
Karena Wakatobi, khusunya Tomia, adalah wilayah pariwisata, maka tak ada salahnya kita coba dan eksperimen wisata-wisata ekstrem sebagai bentuk lain berwisata. Berikut 4 wisata ekstrem yang wajib dicoba di Tomia.
Dulu, ketika saya dengan segenap kekuatan masih berpikir dan berusaha agar orang bisa dan harus berkunjung ke Wakatobi, berwisata, bahkan mungkin menetap barang sebulan atau dua bulan, saya mengampanyekan banyak hal. Yang lebih banyak tentu saja mengenai keindahan: keindahan lautnya, keindahan pantainya, keindahan padang sabananya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Namun tentu saja, saya tidak akan menampik bahwa di balik yang indah-indah itu, ada hal-hal yang tidak baik-baik saja. Ada berbagai persoalan juga yang menyertainya yang berusaha saya tutupi. Kalau kata Eka Kurniawan Cantik itu Luka, ya kan. Tapi karena saya adalah pemuda pariwisata, maka saya senantiasa berpikir positif bahwa hal-hal tidak baik-baik saja itu justru bisa dijadikan konsep wisata juga nggak sih, bahkan bisa jadi lebih bagus lagi.
Apalagi hari ini konsep-konsep wisata yang indah-indah itu sudah sangat mainstream. Mengopi sambil menyaksikan senja misalnya, bukankah itu konsep wisata yang sebenarnya sangat biasa jaman sekarang? Kita perlu wisata-wisata yang berbeda, baru dan ekstrem.
Oke, jadi, mari kita list beberapa wisata yang bisa kita kategorikan sebagai wisata ekstrem nan baru-menyegarkan di Wakatobi, di Tomia secara lebih khusus.
Motor Trail
Saya pikir tidak semua orang Tomia pernah menikmati berkendara menggunakan sepeda motor jenis ini. Saya juga meyakini bahwa motor ini hanya akan jadi angan-angan sebagian orang di Tomia. Bukan perkara harganya kok. Harga 10 sampai 20 juta adalah harga yang sepertinya tidak akan jadi soal untuk sebagian (kecil) orang-orang di Tomia.
Bicara spesifikasi motor trail biasanya identik dengan getaran, hempasan, standing dan hal ekstrem lainnya. Dan bicara hal yang lebih esensial, pilihan motor seharusnya disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Tentu saja kondisi jalan.
Begini, kembali ke pernyataan awal tadi, saya pikir tidak semua orang Tomia akan mengaku pernah mengendarai motor trail. Tapi, mari kita coba pernyataan dari sudut pandang lain. Pernyataan sederhananya begini, semua orang Tomia pernah merasakan sensasi berkendara macam motor trail. Saya bisa menjamin, 90 persen orang Tomia pernah atau malah sedang menikmatinya saat ini.
Ya, kondisi jalan di Tomia atau bisa saya katakan di Wakatobi secara keseluruhan adalah potret jalan yang kalau di pulau Jawa mungkin hanya akan kita temui di kawasan pegunungan. Di tempat-tempat motor trail meraung bersahutan terdapat medan yang membukit dan melembah, berlobang dan menggunduk, beraspal rata dan berbatu dan bertanah dan berpasir, menjadi satu dalam tata terbaik.
Di Tomia jalan-jalan dengan karakteristik seperti itu jelas ada hampir di semua desa. Berkelok, menanjak dan tentu saja berbukit dan kasar. Aspal kasar adalah sensasi paling enak bagi pemotor trail.
Akan sangat disayangkan ketika wisata serupa motor trail ini terhindarkan oleh mereka yang sedang berkunjung ke Tomia. Atau saya bisa yakinkan ini akan mereka bisa nikmati jika sudah sampai ke Tomia. Jadi? Ya, silahkan tetap berkunjung ke Tomia, ke Wakatobi.
Wisata Uji Nyali Gelap-Gelapan
Selama sembilan tahun lamanya saya merasakan dan mengalami salah satu fenomena paling langka bagi orang Jawa yakni mati lampu di Tomia. Saya mengalami secara langsung bagaimana mati lampu itu menemani malam-malam saya waktu kecil. Namun sekarang saya bersyukur listrik di Pulau Tomia sudah menyala 24 jam.
Tapi kabar soal 24 jam itu sepertinya terlaksana hanya sekilas saja. Karena sesekali ketika saya pulang ke Tomia, mati lampu masih kerap terjadi dengan alasan berbagai macam: cuaca buruk, tidak ada kapal yang angkut BBM, mesin sedang rusak, bahkan ada yang tanpa alasan mirip kepergianmu.
Alasan-alasan itu dengan begitu bersahabat dikirim, dikomunikasikan melalui grup-grup WA, melalui jalur pribadi (japri), bahkan melalui story, dan paling mainstream melalui pengumuman di Masjid. Pemberitahuan bahwa mati lampu adalah makanan siap saji yang sebentar lagi harus kita santap, maka bersiaplah.
Mungkin di sisi lain akan ada yang bilang itu kemajuan. Mati lampu sekarang sudah sangat tersistem dan infonya terbuka. Memanfaatkan teknologi untuk memberikan informasi. Sudah sesuai peruntukannya. Dan itu sesuatu kemajuan. Kemajuan Matamu!
Begini, waktu sembilan tahun adalah waktu yang panjang untuk berpikir tentang kemajuan listrik, tidak hanya jaringan telekomunikasi. Sembilan tahun kalau kita hitung, untuk orang yang belajar mulai dari tingkat SD, sekarang seharusnya sudah setara pemikiran SMP. Sembilan tahun untuk seorang yang memulai kuliah, sudah masuk di fase drop out. Dan saya malah berpikir, itu yang terjadi dengan sistem per-listrik-an di seluruh Tomia. Kita tidak pernah naik kelas untuk satu hal sepele ini.
