pergi membeli lolipop. Dia juga selalu kupergoki bersama gerombolan siswa terlambat di bawah pohon jambu monyet. Sesekali kulihat dia berbaris bersama rombongannya,  dijemur di bawah tiang bendera. Dan, seringkali juga aku berpapasan dengannya di ruang guru BP ketika hendak ke perpustakaan. Aku hanya melempar senyum. Jangankan bilang suka, untuk mengajak bicara duluan saja aku tak berani.  Lagipula, perempauan macam apa yang lancang mendekati pria duluan. Pamali. Apa kata orang nanti.

“Wa Mia, ada orang kirim salam,”  Wa Mida, kawan baikku yang sekelas denganku, menyetak lamunanku dengan tepukan kecil di pundak. Aku bahkan tak sadar bahwa ocehan guru sudah berakhir sejak tadi. Suasana kelas kembali gaduh seperti biasanya sepeningalan guru. Aku mengalihkan pandanganku, menatap antusias ke wajah wa Mida lalu bertanya menyelidik “Siapa itu yang kirim salam?”

Kalian harus tahu soal Kirim Salam ini. Entah sejak kapan dan diadopsi dari mana, ini merupakan perihal penting di kalangan remaja perempuan. Barangkali mirip ajakan gebetan untuk kencan atau setidak-tidaknya sebanding dengan sepotong ucapan “Hi” dari gebetan di chat WhatsApp lima belas tahun kemudian yang selalu membikin dagdigdug dan penasaran. Pokonya, mendapat kirim salam Ini, sungguh mendebarkan. Sanggup bikin berbunga-bunga dan senyum-senyum sendiri. Ini juga merupakan bentuk paling sederhana dari sepucuk surat cinta. Tak butuh banyak kata. Hanya dua kata saja “salamku” untuk memberitahu bahwa seseorang pria ingin menyampaikan ketertarikannya kepadamu. Bentuk kirim salam ini biasanya melibatakan perantara dan biasanya adalah kawan si perempuan. Dan, jika saja kau berkenan membalas, maka hendaklah memberitahu si pembawa kabar salam bahwa “Iya, aku terima salamnya” begitu. Sesederhana itu saja cara para remaja memulai sebuah hubungan cinta monyetnya kala itu.

“La Obe.” Wa Mida memelankan suaranya sambil mencondongkan badannya ke arahku. Seakan-akan takut ada orang lain turut menguping perihal penting ini.

“Hah? Siapa itu La Obe?Saya tidak kenal dia, terus kenapa dia mo kirim salam sama saya?”

Andai Wa Mida bisa menangkap, ada nada kecewa dalam ucapanku barusan. Lagipula, aku sedang menaruh harapan dan menyimpan rasa diam-diam pada pria bermata benderang yang menggangu pikiranku belakang. Aku tak ingin mendengar salam dari orang lain. Tapi sepertinya Wa Mida bisa membaca gelagat ganjilku, sebab dia buru-buru menyambar ucapanku. “Katanya kamorang ketemu di belakang sekolah pas dikejar-kejar Pak Marwan itu hari.”

Mendengar penjelasan Wa Mida, terang saja aku jadi gagap dan gugup bukan main. Saat itu rasanya seperti seluruh udara yang kuhirup mendadak berubah menjadi benda padat yang membikin tersedak. Susah payah kutenangkan  gemuruh di dada. Hening mengerubungi kami saat aku kepayahan mengeluarkan kata. Sementara Wa Mida tak henti-hentinya memasang muka sumringah di hadapanku, mencoba meyakinkanku. Laiknya si pembawa misi, misinya harus berhasil. .

“Namanya La Obe?” Pertanyaan itu meluncur juga dari mulutku, aku ingin memastikan bahwa aku memang tak salah orang.

“Iyo, namanya La Obe. Katanya dia sudah sering perhatikan kau tapi tidak berani bilang suka.”

Kali ini ucapan Wa Mida membuat debar jantungku kian kacau.

“Yang mata besar itu to, Wa Mida?” sekali lagi, aku benar-benar ingin memastikan bahwa aku tak salah orang.

“Iyo, itu orang namanya La Obe.” Senyum di wajah Wa Mida masih belum beringsut juga.“Kau mau terima dia?” Bak gayung bersambut, salam dari La Obe seakan menjadi penawar gulana mendambakannya.

“Saya pikir-pikir dulu.” Ah kalimat pembual remaja. Tapi seperti itu umumnya para perempuan remaja di usia kami menjawab salam. Sangat jarang menemukan perempuan yang benar-benar mengemukakan dengan terus terang apa maunya, yang menjawab salam dengan iya yang kentara, atau menolaknya. Kurasa  ini adalah perihal lain lagi yang berkaitan dengan ajaran para orang tua pada anak perempuannya. Sebagai perempuan, kami diajarkan tak patut banyak mau.

Meski demikian, walau hubungan kami  dimulai dengan iya yang tak kentara, kami tak bisa menyembunyikan gelagat yang kentara di antara kami pada hari-hari berikutnya. Itu lebih lantang dari sekedar kata-kata. Wa Mida tahu, misinya telah berhasil. Dia tentu senang. Dia jugalah yang paling sibuk dan banyak repot menjadi penghubung kami secara sukarela.

***

La obe adalah anak seorang nelayan. Ibunyapenjual ikan keliling. Kami menyebutnya palelennako atau dalam Bahasa Wolio papalele. Jika tak sedang melaut, ayahnya mengurus bengkel kecilnya di depan rumah. Sebenarnya itu hanya teras yang dipenuhi tumpukan perkakas motor saja. Di sanalah La Obe juga biasa terlihat sibuk membantu ayahnya. Pernah suatu ketika aku iseng bertanya padanya, mengapa namanya La Obe. Dia menuturkan alasan yang ia juga dengar dari orang tuanya, mereka memilih nama itu karena kesenangan orang tuanya pada perkakas motor, diantaranya adalah obe atau obeng. Saya tertawa mendengar alasan klise tersebut.

“Apakah kau menyukai namamu?”

“Suka tak suka harus belajar suka. Nama memang diberikan saat kita belum bisa mengambil keputusan atas diri kita, termasuk memutuskan nama yang mana yang kita sukai. Tapi saya yakin nama adalah salah satu ungkapan cinta orang tua pada kita.” La obe ini memang pendiam, tapi sekali bicara, sering membuat tergugah. Macam filsuf saja. Maknanya suka dalam.

Keluarga La Obe sangat ramah kepadaku. Mereka terlihat bahagia dengan kehidupannya yang sederhana.  Makanya aku sangat heran ketika bapak mengancamku memutuskan hubungan  saat mengetahui hubungan kami. Bapak bilang, carilah laki-laki yang sepadan yang orang tuanya terpelajar dan keluarganya terpandang. Beliau juga sering mengulang-ulang perkataan bahwa mereka itu tidak punya masa depan. Aku heran, masa depan seperti apa yang dimaksud bapak jika kebahagiaanlah yang diburu manusia. Bagaimana jika ternyata mereka sudah bahagia pada masa sekarang.

Segala hal pada mulanya nampak baik-baik saja. Tak ada yang menyangka bahwa semua pandanganku  akan berubah kelak. Tak ada firasat apapun bahwa tangan La Obe yang sering kugenggam sambil duduk di jok belakang motor saat pulang sekolah itu adalah tangan terakhir yang kutarik sebelum terseret masuk ke dalam  air laut.

4 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here