Dalam surat edaran disebut bahwa acara joget bukan termasuk dalam tradisi, namun setelah ditelusuri, itu merupakan cara pandang yang keliru.
Bukan Wakatobi rasanya jika tak ada acara joget, kira-kira begitu ungkapan sederhananya. Joget dalam banyak ragamnya, merupakan sebuah acara yang berhasil survive dari masa ke masa karena berhasil menyesuaikan dengan konteks zaman. Suka atau tidak, acara joget telah sedemikian panjang berdampingan dengan segala kompleksitas warga Wakatobi.
Acara joget tentu saja adalah salah satu kemeriahan yang sangat dinanti oleh seluruh warga di Wakatobi, baik mereka yang sudah berumur, apalagi mereka yang masih muda. Acara joget bahkan jadi satu-satunya entitas sosial yang berhasil melebur batas-batas sosial atau kelas dalam masyarakat Wakatobi, di Pulau Tomia sendiri hal ini sangat jelas tergambar.
Acara Joget dan Transformasinya
Asrif dalam ulasannya Nyanyi Sunyi Tradisi Kabanti melihat acara joget sebagai sebuah ritus hiburan yang telah memiliki rangkaian peristiwa sejarah yang panjang. Menurutnya, masa transformasi acara joget di Wakatobi itu berawal dari Kabhanti atau (sastra lisan) yang dinyanyikan secara spontan, dan diiringi musik gambus, biola, gendang atau rebana, baik itu perseorangan maupun kelompok yang saling berbalasan. Kabhanti sendiri berisi tentang ungkapan hati, nasihat-nasihat, adat istiadat, budaya, dan sebagainya.
Zaman kemudian berubah, seni pertunjukkan Kabhanti yang memperoleh masa keemasan di medio 70 hingga 80an akhir, pelan-pelan undur diri, meskipun tetap berusaha eksis. Para penggemar Kabhanti perlahan digerus oleh modernisasi, orang –orang mulai milirik hal – hal baru yang didatangkan dari kota, tak hanya dibidang hiburan, dibidang sosial lainnyapun mendapat gempuran.
Dari sekian hal, salah satu yang dapat dilacak sebagai ihwal perubahan ini adalah kebijakan motorisasi di sektor kelautan dan perkapalan. Kebijakan ini mewajibkan kapal-kapal milik orang Wakatobi harus memiliki mesin, guna manfaat ekonomi dan kemudahan aksesibilitas, tentu juga kebijakan ini mendorong orang-orang untuk melakukan rantau atau diaspora.
Ini senada dengan yang disampaikan oleh Ali Hadara dalam jurnalnya Dinamika Sejarah Pelayaran Tradisional Orang Buton Kepulauan Tukang Besi bahwa diaspora di Wakatobi menghasilkan jenis keragaman budaya yang dibawa oleh orang dari luar, semisal Tari Balumpa dari Melayu, Kadayo dan Joge dari Jawa, dan Sajo Moane/Sajo Wowine yang mendapat pengaruh dari Makassar.
Khusus di Tomia, secara sederhana perubahan sosial hiburan dari masa ke masa saya gambarkan sebagai berikut:
No | Jenis hiburan | Kurun waktu |
1 | Kabhanti | 70-80an |
2 | Grup Band | 80-90an |
3 | Kadayo | 90an |
4 | Organ Tunggal | 2000an |
Joget dan Fungsi Sosial
Bagi orang Wakatobi, acara Joget adalah ungkapan terima kasih, karena umumnya, penyelenggaraan acara joget selalu didahului oleh sebuah acara penting atau bahkan sakral, seperti pernikahan, kelahiran, syukuran, atau bahkan bisa saja hanya karena nazar seseorang karena rasa rindu kampung halaman.
Acara joget juga bisa berkonotasi sebagai elemen perekat sosial, karena jika sebuah keluarga telah melakukan perayaan penting yang melibatkan orang banyak, maka seolah ada “keharusan”untuk menebus rasa capek orang–orang yang telah membantu mereka, dari awal hingga akhir. Solidaritas ini tentu saja mematahkan anggapan bahwa modernisasi mengganti segala sesuatunya dengan uang, tapi tidak dengan keyakinan dasar mereka yang menganut Poasa-asa Pohamba-hamba
Selain itu acara joget juga dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mengais rezeki. Coba saja berkunjung di sebuah acara joget, di kiri dan kanannya kalian akan dengan mudah menemukan penjual yang melapak dagangan mereka seadanya, umumnya bermodal tikar dan sebuah lentera kecil.
Acara joget, Covid-19 dan Cara Pandang Pemerintah
Layaknya di tempat lain, di Tomia pun kini sedang digempur oleh wabah yang sama, meskipun dalam rekam peta covid-9 pemerintah Wakatobi, Pulau Tomia masih berstatus hijau atau cukup aman melakukan aktivitas seperti hari-hari pada umumnya.
Untuk itu Pemerintah Wakatobi tentu-terus mengingatkan kepada warganya soal bahaya covid-19 ini, beragam cara mereka lakukan, salah satunya adalah melarang melaksanakan bentuk-bentuk pertemuan dan perayaan yang melibatkan jumlah orang yang besar, termasuk acara joget.
Saya setuju dengan anjuran pemerintah Wakatobi soal pembatasan sosial, tetapi ada hal yang membuat saya tertegun dan keberatan, kenapa? Karena salah satu petikan kalimat dalam surat edaran soal pembatasan keramaian yang mereka keluarkan, acara joget tidak boleh diselenggarakan karena bukan adat, begitu kira-kira salah satu petikan kalimatnya.
Mari kita urai kembali. Dalam kamus daring KBBI, disebutkan bahwa adat bermakna aturan (perbuatan dan sebagainya)yang lazim diturut atau dilakukan sejak dulu. Benar acara joget yang kita saksikan sekarang tidak seperti dulu, akan tetapi menyebut acara joget bukan sebagai sebuah tradisi adalah kekeliruan besar, pendapat ini sangat menyesatkan karena a historis atau anti sejarah.
Dalam buku Mingku I Hato Pulo disebutkan, bahwa sebelum memasuki pesta perkawinan ada beberapa tata cara yang menyertainya, seperti : Te tambu’a nu kela, Te pasombo’a, Te manari’a dan te pakawi’a.
Te Manari’a (bahasa Wangi-Wangi) adalah juga acara joget atau Joge’a yang kita kenal dalam bahasa Tomia. Ali Hadara secara gamblang menggambarkan acara joget sebagai sebuah peristiwa penting yang tidak boleh hilang dari sekian deret acara yang ia sebutkan di atas, jadi pandangan yang menyebut acara joget bukan sebuah tradisi adalah keliru.