Kita tidak pernah maju untuk hal ini. Jika pun ada yang menganggap ini semua karena keterbatasan, sembilan tahun bukan waktu yang cepat untuk berpikir dan mendapatkan solusi. Jika sampai saat ini masih saja mengalami hal yang sama yang terjadi sembilan tahun lalu, jangan-jangan kita tidak pernah mikir. Lha, sembilan tahun ngapain aja? Makan-berak-tidur doang?
Nah, saya pikir, karena solusi lampu mati secara massal atau penggiliran ini belum juga mendapat jawaban setelah sekian tahun berjalan, ada baiknya dibikinkan wisata saja.
Sebut saja wisata uji nyali gelap-gelapan, misalkan. Bagi mereka yang di luar Tomia, yang berada di kota selama bertahun-tahun dan tidak pernah menjelajah ke bagian Indonesia lainnya, mati lampu adalah ujian. Dan bisa jadi nyali mereka juga menciut mendengar kata mati lampu. Belum lagi jika mereka yang berkunjung itu bocah EpEp, atau mobel lejen atau para gemer pabji, mereka pasti akan teruji nyali. Benar-benar konsep wisata uji nyali yang yang sangat luar biasa, bukan?
Bisa juga kita jadikan wisata pulau gelap, atau pulau hantu. Yaaa mirip-mirip rumah hantu tapi versi pulau. Kan gelap-gelap biasanya ada hantu.
Wisata Air dan Olahraga Dayung
Sebagai orang yang bisa dibilang pinggiran dari Tomia yang sudah sejak dulu juga terpinggirkan, rasa-rasanya sekali dua kali celetukan “Sumber air su dekat” adalah gambaran harapan saya sesungguhnya ketika kecil.
Saya tinggal di Desa Lamanggau, kawasan yang berpisah dari Pulau Tomia. Meski desa Lamanggau masuk sebagai wilayah administrasi Kecamatan Tomia, tapi secara geografis ia dipisah lautan. Di desa saya, air adalah unsur pokok kehidupan yang butuh effort untuk mendapatkannya.
Sudah sejak kecil saya menikmati bagaimana rasanya berjuang hanya sekedar untuk mendapatkan air. Menyeberangi lautan ke Pulau Tomia pakai sampan, tidak peduli saat cuaca sedang bersahabat atau sedang mengamuk. Tujuan utamanya ya untuk sekedar mendapat satu, dua jerigen air di Te’emoane, salah satu sumber air di Pualu Tomia.
Begini, di Lamanggau pada tahun 1990an sampai 2000an awal, mengambil air di Te’emoane itu menjadi semacam olahraga pagi atau sore. Inilah wisata air yang saya maksud, yang sebisa mungkin kita cocokologikan dengan olahraga dayung.
Mendayung sampan untuk sampai ke pulau Tomia dengan jarak sekira 800an meter itu. Belum lagi kondisi pasang surut, perhitungan kita ke sana harus benar-benar pas agar air yang kita dapat ialah air tawar dan bukan air payau.
Oke, jika kita tidak bisa menganggap ini sebagai bentuk wisata olahraga (ekstrem) yang tujuannya hiburan, mari kita cari yang lebih ekstrem. Ketika orang-orang di Kahianga dan daerah lain yang akses airnya sangat mengkhawatirkan, tidak punya jalur air bersih dan hanya mengharap air hujan itu bisa kita jadikan wisata “duka”, bukankah itu adalah level lain dari wisata ekstrem?
Wisata Adrenalin Pemilu
Jika ketiga jenis wisata yang sudah disebutkan di atas saja sudah sangat ekstrem dan sedikit membuat adrenalin terpacu, maka wisata adrenalin harusnya lebih memompa jantung lagi dong?
Tapi tenang, di bagian keempat ini, mungkin bisa dibilang jenis wisata yang tidak akan menguras keringat dan membuat jantung terpompa kencang. Kita hanya akan bicara pilkada, pilbup atau pemilihan lainnya yang lebih kecil cakupannya seperti pilkades.
Ya, segala bentuk pemilihan di Wakatobi, di Tomia secara khusus, adalah bentuk lain dari berwisata yang cukup ekstrem. Walau terkesan simpel dan mungkin di daerah lain juga ada, tapi sesekali cobalah berwisata ke Tomia saat menjelang pesta rakyat atau proses pemilihan ini. Pemilihan apapun. Atau ini malah bisa jadi masukan untuk pemerintah setempat, atau juga masyarakat setempat. Menjadikan keos dan keruh suasana polarisasi politik saat pemilihan sebagai wisata ekstrem jenis anyar.
Di sana, ada banyak sekali yang bisa dieksplor. Pertentangan kelompok dan simpatisan, yang sebenarnya juga terjadi di wilayah lain, bukan hanya di Tomia atau Wakatobi. Perkelahian sampai yang menyebabkan nyawa melayang? Sejauh ini, tidak atau lebih tepatnya belum. Ke depan? Siapa yang tahu? Cekcok rumah tangga dan keluarga? Ini yang paling miris dan sering sekali terjadi. Bahkan ada yang sampai pada titik tidak menganggap lagi saudara kandung sebagai bagian dari keluarga. Miris? Banget!
Tapi karena kita butuh wisata ekstrem yang tidak mainstream, kenapa tidak kita coba? Mari kita cobaaa!!